Oleh: Ustadz Muafa
Kita sudah tahu kepiawaian bahasa Arab Asy-Syafi’i, yakni imam dan panutan An-Nawawi dalam fikih (bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Kehebatan Bahasa Arab Asy-Syafi’i”). Pertanyaannya, An-Nawawi sendiri sampai di mana tingkat penguasaan bahasa Arabnya?
Siapa pun yang mengkaji karya-karya An-Nawawi, terutama tulisan-tulisan beliau yang berpautan dengan analisis kebahasaan, akan mendapati bahwa An-Nawawi telah mencapai level tinggi dalam penguasaan bahasa Arab yang membuatnya mampu mengkritik seorang pakar bahasa besar selevel Ibnu Malik.
Siapakah Ibnu Malik?
Kaum muslimin pemerhati bahasa Arab di negeri ini pasti mengenal beliau. Karya fenomenal Ibnu Malik yang selalu dilekatkan dengan namanya adalah manzhumah beliau dalam ilmu Nahwu yang terkenal dengan nama Alfiyyah Ibnu Malik. Ada kebanggaan tersendiri di kalangan para santri jika berhasil menghafal alfiyyah tersebut. Apalagi bisa menghafalnya secara bolak-balik, dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan! Menghafal alfiyyah Ibnu Malik dalam persepsi sebagian santri seolah-olah menjadi simbol penguasaan Nahwu Arab.
Kepakaran Ibnu Malik dalam ilmu Nahwu telah mencapai level yang sangat tinggi, bahkan mungkin sudah mencapai puncak. Jika beliau tidak bisa dianggap sebagai “mujtahid muthlaq” dalam Nahwu sebagaimana Sibawaih atau Al-Kisa’i, maka minimal Ibnu Malik adalah “mujtahid muntasib” atau “mujtahid madzhab” dalam Nahwu. Aliran Nahwu Ibnu Malik adalah aliran Sibawaih, yakni aliran Bashroh. Jadi, kalau kita katakan Ibnu Malik “mujtahid madzhab” dalam Nahwu, maka yang dimaksud adalah mujtahid “madzhab Sibawaih” atau “madzhab Bashroh”. Dalam nahwu, memang hanya dikenal dua “madzhab” saja, yaitu “madzhab” Bashroh dan “madzhab” Kufah (jika tertarik dengan gambaran pertarungan dua aliran ini, bisa dibaca artikel saya yang berjudul “Zunburiyyah, Kisah Debat Nahwu Antara Sibawaih Dengan Al-Kisa’i (1-4)”). Ada sedikit upaya membentuk “aliran ketiga” yang anti mainstream oleh Ibnu Madho’ yang bermadzhab zhohiri, tapi upaya ini lenyap ditelan sejarah tanpa ada bekasnya karena gagasannya yang belum matang (ulasan singkat tentang Ibnu Madho’ bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “Ibnu Madho’ Tokoh Anti Mainstream di Dunia Nahwu”).
Nah, Ibnu Malik dengan level kepakaran Nahwu setinggi ini ternyata sanggup disusul oleh An-Nawawi sehingga beliau berani mengkritiknya. Padahal, Ibnu Malik adalah guru An-Nawawi juga. Namun, nampaknya ketekunan sang murid belajar dalam Nahwu telah membuatnya mencapai level ilmu yang membuatnya layak berpendapat sendiri dalam persoalan ikhtilaf Nahwu.
Kritikan An-Nawawi kepada Ibnu Malik bisa kita saksikan pada saat beliau membahas urusan nashob atau rofa’ pada salah satu dhobth hadis Nabi dalam riwayat Al-Bukhari berikut ini. Al-Bukhari meriwayatkan:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“(Rasulullah bersabda,) Salah seorang di antara kalian janganlah sekali-kali buang air kecil pada air yang tenang yang tidak mengalir kemudian mandi di dalamnya” (H.R.Bukhari, juz 1 hlm. 398).
Lafaz “yaghtasilu” (يَغْتَسِلُ) pada hadis di atas dibaca dengan dirofa’kan berdasarkan riwayat para perawi, dengan asumsi posisinya sebagai khobar yang mubtada’nya dibuang.
