Oleh: Ust. Muafa
Pertanyaan
Pak, apakah suara seorang wanita itu termasuk dalam aurat wanita? Jika iya, bagaimana hukumnya? Sedangkan sekarang ada banyak penyanyi wanita. Muhammad Febriyan Ramadhan, mahasiswa FPIK kelas P03 tahun 2014, NIM: 135080207111006
Jawaban
Alhamdulillah, Wassholatu Wassalamu ‘Ala Muhammad Rasulillah.
Suara wanita bukan aurot, karena jika suara wanita adalah aurot niscaya menjadi haram mendengarkannya. Hal ini tidak benar karena banyak sekali peristiwa di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dimana para wanita bertanya kepada nabi kemudian beliau menjawabnya. Percakapan antara Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan wanita meniscayakan beliau mendengar suara wanita. Seandainya suara wanita memang aurot, mestinya nabi tidak akan mengizinkan wanita memperdengarkan suaranya. Diantara hadis yang menunjukkan percakapan antara Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan wanita adalah hadis berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Dari Abdullah bin Umar Radhiallaahu ‘anhu: ia berkata: Dari Rasulullah Sollallaahu alaihi wasallam beliau bersabda: Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun). Kerena aku melihat kalian lebih banyak menjadi penghuni neraka. Seorang wanita yang cerdik di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita yang lebih banyak menjadi penghuni neraka? Rasulullah Sollallaahu alaihi wasallam menjawab: Kalian banyak mengutuk dan kufur terhadap suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih sanggup mengalahkan pria cerdas daripada kalian. Wanita itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah Sollallaahu alaihi wasallam menjawab: Yang dimaksud dengan kurang pada akal adalah kerana dua orang saksi wanita sama dengan seorang saksi laki-laki. Ini adalah kekurangan akal. Wanita juga berdiam selam bermalam-malam tanpa mengerjakan solat dan tidak puasa di bulan Ramadhan (kerana haid), ini adalah kekurangan pada agama. (H.R. Muslim)
Para shahabat juga biasa berdialog, bercakap-cakap, dan beramar ma’ruf nahi munkar dengan para wanita. Aisyah juga diketahui mengajarkan ilmu kepada para lelaki. Bahkan telah diketahui bahwa ada sejumlah perawi hadis wanita yang menjadi guru bagi ulama-ulama hadis. Semua ini menunjukan bahwa suara wanita bukanlah aurot.
Imam An-Nawawi berkata dalam kitabnya Roudhoh Ath-Tholibin;
وَصَوْتُهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ
“Suara wanita bukanlah aurot menurut pendapat yang paling benar (Roudhoh Ath-Tholibin Wa ‘Umdatu Al-Muftin, vol.7, hlm 21)
Adapun hadis yang memerintahkan agar wanita bertepuk tangan saat hendak mengoreksi imam shalat yang salah (tidak boleh bersuara dengan mengucapkan subhanallah), misalnya hadis berikut ini;
إِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ
“bertepuk tangan itu adalah untuk para wanita. Barangsiapa (dikalangan kaum lelaki) mengalami sesuatu dalam shalatnya maka hendaklah ia mengucapkan subhanallah” (H.R. Al-Bukhari)
Hadis ini tidak bisa menjadi dalil bahwa suara wanita itu aurot, karena syariat ini adalah khusus di waktu shalat. Buktinya Rasulullah صلى الله عليه وسلم tetap mengizinkan wanita berbicara secara normal kepada beliau pada saat bertanya di luar shalat.
Adapun perintah kepada wanita agar bertalbiyah dengan suara pelan saat Haji dan Umroh, ini juga tidak menunjukan bahwa suara wanita aurot sehingga haram didengar kaum lelaki, tetapi hanya menunjukkan bahwa wanita adalah kehormatan yang wajib dijaga sehingga apapun yang memicu syahwat lelaki termasuk diantaranya mengeraskan suara menjadi dilarang.
