1. ABDULLAH BIN UMAR
Teks hadis kelima
وعن عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث». وفي لفظ: «لم ينجس». أخرجه الأربعة, وصححه ابن خزيمة. وابن حبان والحاكم
***
وعن عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما – قال
“Dan dari ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma (semoga Allah meridhoi keduanya) beliau berkata..”
***
Namanya Abdullah. Beliau adalah putra shahabat terkenal; Umar bin Khottob. Karenanya, beliau disebut Abdullah bin Umar. Kunyahnya Abu Abdirrohman.
Abdullah bin Umar merupakan sahabat yunior Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni sahabat-sahabat yang ketika Nabi shallallahu ‘alahi wasallam diutus, mereka baru lahir atau masih sangat kecil sehingga belum bisa memahami perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Umar lahir setahun sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam diangkat menjadi Rasul. Ketika hijrah ke Madinah, usia Abdullah bin Umar sekitar 14 tahun (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di Makkah selama 13 tahun, setelah itu hijrah ke Madinah). Pada saat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam wafat (tahun 11 H), usia Ibnu Umar sekitar 25 tahun.
Beliau termasuk ulama’ sahabat sebagaimana Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, dan ‘Aisyah. Murid Ibnu Umar cukup banyak. Diantara murid yang paling banyak meriwayatkan hadist dari beliau adalah putra beliau sendiri, yakni Salim dan Hamzah. Selain itu, murid lain yang terkenal adalah mantan budaknya (Maula) yang bernama Nafi’. Jika ditemukan riwayat dengan sanad: Malik, kemudian Nafi’, kemudian Ibnu ‘Umar, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka para ulama’ mengatakan bahwa ini termasuk sanad emas yang keshahihannya sudah tidak diragukan lagi.
Beliau ikut perang pertama kali pada saat perang Khandaq (parit) atau juga disebut dengan perang Ahzab. Yakni sebuah perang dimana kaum muslimin dikepung oleh sekitar 10.000 orang kafir yang terdiri dari beberapa kabilah. Sementara jumlah kaum muslimin hanya sekitar 3.000 orang. Akhirnya dengan kondisi yang seperti itu, muncul gagasan dari salah satu sahabat yang bernama Salman Al-Farisi untuk membuat pertahanan berupa parit yang dibangun di sekeliling Kota Madinah.
Usianya panjang. Beliau wafat di Makkah pada tahun 73 H, tiga bulan setelah terbunuhnya Abdullah bin Az-Zubair. Kemudian beliau dimakamkan di sebuah tempat yang bernama Dzu Thuwa, pekuburan kaum Muhajirin di Mekah.
2. MASALAH TARODDHI ‘AN SHOHABAH
Maksud taroddhi ‘an shohabah (الترضي عن الصحابة) adalah mendoakan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar diridhai Allah dengan mengucapkan rodhiyallahu ‘anhu atau lafaz yang semakna. Ini adalah sighat berbentuk khobar/ berita, tetapi bermakna du-a’/ doa, sebagaimana pernah saya jelaskan pada syarah hadis pertama.
Hukum taroddhi ‘an shohabah adalah sunnah/ mandub. Alasannya, Allah telah ridha dengan para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagimana disebutkan dalam ayat ini;
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ} [التوبة: 100]
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
Adalah kesempurnaan iman jika orang membenci yang dibenci Allah, dan mencintai yang dicintai Allah. Telah jelas Allah ridha terhadap para shahabat Nabi, maka mendoakan agar Allah meridhai mereka mensenafasi prinsip ini. Hal ini sama seperti informasi dalam Al-Qur’an bahwa Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka disunnahkan orang beriman memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hukum sunnahnya taroddhi ini hukum asalnya bukan hanya berlaku untuk shahabat tetapi juga untuk tabi’in dan generasi sesudahnya di kalangan para ulama, ahli ibadah, dan orang-orang shalih.
An-Nawawi berkata:
المجموع شرح المهذب (6/ 172)
يُسْتَحَبُّ التَّرَضِّي وَالتَّرَحُّمُ عَلَى الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالْعُبَّادِ وَسَائِرِ الْأَخْيَارِ
“Disunnahkan taroddhi dan tarohhum (mengucapkan rohimahullah) kepada para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in dan generasi sesudahnya di kalangan para ulama, ahli ibadah dan orang-orang baik.”
Bahkan kesunnahan ini juga mencakup ucapan ‘alaihissholatu wassalam, shollollohu ‘alaihi wasallam, ‘alaihissalam, dan rohimahullah/rohmatullah ‘alaih.
Hanya saja, sudah menjadi istilah para ulama bahwa ucapan doa shollallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk Nabi Muhammad, ‘alaihissalam untuk nabi-nabi yang lain, rodhiyallahu ‘anhu untuk para shahabat Nabi Muhammad, dan rohimahullah untuk para ulama dan orang-orang shalih selain shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam . Tujuan istilah ini agar tidak menimbulkan salah paham dan kekacaun bagi orang awam.
3. DHOMIR TARODDHI SHAHABAT
Jika diperhatikan, lafaz taroddhi shahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditulis para ulama ternyata dhomirnya kadang-kadang berbeda. Ada shahabat nabi yang didoakan rodhiyallahu ‘anhu (رضي الله عنه), adapula yang rodhiyallahu ‘anhuma (رضي الله عنهما), adapula yang rodhiyallahu ‘anhum (رضي الله عنهم).
Mengapa bisa berbeda-beda?
