Oleh Ust. Muafa
Di antara ujian ulama yang akan diangkat derajatnya lebih tinggi oleh Allah dan dibuat bermanfaat ilmunya adalah diuji dengan penghinaan para sufaha’ (orang-orang bodoh/kurang akal). Bahkan mungkin bisa kita katakan, belum bisa dikatakan ulama sejati jika belum pernah diuji dengan hinaan, cacian dan kata-kata buruk dari para sufaha’. Bagi sang ulama, ujian tersebut malah semacam menjadi “kabar gembira” yang membuatnya semakin optimis bahwa Allah berkehendak untuk menaikkan derajatnya di sisi-Nya lebih tinggi lagi. Bagi hamba-hamba Allah yang tulus ikhlas menggali ilmu dari sang ulama, hinaan dan cacian para sufaha’ itu sama sekali tidak menurunkan kemuliaan beliau.
Para sufaha’ adalah sekumpulan orang yang memang tidak mengerti kadar dirinya sendiri dan tidak pernah mau belajar tahu diri. Oleh karena itu, mereka tidak akan pernah mengetahui kadar keilmuan dan kemuliaan para ulama serta bagaimana memperlakukan mereka.
Kadar keilmuan ulama tentu saja diketahui sesama ulama. Dalam kitab-kitab biografi, akan didapati bagaimana para ulama ini akan saling memuji. Ulama yang benar-benar berilmu (setelah mengetahui ucapan atau tulisan ulama lain) akan bisa mengukur apakah kadar keilmuan ulama yang disaksikannya itu berada di bawahnya, di atasnya atau setara dengannya. Seperti seorang dokter. Jika ada dokter yang mendengar ucapan dokter lain atau tulisannya, maka dia akan segera tahu bahwa dokter tersebut kedalaman ilmunya apakah berada di atasnya, di bawahnya, setara dengannya. Dia juga akan tahu mana dokter asli dan mana dokter gadungan. Pakar bahasa Arab juga akan mengerti siapa yang ngaku-ngaku bisa bahasa Arab, yang benar-benar mengerti bahasa Arab, yang masih dalam proses belajar, dan yang hanya sok-sok-an bisa berbahasa Arab.
Diuji dengan ucapan hina dari para sufaha’ ini dialami oleh ulama-ulama besar yang kita kenal. Asy-Syafi’i umpamanya. Pengalaman beliau berinteraksi dengan orang-orang bodoh yang tak bijak ini di antaranya diungkapkan beliau dalam bait syairnya berikut ini,
“Si Jahil mengata-ngataiku dengan segala umpatan keji,
Akupun enggan untuk membalas dan menyakiti,”
“Dia semakin menjadi-jadi, akupun semakin sabar
Bagaikan dupa, semakin wangi saat dibakar.” (Diwan Asy-Syafi’i)
Bahkan dalam satu riwayat, diceritakan oleh Ar-Romli dalam “Nihayatu Al-Muhtaj” bahwa Asy-Syafi’i dipukul oleh orang Maroko yang bermazhab Maliki karena jengkel akibat hujjahnya dipatahkan Asy-Syafi’i.
Imam Ath-Thobari, sejarawan dan mufassir besar yang terkenal dengan tafsir Ath-Thobari itu juga diuji dengan kata-kata keji para sufaha’. Beliau dituduh syiah dan mulhid/anti agama, sampai-sampai pada saat wafatnya jenazah beliau tidak boleh di kebumikan di pemakaman umum oleh orang-orang awam. akhirnya terpaksalah beliau dimakamkan di dalam rumahnya sendiri!
Imam Ash-Shon’ani, ulama besar yang terkenal dengan kitabnya yang berjudul “Subulu As-Salam” yang merupakan syarah “Bulughu Al-Marom” juga diuji dengan para sufaha’. Kata Az-Zirikli dalam Al-A’lam, Ash-Shon’ani mengalami cobaan berkali-kali dari kalangan juhala dan para awam.
Bukan hanya para sufaha’, kadang-kadang ulama juga harus merasakan pahitnya diuji dengan kedengkian dari orang yang dianggap berilmu. Dengki itu sering dibalut alasan-alasan yang kelihatan “syar’i” di mata awam. Malahan bisa dikatakan, sebagian besar kata-kata buruk yang terbit dari orang awam jahil itu justru berasal dari “teladan” dan restu para pendengki ini.
Tapi mutiara-tetaplah mutiara. Bagaimanapun adanya opini yang berusaha mencitrakan bahwa mutiara itu kotoran kerbau, maka Allah sendiri yang akan membela orang mulia dengan cara-Nya yang indah. Para ulama yang mulia itu selalu menjawab cemoohan, hinaan, tuduhan dan cacian orang-orang jahil maupun para pendengki dengan sikap sabar dan tidak membalas. Dengan demikian semakin terhinalah para penghina dan semakin mulialah para ulama itu.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين