Oleh: Ust. Muafa
Islam mengharamkan mengadopsi anak karena mengadopsi anak bermakna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri, sementara penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dicela keras dalam Islam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan;
adop•si n 1 pengangkatan anak orang lain sbg anak sendiri; 2 Huk penerimaan suatu usul atau laporan (msl dl proses legislatif); 3 pemungutan;
meng•a•dop•si v 1 mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri; 2 memungut: bahasa Indonesia banyak ~ kata asing;
peng•a•dop•si n orang yg mengadopsi;
peng•a•dop•si•an n proses, cara, perbuatan mengadopsi
Dengan definisi adopsi sebagaimana dinyatakan diatas, jelaslah bahwa aktifitas adopsi adalah aktifitas mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Artinya, anak orang lain yang tidak ada hubungan Nasab dengan pihak yang mengadopsi diangkat secara sah dan dilindungi hukum untuk menjadi anaknya untuk memperoleh konsekuensi-konsekuensi hukum sebagaimana anak sendiri.
Adopsi dengan makna seperti ini jelas diharamkan Islam karena bermakna menyambungkan Nasab (garis keturunan) kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab, padahal Islam sangat menjaga kejelasan Nasab dan melarang pencampuradukan Nasab. Allah berfirman;
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab; 4).
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa anak-anak angkat/adopsi tidak akan pernah menjadi anak kandung selamanya. Itu semua hanya klaim mulut saja yang tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah dan tidak bisa mengubah konsekuensi-konsekuensi hukum.
Asbabun Nuzul ayat ini sebenarnya terkait dengan adopsi anak yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebelum turun ayat ini Rasulullah SAW pernah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Zaid sendiri asalnya adalah seorang budak milik Khadijah, istri Rasulullah SAW. Ketika Khadijah melihat Rasulullah SAW menyukainya, maka Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau. Setelah Zaid jadi miliknya, Rasulullah SAW membebaskannya dari status budak kemudian mengangkatnya menjadi anak. Dengan pengadopsian itu maka Zaid bukan lagi dipanggil Zaid bin Haritsah tetapi menjadi Zaid bin Muhammad. Setelah dewasa Zaid dinikahkan dengan wanita yang masih terhitung kerabat Rasulullah SAW sendiri yaitu Zainab binti Jahsy.
Namun ternyata Allah tidak ridha dengan sistem adopsi ini, maka diturunkanlah ayat;
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab;4).
Kemudian Allah memerintahkan agar anak-anak adopsi/angkat itu dipanggil dengan Nasab yang disambungkan pada ayah asli/sejati mereka. Allah berfirman;
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (Al-Ahzab;5)
Zaid, setelah turunnya ayat ini, jika sebelumnya dipanggil Zaid bin Muhammad maka setelah itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ayahnya yang asli yaitu Haritsah. Sehingga panggilannya kembali lagi menjadi Zaid bin Haritsah.
Allah juga menegaskan bahwa Muhammad Rasulullah SAW tidak pernah menjadi ayah bagi salah seorang lelakipun.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab;40)
Memang benar Rasulullah SAW pernah memiliki sejumlah anak lelaki seperti Al-Qosim, Abdullah dan Ibrahim. Namun semua putra Rasulullah SAW ini wafat dalam usia kecil, sehingga tidak ada satupun anak kandung –yang masih hidup-yang secara syar’i boleh bernasab kepada Rasulullah SAW.
Bahkan, untuk menegaskan aturan syariat tentang adopsi ini Allah berkehendak menikahkan Zainab binti Jahsy (istri Zaid bin Haritsah) dengan Rasulullah SAW setelah Zaid menceraikannya. Menikahi istri anak angkat hukumnya mubah, karena istri anak angkat bukan menantu yang terkategori Mahram. Anak angkat tetaplah orang lain, sehingga istrinyapun juga orang lain yang halal dinikahi.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Aku kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Al-Ahzab; 37)
Menabrak adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum adopsi memang cukup berat. Karena itu Allah mengingatkan Rasulullah SAW agar tidak menuruti adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum yang dijaga kaum kafir dan munafiq itu. Allah mengingatkan agar Rasulullah SAW hanya berpegang teguh kepada wahyu saja tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang lain.
1. Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
2. dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
3. dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.(Al-Ahzab;1-3)
Nabi sendiri setelah itu, dengan tuntunan wahyu menegaskan larangan penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dengan sabdanya;
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Dari Sa’d beliau berkata; Aku mendengar Nabi SAW bersabda; Barangsiapa mengaku-ngaku bernasab kepada selain ayahnya sementara dia tahu dia bukan ayahnya, maka Surga haram baginya” (H.R.Bukhari)
Oleh karena itu, berdasarkan nash-nash di atas jelaslah bahwa Islam mengharamkan adopsi anak dengan pengertian menjadikan anak orang lain sebagai anak sendiri yang diperlakukan sebagai anak sendiri dan dinisbatkan Nasabnya kepada Nasabnya sendiri.
Adapun mengadopsi anak dengan pengertian mengurus dan membiayai kebutuhan anak sampai mandiri, tanpa adanya penisbatan Nasab maka hal ini diperbolehkan bahkan dipuji karena aktifitas ini termasuk pengertian Kafalah (pengasuhan) bukan Tabanni (adopsi). Rasulullah SAW memuji orang yang bersukarela mengasuh anak yatim, yaitu mengurus dan membiayai kebutuhannya sampai dia mandiri.
عن سَهْل بْن سَعْدٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Dari Sahl bin Sa’d dari Nabi SAW beliau bersabda; Aku dan pengasuh anak yatim disurga seperti ini –beliau menunjukkan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah- (untuk menunjukkan kedekatan)” (H.R.Bukhari)
Mengurus dan membiayai kebutuhan anak untuk meringankan beban orang lain juga termasuk keumuman perintah berbuat Ihsan (kebaikan) yang dinyatakan Allah dalam firmanNya;
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu (An-Nisa; 36)
Atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa mengadopsi anak dengan makna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri hukumnya haram sementara mengurus dan membiayai kebutuhan anak tanpa adanya penisbatan Nasab (Nasabnya tetap ke ayahnya yang asli) hukumnya sunnah. Perbedaan fakta adopsi ini perlu diperhatikan oleh seorang muslim jika ingin mengasuh seorang anak.
Patut diperhatikan pula, bahwa ketaatan terhadap syariat Islam secara ideal, pasti –tanpa diragukan lagi- akan menyelesaikan masalah dan memblokir semua potensi masalah. Sebaliknya pelanggaran terhadap ketentuan Islam akan berakibat lahirnya masalah dan ruwetnya persoalan.
Wallahu a’lam.