Oleh: Ust. Muafa
Pertanyaan:
Jika para wanita salat berjamaah, di manakah posisi mereka? Apakah harus di belakang jamaah lelaki? Bolehkah berada di samping jamaah lelaki dengan dipisahkan tabir/penutup?
Jawaban
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Jika wanita salat berjamaah bersama lelaki, maka posisinya adalah di belakang lelaki, bukan disampingnya. Demikianlah yang diajarkan Rasulullah dan menjadi sunnah beliau. Bukhari meriwayatkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang anak yatim ikut di belakang beliau sedangkan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.”
Dalam hadis di atas di ceritakan Rasulullah bertindak sebagai imam. Makmumnya tiga orang, yaitu; Anas bin Malik, seorang anak yatim dan Ummu Sulaim. Dengan demikian, makmum laki-lakinya dua, yaitu Anas dan seorang anak yatim, sementara makmum wanita hanya satu yaitu Ummu Sulaim. Dengan komposisi makmum seperti ini, ternyata Rasulullah menatanya dengan formasi wanita dibelakang laki-laki. Rinciannya, Anas dan anak yatim dibelakang Rasulullah , sementara Ummu Sulaim dibelakang Anas bin Malik dan anak yatim itu. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dengan lugas bahwa posisi wanita dalam salat berjamaah adalah di belakang lelaki.
Hadis yang semakna juga diriwayatkan Al-Bukhari. Hanya saja dalam riwayat ini yang menjadi makmum wanita adalah Mulaikah, nenek Anas bin Malik. Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
dari Anas bin Malik bahwa neneknya, Mulaikah, mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghadiri hidangan yang ia masak untuk beliau. Beliau kemudian menyantap makanan tersebut kemudian bersabda: “Berdirilah, aku akan pimpin kalian shalat.” Anas berkata, “Maka aku berdiri di tikar milik kami yang sudah lusuh dan hitam akibat sering digunakan. Aku lalu memercikinya dengan air, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atasnya. Aku dan seorang anak yatim lalu membuat barisan di belakang beliau, sementara nenek berdiri di belakang kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu shalat memimpin kami sebanyak dua rakaat lalu pergi.”
Sejumlah ulama yang dijadikan rujukan oleh kaum muslimin selama berabad-abad juga menjelaskan bahwa makna hadis ini adalah ketentuan bahwa posisi wanita dalam salat berjamaah bersama lelaki adalah dibelakang shaf lelaki. Di antara mereka adalah imam An-Nawawi, salah seorang ulama besar dalam madzhab Asy-Syafi’i. Dalam syarahnya atas shahih Muslim beliau menulis:
وَفِيهِ أَنَّ الْمَرْأَةَ تَقِفُ خَلْفَ الرِّجَالِ وَأَنَّهَا إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهَا امْرَأَةٌ أُخْرَى تَقِفُ وَحْدَهَا مُتَأَخِّرَةً
“Dalam hadis ini mengandung makna bahwa seorang wanita berdiri di belakang para lelaki dan bahwasanya jika tidak ada bersamanya seorang wanita yang lain maka dia berdiri sendirian di belakang”
Demikian pula Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam kitabnya Fathu Al-Bari:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْفَوَائِدِ … وَتَأْخِيرُ النِّسَاءِ عَنْ صُفُوفِ الرِّجَالِ وَقِيَامُ الْمَرْأَةِ صَفًّا وَحْدَهَا إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهَا امْرَأَةٌ غَيْرُهَا
“Dalam hadis ini terdapat sejumlah makna……(di antaranya) peletakan para wanita di belakang shof para lelaki dan berdirinya wanita sebagai satu shof sendirian jika tidak ada bersamanya wanita selain dia”
Pujian Rasulullah terhadap shaf terdepan lelaki dan shaf wanita yang paling belakang juga menunjukkan posisi salat wanita di masjid Rasulullah adalah di belakang lelaki, bukan di sampingnya. Hal itu karena shaf wanita yang paling belakang adalah posisi yang paling jauh untuk bercampur baur dengan lelaki atau terfitnah dengan lelaki. Demikian pula shaf terdepan lelaki adalah posisi paling jauh untuk bercampur baur dengan wanita, terfitnah dengan kecantikan mereka, suara mereka dan sebagainya. Muslim meriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik shaf kaum laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah pada akhirnya. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah akhirnya, dan sejelek-jeleknya adalah awal shaf.”
Adapun jika ada masjid/musholla yang memposisikan wanita di samping shaf lelaki, bukan di belakangnya maka salat jamaah lelaki maupun wanita semuanya sah, hanya saja yang demikian itu dihukumi makruh (dibenci), sehingga sebaiknya sesegera mungkin diubah.
Sebagian ulama berijtihad lebih ketat, diantaranya Abu Hanifah. Beliau berpendapat bahwa lelaki yang shafnya disejajari wanita tanpa penghalang, salatnya batal. Ini juga pendapat Abu Bakr dan Abu Hafsh dari kalangan murid-murid imam Ahmad.