Ibnu Malik berpendapat bahwa lafaz tersebut boleh dijazmkan, yakni dibaca “yaghtasil” (يَغْتَسِلْ) dengan asumsi bahwa posisinya adalah sebagai ma’thuf dari lafaz “yabulanna” (يَبُولَنَّ) sebelumnya yang majzum karena “la nahiyah”.
Ibnu Malik juga berpendapat lafaz tersebut boleh dinashobkan, yakni dibaca “yaghtasila” (يَغْتَسِلَ) dengan mengasumsikan ada lafaz “an” (أن) yang disembunyikan sebelum lafaz “yaghtasila” itu, kemudian memahami harf “tsumma” (ثُمَّ) dalam hadis tersebut diperlakukan seperti “wawu athof” yang bermakna “ithlaqul jam’i”.
Pendapat bolehnya menashobkan “yaghtasila” inilah yang dikritik An-Nawawi.
An-Nawawi mengkritik pendapat Ibnu Malik yang membolehkan nashob karena akan bermakna ithlaqul jam’i sebagaimana makna umum yang telah diketahui dari “wawu athof”. Jika lafaz tsumma dimaknai “wawu athof”, maka pemaknaan itu akan berakibat bahwa yang dilarang Nabi adalah menggabung antara kencing di air yang tenang dan mandi di dalamnya sementara jika kencing saja atau mandi saja, maka tidak mengapa. Padahal, tidak ada satu pun ulama yang berpendapat dengan makna ini dalam memaknai hadis tersebut.
Kemampuan bahasa Arab An-Nawawi juga akan tampak pada saat kita membaca muqoddimah beliau dalam kitab “Tahriru Alfazhi At-Tanbih”, yakni kitab syarah bahasa untuk istilah fikih yang terdapat dalam kitab “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi.
Melalui uraian beliau, tahulah kita sejauh mana keluasan bidang bahasa Arab yang beliau kuasai. Beliau mengetahui variasi dialek, dhobth lafaz, lafaz yang dianggap aneh padahal tidak, lafaz yang fasih, lafaz yang tidak fasih, mana yang asli Arab mana yang mu’arrob, mana yang muwallad mana yang bukan, mana maqshuroh mana mamdudah, mana lafaz yang boleh dimudzakkarkan maupun dimuannatskan, mana yang bentuk jamak, mufrod dan musytaq, mana lafaz-lafaz mutarodif, mana lafaz musytarok dan makna-maknanya, mana lafaz-lafaz yang harus diketahui perbedaannya dengan lafaz lain, mana lafaz yang diperselisihkan antara haqiqoh ataukah majaz, mana yang diketahui bentuk mufrodnya tapi tidak diketahui bentuk jamaknya, mana yang diketahui bentuk jamaknya tapi tidak diketahui bentuk mufrodnya, mana lafaz yang memiliki bentuk jamak satu mana yang lebih dari satu, mana yang ditulis dengan wawu, ya’ dan alif, mana yang boleh ditulis dengan dua cara atau tiga seperti lafaz riba, mana makna bahasa mana makna istilah fikih, mana lafaz-lafaz yang perlu penjelasan perbedaannya karena mirip seperti lafaz hibah dengan hadiah dengan shodaqoh dengan risywah, mana yang terkena lahn dan mana yang tidak, dan seterusnya.
Kemampuan bahasa Arab An-Nawawi juga tampak dari karya-karya beliau yang khusus membahas aspek kebahasaan seperti kitab “Tahriru Alfazhi At-Tanbih” (yang baru saja kita singgung di atas), “Tahdzibu Al-Asma’ wa Al-Lughot”, “Daqoiqu Al-Minhaj”, dan “Daqoiq Ar-Roudhoh”. Keluasan kemampuan bahwa Arab beliau juga tampak pada kitab besarnya; Al-Majmu’ pada saat menjelaskan lafaz-lafaz ghorib dalam dalil maupun istilah yang dipakai Asy-Syirozi.
Demikian fasihnya bahasa tulis An-Nawawi, sampai-sampai Ibnu Malik, sang guru bahasa An-Nawawi, berminat menghafal Minhaju Ath-Tholibin karena kekaguman akan keindahan bahasanya!
Tidak heran jika Ibnu Qodhi Syuhbah menyebut An-Nawawi bukan hanya sebagai ahli fikih dan hadis tetapi juga sebagai “Imam Fil Lughoh wan Nahwi” (imam dalam ilmu Matnul Lughoh dan Nahwu).
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين