Oleh: Ust. Muafa
Al-Farro’ berkata; maka Al-Kisa’ipun datang. Kemudian beliau menghadap ke arah Sibawaih. Lalu beliau bertanya; “Anda bertanya kepada saya (dulu) ataukah saya bertanya kepada Anda”? Sibawaih menjawab; “Tidak. Andalah yang bertanya kepada saya”. Maka Al-Kisa’i menghadap kepadanya dan bertanya:” apa pendapat Anda terhadap kalimat berikut (mana yang benar?);
(Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya daripara zunbur/kumbang. Ternyata sama saja)
ataukah
Sibawaih menjawab; (yang benar) فإذا هو هي dan tidak boleh dinashobkan.
Syarah;
Setelah statemen Sibawaih tersebut, maka diskusi antara Al-Farro’ dengan Sibawaih berhenti. Lalu Al-Kisa’i datang sehingga acara debat yang paling inti dan ditunggu-tunggupun bisa segera diselenggarakan. Al-Kisa’i menawarkan siapa dulu yang mengajukan pertanyaan, dan Sibawaih mempersilakan Al-Kisa’i yang memulai melontarkan pertanyaan. Maka Al-Kisa’i melontarkan pertanyaan yang menjadi poluler di kemudian hari, yang dari pertanyaan ini kisah debat ini dinamakan zunburiyyah. Al-Kisa’i menyajikan kalimat berikut ini;
(Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya daripara zunbur/kumbang. Ternyata sama saja)
Yang digaris bawahi Al-Kisa’i adalah kalimat فإذا هو هي (ternyata sama saja). Pertanyaan tebakan Al-Kisa’i adalah: Dhomir (kata ganti) Hiya (هي) pada kalimat tersebut yang merujuk kepada kata ‘Aqrob/kalajengking (العقرب), posisi i’robnya rofa’ (posisi nominatif) sehingga tetap berbentuk (هي) ataukah berposisi nashob (posisi akusatif) sehingga berbentuk (إياها)? Maka Sibawaih memberi jawaban tegas, bahwa yang benar adalah posisi rofa’ dan tidak boleh nashob, sehingga lafadz yang benar adalah فإذا هو هي bukan فإذا هو إياها .
Maka Al-Kisa’i berkata kepadanya: Anda telah melakukan Lahn (kesalahan berbahasa). Kemudian Al-Kisa’i menanyainya lagi dengan sejumlah kasus yang sejenis dengan pertanyaan sebelumnya seperti;
(Aku keluar. Ternyata Abdullah berdiri)
Yang ditanyakan: mana yang benar, apakah القائمُ ataukah القائمَ ? maka semuanya dijawab Sibawaih dengan jawaban rofa’ bukan nashob. Maka Al-Kisa’i berkata; “Ini bukan bahasa orang-orang Arab. Orang-orang Arab merofa’kan itu semua dan menashobkan”. Maka Sibawaih membantah pendapat tersebut.
Syarah;
Al-Kisa’i memandang jawaban Sibawaih keliru, sehingga Sibawaih divonis telah melakukan lahn (kesalahan berbahasa). Namun ternyata Sibawaih konsisten dengan jawabannya ketika Al-Kisa’i menanyainya dengan sejumlah pertanyaan senada. Al-Kisa’i berpendapat, jawaban Sibawaih bukanlah bahasa Arab yang dikenal oleh orang-orang Arab. Namun Sibawaih membantah jawaban tersebut dengan argumentasinya. Sampai disini, perbedaan pendapat antara dua “raja” nahwu yang berbeda aliran ini nampaknya belum bisa didamaikan.
Yahya bin Khalid berkata: kalian telah berbeda pendapat, padahal kalian adalah panutan di negeri masing-masing. Lalu siapa yang bisa menjadi juri untuk kalian berdua? Al-Kisa’i berkata; “Ini ada orang-orang Arab (Badui) di pintu Anda. Anda telah mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru. Mereka telah datang kepada Anda dari berbagai daerah. Mereka adalah orang-orang yang paling fasih. Penduduk dari berbagai kota telah bisa menerima mereka. Penduduk Kufah dan Bashrah juga telah mengambil dalil ucapan dari mereka. Orang-orang Arab Badui ini datang, dan mereka menanyainya.” Yahya berkata: Anda adil. Maka Yahya memerintahkan agar mereka dihadirkan.