Ibnu Taimiyyah berkata:
أَنَّ وُقُوفَ الْمَرْأَةِ خَلْفَ صَفِّ الرِّجَالِ سُنَّةٌ مَأْمُورٌ بِهَا، وَلَوْ وَقَفَتْ فِي صَفِّ الرِّجَالِ لَكَانَ ذَلِكَ مَكْرُوهًا.
وَهَلْ تَبْطُلُ صَلَاةُ مَنْ يُحَاذِيهَا؟ فِيهِ قَوْلَانِ لِلْعُلَمَاءِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ، وَغَيْرِهِ.
أَحَدُهُمَا: تَبْطُلُ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي بَكْرٍ وَأَبِي حَفْصٍ. مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَدَ.
وَالثَّانِي: لَا تَبْطُلُ. كَقَوْلِ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ حَامِدٍ وَالْقَاضِي، وَغَيْرِهِمَا، مَعَ تَنَازُعِهِمْ فِي الرَّجُلِ الْوَاقِفِ مَعَهَا: هَلْ يَكُونُ فَذًّا أَمْ لَا؟ وَالْمَنْصُوصُ عَنْ أَحْمَدَ بُطْلَانُ صَلَاةِ مَنْ يَلِيهَا فِي الْمَوْقِفِ.
“Bahwasanya berdirinya seorang wanita di belakang shof para lelaki adalah sunnah yang diperintahkan. Seandainya ia berdiri di shof para lelaki maka yang demikian itu makruh. Lalu apakah batal sholat orang yang sejajar dengannya? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan para ulama dalam Mazhab Ahmad dan selainnya. (pendapat )Yang pertama (mengatakan): Sholatnya batal sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan ini adalah pilihan Abu Bakr dan Abu Hafs di kalangan murid-murid Ahmad. (pendapat) Yang kedua (mengatakan): Tidak batal, sebagaimana pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan ini adalah pendapat Ibnu Hamid, Al-Qodhi dan selain mereka dengan disertai perbedaan pendapat di kalangan mereka terkait dengan seorang lelaki yang berdiri bersamanya apakah dia dihukumi fadz (lelaki yang sholatnya di shof sendirian tidak bersama lelaki yang lain) ataukah tidak. Yang dinyatakan dalam Mazhab Ahmad adalah batalnya sholat orang yang berada di dekat wanita tempat berdirinya.
Keterangan senada juga diberikan An-Nawawi:
إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ صلاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إنْ لَمْ تَكُنْ الْمَرْأَةُ فِي صَلَاةٍ أَوْ كَانَتْ فِي صَلَاةٍ غَيْرَ مُشَارِكَةٍ لَهُ فِي صَلَاتِهِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَصَلَاتُهَا فَإِنْ كَانَتْ فِي صَلَاةٍ يُشَارِكُهَا فِيهَا وَلَا تَكُونُ مُشَارِكَةً لَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ إلَّا إذَا نَوَى الْإِمَامُ إمَامَةَ النِّسَاءِ فَإِذَا شَارَكَتْهُ فَإِنْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ رَجُلٍ بَطَلَتْ صَلَاةُ مَنْ إلَى جَنْبَيْهَا وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهَا وَلَا صَلَاةُ مَنْ يَلِي الَّذِي يَلِيهَا لِأَنَّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا حَاجِزًا
“Jika seorang lelaki sholat sementara di sampingnya ada seorang wanita maka sholat lelaki dan wanita itu tidak batal baik lelaki itu menjadi imam ataupun makmum. Ini adalah mazhab kami dan ini juga pendapat Imam Malik dan mayoritas. Abu Hanifah berpendapat jika seorang wanita tidak berada dalam sholat atau berada dalam sholat tetapi tidak menyamai sholat lelaki itu dalam sholatnya maka sholat lelaki itu dan sholat wanita itu sah. Jika wanita itu berada pada sholat yang sama dengan wanita dan wanita itu tidak sama dengannya makan menurut Abu Hanifah batal kecuali jika imam berniat untuk mengimami para wanita. Jika seorang wanita menyamai lelaki maka jika dia berdiri di samping lelaki maka batallah sholat orang yang berada di samping wanita itu dan tidak batal sholat wanita itu tidak pula batal sholat orang yang berada di dekat orang yang dekat dengan wanita itu karena di antara lelaki itu dan wanita itu ada penghalang”
Jadi, bisa disimpulkan bahwa formasi jamaah yang sesuai petunjuk Nabi adalah menempatkan shof wanita di belakang lelaki, bukan disampingnya. Oleh karena itu, jika ada masjid atau mushola menempatkan jamaah wanita di samping kanan shof lelaki atau di samping kirinya, seyogyanya formasi yang demikian segera diubah. Wallahua’lam.