Rahasianya terletak pada nama yang disebut.
Hal yang harus diketahui, kadang-kadang seorang shahabat memiliki ayah yang kafir kadang pula memiliki ayah yang masuk Islam dan sekaligus menjadi shahabat.
Jika ayahnya tidak masuk Islam, maka yang didoakan hanya shahabat itu saja sehingga lafaz doa yang diucapkan adalah rodhiyallahu ‘anhu. Misalnya Umar bin Al-Khotthob rodhiyallahu ‘anhu.
Jika ayahnya masuk islam dan juga menjadi shahabat, berarti yang didoakan adalah ayah dan anak sekaligus, sehingga doa yang diucapkan adalah rodhiyallahu ‘anhuma. Misalnya Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma.
Jika yang meriwayatkan hadis adalah shahabat dari shahabat yang lain, sehingga yang didoakan 3 orang atau lebih maka doa yang diucapkan adalah rodhiyallahu ‘anhum. Misalnya Abu Hurairah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallahu ‘anhum karena yang didoakan dalam kasus ini 3 orang; Abu Hurairah, Abdullah, dan Umar bin Al-Khotthob.
An-Nawawi berkata:
المجموع شرح المهذب (6/ 172)
فَإِنْ كَانَ الْمَذْكُورُ صَحَابِيًّا ابْنَ صَحَابِيٍّ قَالَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَكَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ وكذا ابن الزبير وابن جعفر واسامة ابن زيد ونحوهم ليشمله واباه جميعا
“Jika yang disebutkan adalah seorang shahabat putra shahabat maka doakan dengan mengucapkan (misalnya): Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma. Demikian pula Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, Ibnu Ja’far, Usamah bin Zaid dan yang semisal dengan mereka agar doa tersebut juga mencakup ayah mereka semuanya.”
4. USLUB SYARAT
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث»
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika air itu sebanyak dua qullah, maka air tersebut tidak membawa najis.”
Lafaz idza pada awal sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah idza syarthiyyah, yakni idza yang bermakna syarat. Karena itu terjemahan yang tepat adalah jika.
Mengidentifikasi makna idza dalam bahasa Arab termasuk hal yang penting agar tidak salah pemaknaan, karena lafaz idza jenisnya bermacam-macam sehingga maknanya juga bermacam-macam mengikuti jenisnya. Ada idza dhorfiyyah yang bermakna ketika, ada idza fuja-iyyah yang bermakna tiba-tiba/ ternyata dst.
Jika sudah diketahui bahwa idza dalam hadis di atas bermakna idza syarthiyyah, maka kalimat yang diungkapkan adalah uslub syarat. Jika kalimat diungkapkan dengan uslub syarat maka konsepsi yang perlu dipahami adalah: Setiap uslub syarat dalam bahasa Arab meniscayakan ada jawab syaratnya.
Dalam penerjemahan, jawab syarat ini perlu disisipi makna maka agar lebih dekat dengan susunan bahasa Indonesia.
Dalam hadis di atas, lafaz yang menjadi jawab syarat adalah lafaz lam yahmil al-khobats. Karena itu, lafaz ini yang di depannya perlu disisipi terjemahan maka sebelum lafaz tersebut diterjemahkan.
Oleh karena itu, bisa dilihat terjemahan yang dituliskan di muka berbunyi:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika air itu sebanyak dua qullah, maka air tersebut tidak membawa najis.”
Terjemahan maka di atas tidak ada lafaz Arabnya dalam hadis, tetapi dipahami dari konsepsi jawab syarat yang menjadi bagian dari uslub syarat.
Ketentuan ini berlaku bukan hanya pada lafaz idza saja, tetapi juga berlaku pada semua lafaz yang mengandung makna syarat seperti in, ma, kaifama, dst.
Lebih lengkap tentang uslub syarat, bisa dibaca buku saya yang berjudul Panduan Belajar Bahasa Arab MUNTAHA (416 hlm).
5. ANALISIS NAHWU SABDA NABI
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث»
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika air itu sebanyak dua qullah, maka air tersebut tidak membawa najis.”
Lafaz kana adalah salah satu nawasikh. Sebagaimana telah diketahui dalam pembahasan ilmu I’rob, lafaz ini secara sintaksis merofa’kan mubtada’ dan menashobkan khobar. Jika lafaz kana diterjemahkan, biasanya diartikan ada/ adalah. Dalam banyak konteks, lafaz ini tidak diterjemahkan tetapi hanya cukup dipahami secara konseptual.
Mubtada’ dalam struktur sabda Nabi ini adalah lafaz Al-ma’ (الماء) yang bermakna air sementara khobarnya adalah lafaz qullatain (قلتين) yang bermakna dua qullah. Tanda rofa’ pada lafaz Al-Ma’ adalah harokat dhommah pada huruf terakhir lafaz tersebut sementara tanda nashob pada lafaz qullatain adalah huruf Ya’ karena lafaz ini termasuk lafaz mutsanna.
Lafaz lam adalah harf nafi, cukup diterjemahkan tidak.
Lafaz yahmil adalah fi’il mudhori’ yang berasal dari kata hamala yang bermakna mengandung/ membawa.
Fa’il (pelaku) pada kata yahmil adalah dhomir mustatir yaitu huwa yang merujuk pada lafaz Al-Ma’.
Posisi Al-Khobats/ najis adalah maf’ul bih dari fi’il yahmil.
Dengan demikian terjemahan lengkap sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika air itu sebanyak dua qullah, maka air tersebut tidak membawa najis.”