Syarah;
Mendengar perbedaan pendapat dengan argumentasi masing-masing dari dua tokoh beda aliran ini, Yahya menjadi bingung bagaimana menentukan yang benar. Yahya merasa kedua orang ini adalah yang paling ahli dalam bidang nahwu, karena itu sulit untuk memilih juri yang akan menentukan siapa yang benar. Di tengah-tengah kebuntuan ini, Al-Kisa’i mengusulkan agar orang-orang Arab badui yang hadir dalam forum debat tersebut dijadikan sebagai juri mengingat Arab badui adalah Arab pedesaan yang masih murni bahasanya dan paling fasih bahasanya karena mereka belum pernah bercampur dengan bangsa selain Arab yang sampai taraf merusak bahasa Arab mereka yang murni. Kemurnian bahasa Arab badui ini diakui oleh berbagai penduduk karena mereka selama ini menjadikan ucapan Arab badui sebagai dalil dalam pembahasan nahwu mereka dan dalam debat-debat mereka. Yahya menyetujui usul ini dan memerintahkan mereka agar dibawa di depan forum.
Maka merekapun masuk. Diantara mereka ada Abu Faq’as, Abu Ziyad, Abu Al-Jarroh dan Abu Tsarwan. Lalu mereka ditanya tentang kasus-kasus yang didiskusikan oleh Al-Kisa’i dan Sibawaih. Ternyata mereka mengikuti Al-Kisa’i dan berpendapat dengan pendapat yang diadopsi Al-Kisa’i. Al-Farro’ berkata: maka Yahya menghadap ke arah Sibawaih dan berkata: Anda telah mendengarnya, bung. Al-Farro’ berkata; maka Sibawaihpun tunduk.
Syarah;
Orang-orang Badui yang hadirkan dalam forum itupun masuk dan mereka diminta menilai siapa yang benar antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i terkait hal-hal yang didebatkan. Ternyata mereka sependapat dengan Al-Kisa’i. Dengan akhir seperti ini, forum itupun dianggap selesai dengan “kekalahan” dipihak Sibawaih.
Kemudian Al-Kisa’i menghadap kepada Yahya; Semoga Allah selalu membenahi urusan Wazir. Sesungguhnya dia telah datang kepada engkau dari negerinya dalam keadaan berharap. Jika engkau melihat bahwa engkau tidak menolaknya dalam keadaan kecewa, saya kira itu baik. Maka Yahya memerintahkan agar Sibawaih diberi 10.000 dirham. Maka Sibawaih keluar dan mengarahkan tujuannya ke Faris. Mka dia tinggal di sana hingga mati dan tidak kembali ke Bashroh (Majalis Al-Ulama, hlm 9-10)
Syarah;
Setelah forum debat dianggap selesai, Al-Kisa’i menunjukkan ketinggian akhlak dengan berusaha memperhatikan kebutuhan Sibawaih. Menurut Al-Kisa’i, Sibawaih datang jauh-jah dari Bashroh untuk menghadap Yahya bin Khalid Al-Barmaky adalah karena berharap mendapatkan sejumlah harta. Al-Kisa’i menyarankan hendaknya Sibawaih tidak dibuat kecewa, sehingga meskipun “kalah” dalam debat, baiknya dia tetap diberi harta. Yahya setuju dengan usulan ini, sehingga memberi Sibawaih uang sebanyak 10.000 dirham.
Demikianlah peristiwa Zunburiyyah itu.
……………………………………………………
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa kisah ini adalah batil, dengan mendasarkan pada statemen Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala’, maka pendapat tersebut tidak bisa dipegang karena Az-Zajjajy telah meriwayatkan dalam kitabnya dengan sanad lengkap dengan perawi-perawi pakar bahasa yang telah diakui para kritikus hadis sebagai perawi yang tsiqoh. Al-Baghdady dalam Tarikh Baghdad juga meriwayatkan kisah tersebut dengan sanad perawi tsiqoh sehingga bisa dipegang. Hanya riwayat Az-Zabidy dalam Thobaqot An-Nahwiyyin dan Al-Lughowiyyin yang memiliki kualitas sanad dibawah diwayat Az-Zajjajy dan Al-Baghdady. Kisah inipun demikian masyhur, dikutip ahli-ahli bahasa seperti Ibnu Al-Anbary, Ibnu Hisyam Al-Anshory, Ash-Shofady, Abu Hayyan, As-Suyuthi dll dalam kitab-kitab mereka tanpa kritikan. Adz-Dzahaby sendiri menyebutkan kisah tersebut dengan shighat jazim (tegas) dalam kitabnya Tarikh Al-Islam. Karena itu, memahami statemen Adz-Dzahaby yang mengatakan kadzib (dusta) bisa difahami sebagai bentuk tash-hif (kesalahan penyalinan) dari kata seharusnya yang berbunyi kadza (sebagaimana berikut), atau difahami bahwa yang dimaksut dusta Adz-Dzahaby adalah berita bahwa Al-Kisa’i menyuap orang-orang Arab Badui agar menguatkan pendapat nahwunya. Wallahu a’lam.