Oleh: Ust. Muafa
Lafaz Asyuro’ (عَاشُوْرَاءُ) berasal dari kata ‘Asyaroh (عَشَرَةٌ) yang bermakna sepuluh. Jadi ketika disebut hari ‘Asyuro’ sesungguhnya hari tersebut menunjuk tanggal sepuluh. Hanya saja tidak setiap tanggal sepuluh bulan hijriyyah dinamakan ‘Asyuro’. Lafaz Asyuro’ telah dikhususkan hanya untuk menyebut tanggal sepuluh bulan Muharram (الْمُحَرَّمُ). Jika disebut puasa Asyuro’ maka hal tersebut bermakna puasa yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram.
Bagaimana proses pembentukan ‘Asyaroh (عَشَرَةٌ) menjadi Asyuro’ (عَاشُوْرَاءُ) ?
Pertama-tama lafaz Asyaroh diubah ke wazan faa’uul (فَاعُوْلٌ) yang bermakna mubalaghoh (impresi/tekanan sifat berlipat) dan ta’dhim (pengagungan). Dalam bahasa Arab sudah dikenal jika ada kata yang diubah ke wazan faa’uul (فَاعُوْلٌ) maka kata tersebut menjadi bermakna mubalaghoh. Sebagai contoh adalah lafaz berikut ini:
Faroqo (فَرَقَ) bermakna memisah.
Jika diubah ke wazan faa’uul (فَاعُوْلٌ) menjadi faaruuq (فَارُوْقٌ) maka maknanya berubah menjadi (orang) yang memiliki kemampuan luar biasa memisah atau hebat dalam memisah atau memisah berkali-kali dan arti-arti lain yang semakna dengan ini. Jadi, ketika shahabat Nabi disebut Umar Al-Faruq hal itu disebabkan karena beliau memiliki daya memisah luar biasa antara yang haqq dengan yang bathil.
Jadi ketika lafaz Asyaroh (عَشَرَةٌ) diubah menjadi Asyur (عَاشُوْرٌ) pengubahan ke pola/wazan ini memberi makan mubalaghoh dan ta’dhim.
Setelah itu lafaz Asyur (عَاشُوْرٌ) dibubuhi alif dan hamzah pada akhir kata yang memberi makna ta’nits (sifat perempuan/feminin). Dalam bahasa Arab pembubuhan alif dan hamzah di akhir kata adalah di antara teknik membuat sebuah kata menjadi punya sifat muannats (feminin). Misalnya contoh berikut:
قَلَمٌ أَحْمَرُ
(pena merah)
مِسْطَرَةٌ حَمْرَاءُ
(penggaris merah)
Tampak pada contoh diatas lafaz ahmar berubah menjadi hamro’. Ahmar adalah bentuk mudzakkar (maskulin) sementara hamro’ adalah bentuk muannats (feminin). Tanda muannats-nya adalah pembubuhan alif dan hamzah pada akhir kata.
Setelah lafaz Asyur (عَاشُوْرٌ) dibubuhi alif dan hamzah pada akhir kata yang memberi makna ta’nits (sifat perempuan/feminin) maka lafaz ini berubah menjadi Asyuro’ (عَاشُوْرَاءُ). Penambahan tanda muannats diperlukan karena lafaz ini menjadi sifat lailah (اللَّيْلَةُ) yang ada secara perkiraan.
Tanggal 10 Muharrom diistilahkan dengan sebutan Asyuro’ karena hari itu adalah hari agung, hari besar dan hari bersejarah. Hari itu adalah hari di mana Nabi Musa dan kaumnya diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun sekaligus hari penenggelaman Fir’aun di laut merah. Di hari agung itulah Allah menunjukkan mukjizat Nabi Musa yang membelah lautan hanya dengan memukulkan tongkatnya. Karena hari ini adalah hari agung, maka Rasulullah (memerintahkan umatnya untuk berpuasa di hari tersebut.
Ibnu Hajar menulis dalam Fathu Al-Bari:
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ عَاشُورَاءُ مَعْدُولٌ عَنْ عَاشِرَةٍ لِلْمُبَالَغَةِ وَالتَّعْظِيمِ وَهُوَ فِي الْأَصْلِ صِفَةٌ لِلَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ
Al-Qurthubi berkata: (lafaz) Asyuro’ adalah bentuk ‘adal (reposisi) dari kata ‘Asyiroh (yang ke sepuluh) untuk mubalaghoh dan ta’dhim. Lafaz ini asalnya adalah sifat malam ke sepuluh (bulan Muharrom)
Barangkali dari lafaz Asyuro’ ini kemudian lidah jawa melafalkannya menjadi bulan Suro untuk Muharrom sebagaimana bulan Shofar menjadi bulan Sapar.
Proses pembentukan Tasu’a (تَاسُوْعَاءُ) dan Hadusya’ (حَادُوْشَاءُ) sama dengan dengan pembentukan ‘Asyuro’. Lafaz Tasu’a’ berasal dari kata tis’ah (تِسْعَةٌ) untuk menunjuk tanggal sembilan bulan Muharrom dan Hadusya’ berasal dari kata ahada asyaro (أَحَدَ عَشَرَ) untuk menunjuk tanggal sebelas bulan Muharram.
Wallahua’lam.