Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika ada orang wafat, meskipun lahirnya baik sekalipun jangan mudah mengatakan “Dia telah beristirahat dengan tenang”. Sebab orang hanya bisa istirahat dengan tenang jika sudah DIPASTIKAN Allah mengampuninya. Padahal, saat wahyu sudah terputus dan sudah tidak ada Nabi ﷺ lagi, maka mustahil kita bisa tahu secara yakin bahwa seseorang telah diampuni Allah. Rasulullah ﷺ pernah marah kepada Aisyah ketika ada seorang wanita wafat kemudian disebut “Sudah beristirahat”. Ahmad meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah ﷺ diberitahu, ‘Wahai Rasulullah, si fulanah telah wafat dan dia telah beristirahat. Maka Rasulullah ﷺ marah dan bersabda: “Yang bisa disebut beristirahat itu cuma orang yang telah diampuni dosanya!” (H.R.Ahmad)
Apalagi ada hadis yang menegaskan bahwa kadang orang itu tampaknya baik, tapi di sisi Allah, sesungguhnya orang jahat yang akan masuk neraka atau sebaliknya. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penghuni surga menurut yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan penghuni neraka. Ada pula orang yang beramal dengan amalan penghuni neraka menurut yang nampak oleh manusia padahal dia adalah termasuk penghuni surga.” (H.R.Al-Bukhārī)
Dalil-dalil yang semakna dengan ini banyak sekali, yakni hadis-hadis yang mencela ucapan pemastian nasib bahagia seseorang di sisi Allah seperti hadis celaan Nabi ﷺ kepada Sahabat yang mengucapkan ‘Akramakallāh (Allah telah memuliakanmu), celaan Nabi ﷺ kepada Ummu Ka’ab yang mengatakan “hanī’an lakal jannah”, bantahan Nabi ﷺ kepada sahabat yang mengucapkan “Fulan syahid” dengan mengatakan “kallā innī ra’aituhū finnār”, celaan Rasulullah ﷺ terhadap Sahabat yang mengucapkan “hanī’an lahū al-syahādah”, koreksi Nabi ﷺ terhadap wanita yang mengucapkan “wā syahīdāh”, dan lain-lain.
Apalagi ada atsar mengerikan dari Umar yang menegaskan bahwa memastikan diri baik itu tanda kita buruk dan memastikan diri masuk surga itu tanda dia masuk neraka. Ibnu Katsīr menulis,
Artinya,
“Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, ‘Barangsiapa mengatakan, ‘Aku mukmin’, maka dia kafir. Barangsiapa mengatakan ‘Aku berilmu’, maka dia bodoh. Barangsiapa mengatakan, ‘Aku di surga’, maka dia di neraka!” (tafsir Ibn Katsīr, juz 2 hlm 332)
Aṣar yang maknanya mirip dengan ini, yakni yang intinya mencela ucapan memastikan seseorang syahid atau masuk surga jika dicari akan ketemu banyak juga.
Intinya jangan pernah memastikan nasib seseorang di sisi Allah, sebaik apapun kelihatannya di mata kita. Sebab kita tidak pernah tahu hakikat seseorang saat sendiri dan juga tidak tahu bagaimana kondisi hatinya saat beramal.
Yang boleh dipastikan bahagia adalah mereka yang dipastikan diridai Allah berdasarkan wahyu seperti para nabi, para rasul, 10 orang yang dijamin masuk surga, Syuhada perang Uhud, Ja’far bin Abū Ṭālib, Abdullāh bin rawāḥah, Tsābit bin Qais bin Syammās, ‘Ukkāsyah, Ḥāritsah bin Surāqah dan individu-individu Sahabat yang lain.
Termasuk boleh adalah mengucapkan secara umum misalnya, “seorang mukmin atau seorang hamba yang saleh jika wafat, maka dia beristirahat dari penatnya dunia menuju rahmat Allah”.
Adapun mengucapkan fulan syahid, maka perlu dirinci. Jika yang dimaksud adalah makna “orang yang gugur di medan jihad fisabilillah sehingga berlaku hukum-hukum mati syahid seperti tidak dimandikan, tidak disalati dan lain-lain” maka yang seperti ini boleh. Banyak atsar Sahabat menyebut individu-individu tertentu dengan makna ini. Tetapi jika yang dimaksud adalah orang itu pasti masuk surga, maka ini yang terlarang dan dicela Rasulullah ﷺ dalam sejumlah hadis, karena kita tidak tahu apakah orang saat berjihad itu ikhlas atau karena ingin digelari pahlawan, masih punya utang ataukah tidak, durhaka kepada orang tuanya ataukah tidak, bunuh diri saat perang ataukah dibunuh musuh, mencuri harta rampasan ataukah tidak dan berbagai penghalang mendapatkan janji mati syahid lainnya. Al-Bukhārī membuat bab khusus dalam ṣaḥīḥ-nya yang melarang menyebut fulan syahid dengan makna memastikan dia akan masuk surga berjudul “bābu lā yuqālu fulān syahīd”.
Yang semakna dengan ini adalah ucapan al-maghfūr lahū atau almarḥūm. Jika dimaksudkan memastikan diampuni atau dirahmati maka terlarang, jika dimaksudkan harapan atau doa maka tidak mengapa.
Daripada memastikan individu tertentu secara spesifik masuk surga, yang terbaik jika mengetahui seseorang wafat adalah menyebut amal saleh orang itu sebanyak-banyaknya semampu kita, agar kita punya harapan orang tersebut termasuk ahli surga karena persaksian baik kaum muslimin. Sebab Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kaum muslimin adalah syuhadā’ullah ‘alal arḍi (saksi-saksi Allah di muka bumi). Jika para saksi ini bersaksi kebaikan seorang hamba, maka “wajabat”, dia akan masuk surga, insya Allah.
***
14 Zulhijah 1442 H