Oleh: Ust. Muafa
Saya tidak sedang berbicara istilah kholifah dalam pembicaraan politik Islam. Saya juga tidak sedang ingin menjelaskan tafsir lafaz kholifah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Yang saya maksud kholifah dalam tulisan ini adalah istilah dalam ilmu nahwu yang cara membacanya adalah dengan memanjangkan harokat huruf kho’ (اْلخَالِفَةُ). Adapun istilah kholifah dalam pembicaraan politik Islam atau dalam ayat Al-Qur’an, yang dipanjangkan harokat huruf lamnya (اْلخَلِيْفَةُ).
Apa itu kholifah (اْلخَالِفَةُ)?
Dalam pelajaran-pelajaran nahwu dasar selalu diajarkan bahwa seluruh kata dalam bahasa Arab bisa digolongkan menjadi tiga macam saja, yaitu isim (الاسم), fi’il (الفعل), dan harf (الحرف). Isim adalah kata yang kandungan maknanya tidak disertai makna waktu, fi’il adalah kata yang kandungan maknanya disertai makna waktu, sementara harf adalah kata yang hanya memberi makna jika dikaitkan dengan kata lain.
Penggolongan ini memang penggolongan yang paling masyhur dan diterima selama berabad-abad.
Dasar dari penggolongan ini adalah istiqro’ (kajian komprehensif) terhadap seluruh sumber-sumber bahasa Arab yang orsinil dan alasan rasional, maksudnya secara fakta memang kata tidak akan lepas dari tiga macam saja ditinjau dari sisi makna. As-Suyuthi berkata:
وَالدَّلِيل على الْحصْر فِي الثَّلَاثَة الاستقراء وَالْقِسْمَة الْعَقْلِيَّة
“dalil pembatasan tiga (macam kata ini adalah) istiqro’ dan pembagian rasional” (Ham’u Al-Hawami’ Fi Syarhi Jam’I Al-Jawami’, vol.1 hlm 25)
Hanya saja, di masa lalu ada peminat bahasa Arab yang menambah kategori keempat yang beliau istilahkan dengan nama kholifah. Jadi, menurut beliau kata-kata dalam bahasa Arab dikelompokkan menjadi empat macam: isim, fi’il, harf, dan kholifah.
Penggagas ide ini adalah Abu Ja’far Al-Qoisi.
Siapakah beliau?
Nama lengkapnya Abu Ja’far Ahmad bin Shobir Al-Qoisi. Beliau adalah kawan dari guru Abu Hayyan Al-Andalusi. Abu Hayyan, sebagaimana diketahui adalah pakar nahwu dari Spanyol. Abu Ja’far lebih dikenal dalam fikih, bukan nahwu. Madzhabnya dhohiri. Belau adalah salah satu ulama Maroko dan Andalus waktu itu (1).
Ketika Abu Ja’far memberi usulan kategori tambahan yang beliau istilahkan dengan nama kholifah, sesungguhnya beliau memaksudkan jenis kata yang disebut dengan istilah isim fi’il oleh jumhur.
Isim fi’il adalah kata yang bermakna fi’il, tetapi tidak memiliki ciri-ciri fi’il. Malah secara fisik kata jenis ini memiliki ciri-ciri isim. Contohnya kata:
أُفٍّ
صَهْ
Haihata bermakna ba’uda/ بَعُدَ (jauh), uffin bermakna atadhojjar/ أَتَضَجَّرُ (aku merasa bosan), dan shoh bermakna uskut/ اسْكُتْ (diamlah).
Kata-kata ini semuanya bermakna fi’il (kata-kerja/verb), hanya saja dalam susunan kalimat Arab kata-kata ini digunakan seolah-olah isim. Oleh karena itu, jumhur pakar nahwu menyebutnya dengan istilah isim fi’il, karena kelompok kata jenis ini bukan murni isim dan bukan murni fi’il. Seakan-akan jumhur ingin mengkompromikan dengan memberi nama isim ketika melihat bentuk fisiknya, lalu menambahkan nama fi’il ketika melihat maknanya sehingga nama resmi yang diberikan adalah isim fi’il.
Abu Ja’far mengusulkan istilah baru untuk kelompok kata-kata ini, yaitu istilah kholifah. Arti kholifah secara bahasa adalah pengganti. Abu Ja’far memaksudkan, kata ini disebut kholifah untuk mengingatkan bahwa kata ini menjadi pengganti fi’il.
Hanya saja, gagasan Abu Ja’far ini tenggelam dan tidak ada pakar nahwu yang kemampuannya di atas Abu ja’far yang menyetujuinya. Jumhur, sebagaimana secara implisit saya tuliskan, menggolongkan “kholifah” Abu Ja’far ini dalam perincian isim, bukan kategori tersendiri. Abu Ja’far bin Shobir Al-Qoisi memang bukan pakar nahwu yang bisa disejajarkan dengan Sibawaih, Al-Kisa’I, Ibnu Malik, Ibnu Hisyam Al-Anshori dan yang semisal dengan mereka. Karenanya pendapatnya tidak pernah dianggap (2).
Ternyata, dalam pembahasan disiplin ilmu tertentu, tidak semua pendapat layak dibahas meskipun yang mengeluarkan pendapat juga dikenal sebagai ulama. Kasus ini menunjukkan pelajaran penting bagi kita tentang otoritas ilmu.
—————-
Catatan kaki:
1 Catatan singkat tentang beliau bisa dibaca pada kitab Al-Wafi bi Al-Wafayat karangan Ash-Shofadi berikut ini:
(أَبُو جَعْفَر الْقَيْسِي)
أَحْمد بن صابر الْقَيْسِي أَبُو جَعْفَر أَخْبرنِي العلاّمة أثير الدّين أَبُو
حَيَّان قَالَ كَانَ الْمَذْكُور رَفِيقًا للأستاذ أبي جَعْفَر ابْن الزبير شَيخنَا وَكَانَ كَاتبا مترسلاً ساعداً شَاعِرًا حسن الْخط على)
مَذْهَب أهل الظَّاهِر وَذكر أَنه كَانَ كَاتبا للأمير أبي سعيد لفرج بن السُّلْطَان الْغَالِب بِاللَّه بن الْأَحْمَر ملك الأندلس خرج أَبُو جَعْفَر من الأندلس وَسبب خُرُوجه مِنْهَا أَنه كَانَ يرفع يَدَيْهِ فِي الصَّلَاة على مَا صَحَّ فِي الحَدِيث فَبلغ ذَلِك السُّلْطَان أَبَا عبد الله فتوعده بِقطع يَدَيْهِ فَضَجَّ من ذَلِك وَقَالَ إِن إقليماً يمات فِيهِ سنة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم حَتَّى يتوعد بِقطع الْيَد مِمَّن يقيمها لجدير أَن يرحل مِنْهُ فَخرج وَقدم ديار مصر وَسمع بهَا الحَدِيث وَكَانَ فَاضلا نبيلاً
2 Contoh penolakan pakar-pakar nahwu yang lain terhadap gagasan Abu Ja’far bisa dibaca dalam kutipan-kutipan berikut ini:
قوله: “على هذا” أي انحصار الكلمة في الثلاثة. قوله: “إلا من لا يعتد بخلافه” هو أبو جعفر بن صابر فإنه زاد اسم الفعل مطلقا وسماه خالفة والحق أنه من أفراد الاسم
وَأَقُول الْكَلِمَة جنس تَحْتَهُ هَذِه الْأَنْوَاع الثَّلَاثَة لَا غير أجمع على ذَلِك من يعْتد بقوله