Oleh: Ust. Muafa
Assalamu’alaikum. Shobahal Khoir ya ustadz.
Saya salah satu jamaah masjid Al-ishlah ingin bertanya seputar Rujuk. Saya mempunyai anak (6). Istri saya meninggalkan saya selama empat tahun. Kemudian kami berdua ingin Rujuk dengan alasan; anak dan cucu. Yang saya tanyakan; bagaimana cara Rujuk dalam islam dan bagaiamana pelaksanaannya. Wassalamu’alaikum ya ustadz
Dari: suhanda, gg lontar bawah HP: 08571602xxxx
Jawaban
Wa’alaikumussalam Warahmatullah.
Tatacara Rujuk adalah berkata kepada Istri yang telah ditalak yang masih dalam masa Iddah dengan ucapan: “Aku telah Rujuk (atau lafadz yang semakna) denganmu” dengan menghadirkan dua saksi, atau berkata kepada dua saksi (tanpa keberadaan istri) dengan ucapan; “Aku telah Rujuk dengan istriku (atau lafadz yang semakna). Semua ini sah dilakukan tanpa disyaratkan adanya wali, Mahar, dan ridha istri. Tahu atau tidaknya istri juga tidak dipertimbangkan dalam Rujuk.
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan selama mampu. Artinya, Rujuk dianggap sah jika dilafalkan. Adapun Rujuk dengan perbuatan seperti Jimak (baik dengan niat Rujuk maupun tanpa niat) atau Muqoddimah Jimak seperti mencium, meremas, meraba, memandang dengan syahwat, apalagi sekedar berkhalwat maka semua itu belum cukup untuk menghukumi bahwa Rujuk telah berlaku. Argumentasi bahwa Rujuk harus dengan ucapan adalah sebagai berikut;
Pertama; Allah memerintahkan Rujuk menghadirkan dua saksi. Allah berfirman;
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka Rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu (At-Thalaq;2)
Tidak mungkin Allah memrintahkan untuk mempersaksikan Jimak atau muqoddimahnya, karena melihat hal demikian hukumnya haram. Perintah mempersaksikan Rujuk bermakna perintah mempersaksikan ucapan Rujuk yang diucapkan oleh suami agar orang lain tahu sebagaimana persaksian terhadap ucapan akad nikah.
Tidak bisa dikatakan bahwa setelah Jimak orang bisa mempersaksikan bahwa dirinya telah Rujuk. Alasan ini tidak bisa diterima karena persaksian yang diperintahkan adalah saat terjadi Rujuk, bukan mempersaksikan atas Iqror (pengakuan) Rujuk. Lagipula, jika dia telah mempersaksikan dengan ucapannya bahwa dia telah Rujuk, maka keabsahan Rujuknya adalah dari ucapannya, bukan dari Jimak atau muqoddimahnya.
Kedua; Nabi menetapkan bahwa Nikah, cerai dan Rujuk berlaku baik dilakukan dengan serius maupun canda. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ »
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga perkara, seriusnya dihukumi serius dan candanya (tetap) dihukumi serius, yaitu; nikah, talak, dan Rujuk (H.R.Abu Dawud).”
Sudah lazim diketahui bahwa maksud nikah serius atau canda adalah mengucapkan akad nikah baik serius ataupun canda. Demikianpula talak, yang dimaksud adalah mengucapkan lafadz talak baik serius maupun canda. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa Rujuk itu dilakukan dengan ucapan sebagaimana akad nikah dan talak.
Ketiga; Allah menyebut talak dan Rujuk dalam Siyaq (konteks) yang sama, misalnya;
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka Rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). (Al-Baqoroh; 231)
Ini menguatkan argumentasi sebelumnya, yaitu talak dan Rujuk itu semakna dari sisi sama-sama dilakukan dengan ucapan.
Lagipula, kebolehan untuk menjimaki wanita adalah dengan akad nikah yang diucapkan secara lisan. Karena itu rujuk semakna dengan hal ini, karena Rujuk bermakna ingin mengembalikan wanita yang ditalak sebagaimana istrinya saat belum ditalak.
Jika suami tidak sanggup mengucapkan seperti karena bisu atau ada penyakit, maka Rujuk sah dengan sesuatu yang mewakili ucapan seperti tulisan atau isyarat.
Lafadz yang dipakai adalah Rujuk atau yang semakna seperti Rodd (mengembalikan), dan Imsak (menahan) karena lafadz itulah yang dipakai dalam Nash. Lafadz Rujuk misalnya dipakai Nabi ketika memerintahkan Ibnu Umar merujuk kembali istrinya. Bukhari meriwayatakan;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
Dari Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia pernah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar bin Al Khaththab pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perintahkanlah agar ia meruju’nya (H.R. Al-Bukhari)
Lafadz Rodd dipakai Allah dalam Al-Quran. Allah berfirman;
Dan suami-suami mereka yang paling berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (Al-Baqoroh:228)
Lafadz Imsak juga dipakai Allah dalam Al-Quran;
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh Rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Al-Baqoroh:229)
Oleh karena itu jika seorang suami mengatakan kepada istrinya “Aku telah Rujuk kepadamu” atau “aku mengembalikanmu sebagai istriku sebagaimana semula” atau “aku menahanmu lagi dan tidak jadi kuceraikan” atau yang semakna dengannya, maka Rujuknya sah.
