Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu kajian nahwu menarik dalam Al-Qur’an adalah membahas posisi sintaksis lafaz “shobi-un” dalam Surah Al-Maidah; 69. Dalam ayat tersebut posisi lafaz “shobi-un” adalah di”marfu’”kan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani dan, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S.Al-Maidah;69)
Jika dilihat strukturnya secara sekilas, nalar nahwu umum akan cepat mengasumsikan bahwa lafaz “shobi-un” (وَالصَّابِئُونَ) dalam ayat di atas mestinya dibaca “shobi-in’” (وَالصَّابِئِينَ). Alasannya, ayat diawali dengan “harf inna” yang hukum nahwunya adalah me”manshub”kan “mubtada’” dan me”marfu’”kan “khobar’”. Lafaz “shobi-un” didahului oleh “wawu athof’”, sehingga posisinya mestinya adalah menjadi “ma’thuf’” dari “isim inna”. Lafaz “shobi-in” termasuk “sighat jamak mudzakkar salim” sehingga tanda “nashob’”nya adalah huruf “ya’” untuk menggantikan “wawu”. Jadi, jika benar “shobi-un” itu posisi sintaksisnya adalah “ma’thuf”/athof”maka seharusnya dia di”manshub”kan, bukan di”marfu’“kan.
Kalau begitu, mengapa lafaz “shobi-un” dalam ayat ini di”marfu’”kan? Apakah ini kesalahan grammar dalam Al-Qur’an?
Para pemula yang baru belajar grammar Arab bisa jadi akan menyangka demikian. Tetapi ini keliru besar. Karena yang terjadi justru i’rob semacam itu yang malah menunjukkan keunggulan bahasa Al-Qur’an. Dengan kata lain bisa dikatakan, semakin dalam para pemula ini mendalami tata bahasa Arab, justru mereka akan semakin kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an, karena struktur nahwu seperti yang ditempati lafaz “shobi-un” dalam ayat ini justru menunjukkan makna yang sangat mendalam yang tidak akan dicapai jika lafaz “shobi-un” itu dibaca dengan cara di”manshub”kan.
Bagaimana penjelasannya?
Posisi “shobi-un” dalam ayat di atas sebenarnya bukanlah “ma’thuf’” “isim inna’”, akan tetapi dia adalah lafaz yang menjadi “i’tirodh” (sisipan) yang berposisi sintaksis sebagai “mubtada’” yang “khobar”nya dibuang (“mubtada’ mahdzuful khobar”). Tujuan sisipan semacam ini adalah untuk memberi penekanan makna yang tidak akan didapatkan jika ia diposisikan sebagai “ma’thuf” “isim inna”.
Contoh “i’tirodh” yang mirip dengan lafaz “shobi-un” dalam ayat di atas adalah penempatan lafaz “qoyyar” dalam puisi Dhobi’ bin Al-Harits Al-Burjumi berikut ini,
Jika lafaz “qoyyar” di atas diposisikan sebagai “ma’thuf” “isim inna”. Seharusnya dia di”manshub”kan sehingga dibaca “qoyyaron”, lalu “khobar”nya mengikuti “isim”nya dari sisi “‘adad” sehingga dibaca “laghoriibaani” seperti ini,
Hanya saja, Al-Burjumi sengaja tidak menjadikan lafaz “qoyyar” sebagai “ma’thuf” “isim inna”, tetapi menjadikannya sebagai “i’tirodh” yang posisi sintaksisnya “mubtada’”yang dibuang “khobar”nya karena secara makna ini lebih kuat menggambarkan perasaan dan suasana hatinya daripada struktur “normal”.
Bagaimana penjelasannya?
Untuk memahaminya, kita analisis dulu makna syair di atas secara umum agar pembahasan “i’tirodh” ini lebih mudah dipahami secara nahwu dan dihayati kedalaman serta keindahan maknanya.
Lafaz “man” pada syair Al-Burjumi di atas adalah “man syarthiyyah” yang bermakna “barangsiapa”. Lafaz “yaku” yang ada di sana asalnya adalah “yakun” akan tetapi di”takhfif” dengan cara dibuang “nun”nya sebagaimana di Al-Qur’an ada ayat “walam aku baghiyya” yang sebenarnya berasal dari lafaz “walam akun baghiyya”. Jadi lafaz “yaku” berasal dari kata “kaana”. Lafaz “amsa” bermakna “ad-dukhul fil masa’ (masuk di wakto sore). Lafaz “rohlun” bisa bermakna “pelana” atau “tempat tinggal lengkap dengan perabotannya” dan dalam konteks syair ini bermakna “rumah/tempat tinggal”. Dengan demikian, makna harfiah dari bait ini adalah “barangsiapa yang rumahnya berada di Madinah , maka silakan tinggal di sana dan masuk di waktu sore di kota tersebut”.
Lafaz “qoyyar” adalah “isim ‘alam”, yakni nama unta atau kuda penyair. Harf “ba’” pada kata “bihaa” adalah “ba’ zhorfiyyah” yang bermakna “pada” sementara “dhomir haa” pada kata “bihaa” kembali ke Madinah. “Harf lam” pada kata “laghoriibu” adalah “lam ta’kid” yang bermakna penegas. Lafaz “ghorib” bermakna “orang asing” atau “orang kesepian yang jauh dari sanak keluarga dan tanah air”. Dengan demikian makna harfiah dari bait ini adalah “Sesungguhnya aku dan Qoyyar benar-benar merasa kesepian tinggal di Madinah”.