Adapun hadis yang mengatakan bahwa wanita adalah aurot, maka hadis ini masih terlalu umum dan belum menunjukkan bahwa suara adalah aurot. Sejauh yang mungkin difahami dari hadis bahwa wanita itu aurot adalah konsep bahwa wanita itu kehormatan yang harus dijaga, karena aurot tabiatnya adalah ditutup, sehingga ketika wanita disebut aurot, hukum asal wanita seharusnya ditutup rapat tubuhnya agar tidak menimbulkan fitnah dan godaan.
Namun, jika suara wanita itu mengandung unsur mendayu-dayu, dimerdu-merdukan, didesah-desahkan, dimanja-manjakan, dibuat semenggoda mungkin, maka ini semua adalah perbuatan haram dan mendengarkannya secara sengaja juga tidak diperbolehkan.
Allah berfirman:
Maka janganlah kalian melunak-lunakkan bicara sehingga berhasratlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. dan ucapkanlah Perkataan yang wajar/biasa/baik (Al-Ahzab: 32)
Ayat ini bermakna, Istri-istri Nabi hendaknya jangan melunak-lunakkan dan mendayu-dayukan suara. Jika berbicara yang wajar saja, yang tidak menimbulkan selera lelaki. Tentu saja para wanita selain istri nabi meneladani istri nabi dalam hal berkata-kata. Apalagi dalam banyak dalil yang lain telah disebutkan kewajiban wanita menjaga kehormatan dan juga disebutkan keharaman wanita melakukan tabarruj (memamerkan keindahan/kecantikan/keunyuan/pesona diri kepada lelaki asing). Allah berfirman:
dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (An-Nur; 31)
Al-Qurthubi, ketika mengatakan bahwa suara wanita adalah aurot maka yang beliau maksud adalah suara-suara yang tidak wajar, mengandung unsur mendayu-dayu, dimerdu-merdukan, didesah-desahkan, dimanja-manjakan, dibuat semenggoda mungkin dan semisalnya. Beliau mengatakan dalam tafsirnya:
أن المرأة كلها عورة، بدنها وصوتها
“bahwasanya wanita seluruhnya aurot, badannya dan suaranya” (Tafsir Al-Qurthubi, vol.14, hlm 227)
Hukum mendengarkan nyanyian wanita tidak lepas dari ketentuan ini. Jika nyanyiannya tidak mengandung syair yang bertentangan dengan syariat, dan suara wanita tersebut tidak menimbulkan efek menggoda/memicu hasrat kelaki-lakian, maka nyanyian seperti ini mubah dan mendengarkannya juga mubah. Namun jika nyanyian wanita itu menimbulkan efek menggoda/memicu hasrat kelaki-lakian maka menyanyi seperti ini menjadi dilarang dan mendengarkannya menjadi dilarang. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mendengarkan nyanyian dua orang gadis di rumah beliau. Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar masuk, sementara saat itu di sisiku ada dua orang gadis diantara gadis-gadis Kaum Anshar yang sedang bernyanyi dengan syair yang didendangkan orang-orang anshor pada waktu perang Bu’ats.” ‘Aisyah melanjutkan kisahnya, “Kedua gadis tersebut bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakar pun berkata, ” Apakah seruling-seruling setan ada di kediaman Rasulullah SAW?” Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya ‘Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW,”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Qostholani dalam kitabnya Irsyad As-Sari menjelaskan hadis ini sebagai berikut:
واستدلّ به على جواز سماع صوت الجارية بالغناء، ولو لم تكن مملوكة، لأنه -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لم ينكر على أبي بكر سماعه، بل أنكر إنكاره. ولا يخفى أن محل الجواز ما إذا أمنت الفتنة بذلك
Dengan hadis ini bisa diambil dalil kebolehan mendengarkan suara gadis yang bernyanyi meski bukan budak. Karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak mengingkari Abu Bakar yang mendengarkannya, tapi malah mengingkari pengingkaran Abu Bakar. Namun jelas, kebolehannya adalah selama aman dari fitnah karena nyanyian tersebut (Irsyad As-Sari, vol. 2 hlm 207)
Wallahu a’lam.