Adapun mempersaksikan ucapan Rujuk kepada dua saksi yang adil, maka hal ini didasarkan pada perintah Allah dalam surat At-Thalaq. Allah berfirman;
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka Rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu (At-Thalaq:2)
Namun, mempersaksikan ini hukumnya sunnah, tidak wajib dan tidak menjadi syarat sah karena tidak ada qorinah yang menunjukkan kewajibannya atau dijadikannya persaksian sebagai syarat sah Rujuk. Mempersaksikan saat Rujuk hanyalah anjuran saja agar tidak timbul persoalan (seperti perselisihan dengan istri) sebagaimana anjuran mempersaksikan akad hutang piutang yang disebutkan dalam Al-Quran;
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). (Al-Baqoroh: 282)
Tidak adanya syarat Wali dan mahar karena Rujuk bukan akad nikah. Oleh karena itu tidak perlu disediakan sesuatu yang hanya wajib disediakan untuk akad nikah. Lagipula tidak ada nash yang menunjukkan bahwa dalam Rujuk harus menghadirkan wali dan menyediakan mahar.
Ridha istri maupun tahu tidaknya dia juga tidak diperhatikan, karena Rujuk bukan akad. Rujuk adalah hak suami saja bukan hak istri sebagaimana talak juga menjadi hak suami saja bukan hak istri. Allah menegaskan bahwa Rujuk adalah hak suami. Allah berfirman;
Dan suami-suami mereka yang paling berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (Al-Baqoroh.228)
Namun, patut dicatat bahwa hukum Rujuk hanya berlaku jika istri telah ditalak. Keharusan terealisasinya talak ini didasarkan pada ketentuan dalam Al-Quran yang mensyariatkan Rujuk hanya dalam kondisi istri telah ditalak. Misalnya dalam ayat berikut;
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suami mereka yang paling berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (Al-Baqoroh:228)
Tampak dengan jelas bahwa syariat Rujuk yang diungkapkan dengan lafadz;
dan suami-suami mereka yang paling berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah
Hanya disyariatkan kepada wanita yang berstatus Muthollaqoh (telah ditalak)
Demikian pula ayat berikut;
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh Rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Al-Baqoroh:229)
Syariat Rujuk yang diungkapkan dengan lafadz;
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ
setelah itu boleh Rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf
Hanya diperlakukan setelah adanya talak.
Rujuk juga hanya bisa dilakukan di masa Iddah. Jika masa iddah sudah berakhir maka hak Rujuk telah hilang dan istri telah resmi menjadi orang lain. Jadi, jika pihak lelaki ingin menjadikannya lagi menjadi istri, maka hal itu dilakukan dengan akad nikah baru, mahar baru dan wali.
Atas dasar ini, jika istri yang telah meninggalkan suami selama empat tahun pada aksus yang ditanyakan itu semata-mata meninggalkan tanpa ada lafadz talak/cerai dari suami, maka tidak perlu Rujuk karena tidak ada talak dan tidak ada masa Iddah. Kondisi istri yang demikian tidak lebih disebut Nusyuz (pembangkangan), yakni maksiat dari pihak istri yang membuatnya kehilangan hak-hak istri seperti nafkah dan lain-lain. Untuk kembali menjadi istri langsung saja berkumpul dengan suami dalam satu rumah sebagaimana suami-istri normal. Istri hanya wajib meminta maaf kepada suami dan bertaubat atas maksiat besar yang dilakukannya. Namun jika perginya istri selama empat tahun itu telah didahului talak, sejak awal kepergiannya, maka pasti istri telah melewati masa Iddah, karena masa iddah itu habis dengan tiga kali suci dari haid, atau tiga bulan hijriyyah bagi wanita yang sudah menopause. Karena istri telah melewati masa iddah, berarti dia telah tercerai dengan sempurna dan menjadi wanita lain. Untuk kembali menjadi istri maka harus dilakukan akad nikah baru (bukan Rujuk) dengan mahar baru, saksi baru dan wali. Namun jika talak suami diucapkan baru-baru saja (misalnya sebulan terakhir dari empat tahun masa perginya istri), maka berarti isteri masih berada dalam masa iddah. Dengan demikian berlaku syariat Rujuk, sehingga suami jika ingin menjadikannya sebagai istri kembali dia hanya perlu melakukan Rujuk dengan tatacara yang telah dijelaskan.
Wallahu a’lam.