Ustadz tanya. Jika kita tidak junub, namun ketika mau mandi berniat mandi besar, apakah diperbolehkan? Dan jika setelah mandi mau sholat, apakah perlu berwudhu lagi? (+62 xxx-xxxx-1967)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Niat mandi besar meskipun tidak junub adalah perbuatan ma’ruf karena Allah suka dengan orang-orang yang mensucikan dirinya. Hal ini semakna dengan orang yang selalu menjaga wudhunya meskipun tidak bermaksud untuk salat. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia mencintai orang-orang yang menyucikan diri” (Al-Baqoroh; 222)
Jika sudah niat mandi junub, maka itu sudah cukup dan tidak perlu wudhu lagi karena mandi junub itu bukan hanya menghilangkan hadas besar tetapi juga sekaligus hadas kecil.
Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan untuk bersuci (yakni dengan cara mandi) jika dalam kondisi junub dan tidak memerintahkan berwudhu. Allah berfirman,
“Jika kamu junub maka bersucilah” (Al-Maidah; 6)
Dalam hadis nabi, Rasulullah ﷺ juga memerintahkan Ummu Salamah mandi setelah suci dari haid dan tidak memerintahkan berwudhu. Muslim meriwayatkan,
“Dari Ummu Salamah ia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang menjalin rambut kepalaku. Apakah aku perlu membuka dan menguraikannya saat mandi janabat? Beliau menjawab, ‘Tidak. Sudah cukup bagimu engkau menuangkan air di atas kepalamu 3 kali kemudian kau tuangkan secara merata ke seluruh tubuhmu sehingga engkau pun suci” (H.R.Muslim)
Dalam riwayat An-Nasai bahkan secara lugas disebut bahwa Rasulullah ﷺ tidak wudhu lagi setelah mandi,
“Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata, ‘Adalah Rasulullah ﷺ tidak berwudhu setelah mandi” (H.R. An-Nasai)
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Umar berfatwa bahwa wudhu setelah mandi itu berlebihan,
“Dari Abu Ishaq ia berkata, seorang lelaki dari sebuah kampung bertanya kepada Ibnu Umar, ‘Aku berwudhu setelah mandi (bagaimana hukumnya?). Beliau (Ibnu Umar) menjawab, ‘Kamu sudah berlebih-lebihan” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Hudzaifah juga tidak suka orang berwudhu lagi setelah mandi,
Dari Huzaifah, dia berkata, ‘Apa tidak cukup salah seorang di antara kalian mandi mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya sampai perlu wudhu lagi?” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Asy-Syaukani menukil dari Ibnu Al-‘Arobi bahwa para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu itu sudah termasuk dalam mandi,
“Abu Bakar Bin Al-Arabi berkata, ‘Sesungguhnya para ulama tidak berselisih bahwasanya wudhu itu sudah termasuk dalam aktivitas mandi dan bahwasanya niat bersuci dari janabat itu sudah mencukupi bersuci dari hadas dan mewakilinya. Alasannya, mawani’ janabat itu lebih banyak daripada mawani’ hadas, sehingga (hadas) yang kecil sudah masuk dalam niat (hadas) yang besar. Niat (mensucikan diri dari hadas) yang besar itu sudah mencukupi” (Nailu Al-Author, juz 1 hlm 308)
Pernyataan senada disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah,
“Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Orang yang mandi janabat, jika dia berwudhu dan I meratakan air pada seluruh tubuhnya, maka dia telah menunaikan kewajibannya, karena Allah Ta’ala hanya mewajibkan orang yang junub untuk mandi janabat tanpa wudhu, berdasarkan firman-Nya, ‘wa in kuntum junuban fatthohharu’ (kalau kamu junub maka bersucilah; al-maidah 6). Ini adalah perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan para ulama. Hanya saja, mereka bersepakat sunnahnya wudhu sebelum mandi sebagai bentuk berteladan kepada Rasulullah ﷺ , juga karena hal tersebut lebih membantu mandi dan lebih bersih” (Al-Mughni, juz 1 hlm 161)
Hanya saja disyaratkan pada saat mandi jangan sampai tersentuh kemaluan pada akhir mandi, karena menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu. Membersihkan kemaluan lakukanlah di awal, setelah itu ratakan air ke seluruh tubuh dan pada saat mengakhiri mandi jaga betul agar jangan sampai telapak tangan menyentuh kemaluan. Al-Baihaqi meriwayatkan,
“Dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya, bahwasanya beliau berkata, ‘Wudhu yang bagaimana yang lebih sempurna daripada mandi jika sudah berhati-hati untuk tidak menyentuh kemaluan?” (As-Sunan Al-Kubro, juz 1 hlm 178)
Wallahua’lam