Dijawab oleh Ustadz Muafa
Pertanyaan
Assalamu’alaikum.
Ustadz jika kita belum pernah di aqiqohkan orang tua pada saat bayi namun pada saat ini sbg anaknya telah punya kemampuan, pertanyaan saya mana yang harus didahulukan qurban dulu atau Aqiqah dan apakah pelaksanaan Aqiqah msh tetap d tuntut kewajibannya sampai seumur hidup jika belum d aqiqohkan orang tua.tks.
Wass.ww.
Hp 08569227xxxx
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Hukum menyelenggarakan Aqiqah adalah Sunnah, bukan wajib. Dalil yang menunjukkan adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;
Artinya : “Barangsiapa diantara kalian ada yang suka berkurban (mengaqiqahi) untuk anaknya, maka silakan melakukan. Untuk satu putra dua kambing dan satu putri satu kambing” (H.R.Ahmad)
Seandainya menyelenggarakan Aqiqah wajib, maka Rasulullah ﷺ tidak akan mengaitkannya dengan “mahabbah” (kesukaan). Kalimat ”Barangsiapa diantara kalian ada yang suka“ menunjukkan bahwa seorang mukallaf bisa melakukannya atau tidak. Karena itu, lafadz ini menjadi qorinah (indikasi) bahwa penyelenggaraan Aqiqah hukumnya Sunnah, bukan Wajib.
Adapun Hadis yang menyatakan bahwa anak digadaikan dengan Aqiqahnya, misalnya hadis berikut;
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Artinya : “Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: Setiap anak digadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama (H.R.Abu Dawud)
Maka, hadis ini tidak menunjukkan kewajiban Aqiqah tapi hanya menunjukkan Ta’kidul Istihbab (penekanan anjuran) saja, sehingga kesunnahan Aqiqah termasuk sunnah Muakkadah.
Hanya saja waktu penyelenggaraan Aqiqah adalah hari ke-7 dari kelahiran bayi berdasarkan hadis Samurah di atas. Jika belum memungkinkan maka bisa mengambil hari ke-14 atau ke-21 berdasarkan fatwa Aisyah berikut;
أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين
Artinya : “Dari Ummu Karz beliau berkata; Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abubakar berkata; Jika istri Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka Aisyah berkata; tidak, tetapi sunnahnya adalah; untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan dishodaqohkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14 jika tidak maka hari ke 21” (Musnad Ishaq bin Rahawaih)
Fatwa Shahabat, meskipun bukan dalil, tetapi dalam kondisi tidak ditemukan dalil maka fatwa Shahabat adalah jenis ijtihad yang paling tinggi karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi dan mengerti hadis-hadis beliau. Jadi, fatwa Aisyah ini bisa dijadikan sebagai dasar karena mustahil beliau berfatwa tanpa dasar Nash yang beliau ketahui.
Jika sudah lewat hari ke-21, maka penyelenggaraan Aqiqah tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkannya. Tidak bisa diqiyaskan, misalnya menyelenggarakan Aqiqah setiap kelipatan hari ke-7 setelah hari ke-21 (hari ke-28, jika tidak bisa hari ke-35 dst) karena penyelenggaraan Aqiqah termasuk ibadah dan syariat ibadah harus ditetapkan berdasarkan nash, bukan Qiyas.
Jika menyelenggarakan Aqiqah di antara hari ke-7, 14, dan 21 (misalnya hari ke -3 atau ke-9, atau ke-19) maka Aqiqahnya sah, karena penyebutan hari ke-7 pada hadis Samurah adalah pemilihan waktu yang paling afdhol, bukan pengikat keabsahan Aqiqah. Yang semisal dengan ini adalah persoalan pemberian nama. Berdasarkan hadis Samurah, pemberian nama bayi afdholnya hari ke-7, tapi Nabi sendiri memberi nama putranya yaitu Ibrahim pada hari pertama. Karena itu, penetapan hari ke-7 bukan menjadi syarat sah namun sekedar pemilihan waktu yang paling afdhol.
Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah hari ke-21, apalagi jika sudah baligh. Adapun riwayat bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu;
حَدَّثنا سهيل بن إبراهيم الجارودي أبو الخطاب ، حَدَّثنا عوف بن مُحَمد المراري ، حَدَّثنا عَبد الله بن المحرر ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس ؛ أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا.
وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.
Artinya : Dari Anas; Bahwasanya Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi (H.R.Al-Bazzar)
Maka ini adalah riwayat yang lemah karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Al-Muharror. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). An-Nawawi mengatakan; hadis ini bathil, sementara Al-Baihaqy menilainya Munkar.
Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada syariat mengaqiqahi diri sendiri.
Adapun berkurban, maka hukumnya Sunnah Mu-akkad (sunnah yang dikuatkan) berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Allah berfirman;
Artinya : Shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)
Rasulullah ﷺ bersabda;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda; Barangsiapa memiliki keluasan (kekayaan) dan tidak berkurban maka jangan mendekati tempat shalat kami” (H.R.Ibnu Majah)
Berdasarkan paparan di atas, yaitu hukum sunnahnya menyelenggarakan Aqiqah (bukan wajib),tidak disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, tidak disyariatkannya mengaqiqahi diri sendiri, dan Sunnah Muakkadnya berkurban maka lebih tepat jika memilih melakukan kurban tanpa perlu berfikir menyelenggarakan Aqiqah. Wallahu a’lam.
Artikel ini telah dimuat sebelumnya dalam link Aqiqah atau Kurban dulu?
Sumber gambar: www.peopleofindia.net