Pertanyaan
Bagaimana hukumnya solat subuh jika kita kesiangan ?Hanna Karima, mahasiswiFMIPA, matematika B tahun 2014
Jawaban
Alhamdulillah, Wassholatu Wassalamu ‘Ala Muhammad Rasulillah.
Shalat shubuh tetap wajib dikerjakan ketika bangun kesiangan. Tidak ada istilah gugur kewajiban karena kesiangan. Hanya saja, oleh karena shalat shubuh dilakukan tidak pada waktu yang seharusnya, maka niatnya adalah mengqodho’ (mengganti). Tata caranya persis seperti shalat أداء (ada-an, yang dilakukan pada waktu yang seharusnya).
Dari sisi dosa, perlu dirinci. Jika seorang muslim bangun pada waktu subuh, kemudian tidur lagi lalu kesiangan, maka dia jelas berdosa karena sengaja menunda melaksanakan kewajiban di waktu yang dia mampu melakukannya. Namun, jika faktor kesiangan adalah karena kecapekan, salah melihat jam, atau faktor-faktor yang tidak sengaja lainnya, maka itu semua tidak berdosa karena semuanya di luar kuasa.
Di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah terjadi para shahabat –termasuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiri- yang bangun kesiangan. Hal itu terjadi karena mereka benar-benar kecapekan sampai mereka tidak dibangunkan kecuali oleh panasnya sinar matahari. Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak marah, dan tidak menyalahkan. Para shahabat diminta tenang dan shalat shubuh mengqodho’ dengan tenang. Ini semua menunjukkan bahwa bangun kesiangan jika tidak disengaja maka tidak berdosa, namun tetap wajib menqodho’ shalat shubuh sesegera mungkin dengan tenang. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (2/ 71)
عَنْ عِمْرَانَ قَالَ كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ اسْتَيْقَظَ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ الرَّابِعُ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ لِأَنَّا لَا نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ قَالَ لَا ضَيْرَ أَوْ لَا يَضِيرُ ارْتَحِلُوا فَارْتَحَلَ فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاس
dari ‘Imran berkata, “Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami melakukan perjalanan di malam hari. Tatakalakami telah mencapai akhir malam, kami terhempas tidur dengan cara tidur yang tidak pernah seenak itu (nyenyak) bagi musafir.. sampai-sampai tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu fulan yang nama mereka disebut semua oleh Abu Roja’ namun namun ‘Auf lupa siapa saja mereka. ‘Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat (diantara mereka yang bangun lebih dulu). Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila beliau tidur, maak beliau tidak dibangunkan (tidak ada yang berani membangunkan beliau) hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika ‘Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan ‘Umar adalah seorang yang keras-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir ‘Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: “Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan.” Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian dikumandangan azan shalat, lalu beliau mengimami shalat” (H.R.Bukhari).