Jika dua kalimat penyair di atas digabung, seakan-akan penyair ingin mengatakan “Barangsiapa yang memang punya rumah di Madinah, silakan saja tinggal di sana dan bersore hari di kota tersebut. Adapun saya, maaf saya tak kuasa karena saya dan unta/kuda saya merasa sangat kesepian di kota tersebut.”
Sekarang kita kupas, mengapa Al-Burjumi memilih untuk me”marfu’”kan lafaz “qoyyar” dan tidak menjadikannya sebagai “ma’thuf” “isim inna” yang berkonsekuensi me”manshub”kan lafaz “qoyyar”.
Telah saya singgung sebelumnya, jika lafaz “qoyyar” itu di”manshub”kan karena mengasumsikan “ma’thuf” pada “isim inna”, maka “khobar”nya juga harus mengikuti “isim inna” dengan “ma’thuf”nya yang maknanya adalah “isim mutsanna”, sehingga bunyi syairnya adalah,
Struktur ini akan memberi makna “Sesungguhnya aku dan Qoyyar, kami benar-benar merasa kesepian di kota Madinah itu”.
Ketika Al-Burjumi memutuskan untuk me”marfu’”kan lafaz “qoyyar”, maka saat itu juga dia menjadikannya sebagai “i’tirodh” (sisipan) dan memposisikannya secara sintaksis sebagai “mubtada’” yang “khobar”nya dibuang (“mubtada’ mahdzuful khobar”).
Dengan demikian, ucapan Al-Burjumi yang berbunyi,
Secara perkiraan, struktur lengkapnya adalah,
Nah, stuktur seperti ini lebih kuat aspek “tashwir” /”illustration”/”picturingnya” daripada ketika lafaz “qoyyar” dijadikan sebagai “ma’thuf” “isim inna”. Seakan-akan Al-Burjumi hendak mengatakan,
“Bayangkan, unta/kudaku saja bisa demikian kesepian jika tinggal di Madinah padahal dia hanyalah seeor hewan, maka bagaimana dengan diriku yang seorang manusia?”
Dengan demikian, konsepsi terpenting dari pengubahan posisi dari “ma’thuf” “isim inna” menjadi “i’tirodh” yang diposisikan sebagai “mubtada’ mahdzuful khobar” adalah “ta’kid” makna halus yang diberikan oleh susunan kalimat.
Sekarang kita kembali ke ayat.
Kalau begitu, apa makna di”marfu’”kannya lafaz “shobi-un” dalam Surah Al-Maidah; 69 itu?
Jawabannya adalah sama persis seperti dalam syair Al-Burjumi yang sudah kita analisis panjang lebar.
Posisi lafaz “shobi-un” adalah “i’tirodh” yang diposisikan sebagai “mubtada’” yang “khobar”nya dibuang. Ketika lafaz “shobi-un” di”marfu’”kan dan diposisikan sebagai “i’tirodh” dengan disertai unsur “taqdim” (mendahulukan), maka itu adalah untuk memberi tekanan pesan yang ada dalam ayat. Artinya, jika struktur ayat diubah sedikit untuk memperjelas uraian ini, sekaan-akan ayat itu susunan aslinya adalah,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Demikian pula para “shobi-un” siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“Shobi-un” adalah sekte sempalan Yahudi dan Nasrani. Artinya mereka adalah sekte yang murtad dari agama Yahudi dan Nasrani lalu membuat agama sendiri. Jika Yahudi dan Nasrani adalah agama batil dan berada dalam kesesatan berdasarkan banyak ayat, maka “shobi-un” jelas lebih sesat daripada mereka. Oleh karena itu, ketika lafaz “shobi-un” didahulukan sebelum lafaz Nasrani, seakan-akan ini adalah bentuk penekanan dari Allah bahwa kelompok yang lebih sesat daripada Yahudi dan Nasrani saja, jika mereka mau beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal salih dengan cara mengimani Nabi Muhamamd ﷺ dan masuk Islam, maka mereka akan selamat di akhirat dan masuk surga. Jadi, Yahudi dan Nasrari yang keadaannya “lebih baik” daripada mereka seharusnya lebih optimis dan lebih semangat dalam mendapatkan ridha Allah jika memang benar-benar serius bertaubat. Lebih-lebih bagi mereka yang secara lisan sudah menyatakan diri beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ, tentu lebih layak untuk lebih optimis lagi karena mereka paling dekat dengan kebenaran dan paling dekat dengan petunjuk. Al-Baidhowi berkata,
“Lafadz (“shobi-un”) itu adalah seperti sebuah sisipan yang memberi makna bahwa para “shobi-un” saja yang sudah jelas kesesatan dan penyimpangan mereka dari seluruh agama, mereka bisa diterima taubatnya jika benar iman mereka dan amal saleh mereka. Oleh karena itu, selain dari mereka lebih utama untuk diterima taubatnya” (Anwar At-Tanzil Wa Asror At-Ta’wil, juz 2 hlm 137)
Luarbiasa kedalaman makna dan keindahan bahasa Al-Qur’an.
فاجعلنا من أهل القرآن الذين يعلمون معانيه ويعملون به