Oleh: Ust. Muafa
(إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ) ATAUKAH (إِسْحَاقُ بْنُ رَاهُوْيَهْ)
Beliau adalah salah seorang tokoh ulama hadis yang sezaman dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan salah satu aqron bagi Ahmad, (aqron: perawi-perawi yang memiliki usia serta sanad yang tidak jauh berbeda dengan perawi lainnya). Hapalannya luar biasa. Konon, beliau pernah mendiktekan 11.000 hadis kepada sejumlah muridnya, kemudian hadis itu diajarkan dan dikoreksikan ulang kepada beliau, ternyata tidak ada satu huruf pun berbeda dari apa yang diajarkan pertama kali.
Bagaimana cara melafalkan nama beliau dengan benar?
Apakah Ishaq bin Rohawaih?
Atau Ishaq bin Rohuyah?
Atau Ishaq bin Rohuwaih?
Atau bahkan Ishaq bin Rohwaih?
Jika ditinjau dari ilmu bahasa dan kaidah pelafalan Bahasa Arab, yang lebih tepat adalah dengan melafalkan Ishaq bin Rohawaih (إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ ). Alasannya, lafaz Rohawaih dalam bahasa Arab termasuk tarkib mazji, yakni lafaz yang tersusun dari dua kata dengan makna sendiri-sendiri dan akhirnya dipandang sebagai satu kesatuan kata/nama sesuatu. Aturan dasar yang penting dalam tarkib mazji adalah huruf terakhir kata pertama harus difathah. Misalnya kata hadhromaut ( حَضْرَمَوْتُ ). Kata ini adalah tarkib mazji yang berasal dari dua kata yaitu hadhoro ( حَضَرَ ) artinya hadir dan maut ( مَوْت ) artinya mati/kematian. Ketika dua kata ini digabung, maka huruf terakhir kata pertama yakni ro’ pada kata hadhoro ( حَضَرَ ) wajib difathah (atau menetapkan harokat fathah jika sebelum digabung memang berharokat fathah) sehingga dalam penggabungan lafaznya berbunyi hadhromaut ( حَضْرَمَوْتُ ) artinya Hadramaut, yaitu nama sebuah daerah di Yaman. Hadramaut tidak boleh dibaca dengan mendhommahkan ro’, hadhrumaut ( حَضْرُمَوْتُ ).
Contoh lain adalah kata Baytalahm (بَيْتَ لَحْم), kata ini adalah tarkib mazji yang berasal dari dua kata yaitu baitun (بَيْتٌ ) artinya rumah dan lahmun (لَحْمٌ ) artinya daging. Ketika dua kata ini digabung, maka huruf terakhir kata pertama yakni ta’ pada kata baitun (بَيْتٌ ) wajib difathah sehingga dalam penggabungan lafaznya berbunyi baytalahm (بَيْتَ لَحْمُ) artinya Betlehem, yaitu nama sebuah daerah di Palestina. Baytalahm tidak boleh dibaca dengan mendhommahkan ta’, baytulahm ( بَيْتَ لَحْم ).
Kembali ke lafadz rohawaih, lafaz Rohawaih adalah tarkib mazji yang berasal dari kata roha ( رَاهَ ) dan waih ( وَيْهِ ). Ketika dua kata ini digabung, maka huruf terakhir kata pertama wajib difathah menjadi Rohawaih (رَاهَوَيْهِ ), tidak boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf ha’ misalnya Rohuwaih ( رَاهُوَيْهِ). Jadi melafalkan Rohuwaih atau Rohwaih (dengan mensukunkan ha’) adalah keliru berdasarkan kaidah ini.
Demikian pulalah cara pelafalan nama-nama ulama lain yang tergolong tarkib mazji seperti Sibawaih ( سِيْبَوَيْهِ), Hamdawaih ( حَمْدَوَيْهِ), Zanjawaih ( زَنْجَوَيْهِ), Kholawaih ( خَالَوَيْهِ), dll. Bisa diperhatikan kata pertama nama-nama tersebut, huruf terakhir kata pertama semuanya diharokati fathah.
Hanya saja, para ahli hadis tidak suka melafalkan waih, karena konon lafaz itu adalah salah satu dari nama Syetan. Oleh karena itu mereka melafalkan waih dengan mensukunkan wawu dan memfathahkan ya’ menjadi uyah, sehingga kata Rohawaih akhirnya dilafalkan menjadi Rohuyah (رَاهُوْيَهْ). Jadi ini adalah kebiasaan ahli hadis. As-Suyuthi berkata:
وَفِي فَوَائِدِ رِحْلَةِ ابْنِ رَشِيدٍ: مَذْهَبُ النُّحَاةِ فِي هَذَا وَفِي نَظَائِرِهِ فَتْحُ الْوَاوِ وَمَا قَبْلَهَا وَسُكُونُ الْيَاءِ ثُمَّ هَاءٌ، وَالْمُحَدِّثُونَ يَنْحُونَ بِهِ نَحْوَ الْفَارِسِيَّةِ فَيَقُولُونَ: هُوَ بِضَمِّ مَا قَبْلَ الْوَاوِ وَسُكُونِهَا وَفَتْحِ الْيَاءِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ فَهِيَ هَاءٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَالتَّاءُ خَطَأٌ.
قَالَ: وَكَانَ الْحَافِظُ أَبُو الْعَلَاءِ الْعَطَّارُ يَقُولُ: أَهْلُ الْحَدِيثِ لَا يُحِبُّونَ وَيْهِ اهـ.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ: وَلَهُمْ فِي ذَلِكَ سَلَفٌ، رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ ” مُعَاشَرَةِ الْأَهْلِينَ ” عَنْ أَبِي عَمْرٍو عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيَّ أَنَّ وَيْهِ اسْمُ شَيْطَانٍ
Artinya:
“Dalam Fawaid Rihlah Ibn Rasyid (disebutkan): Mazhab para pakar nahwu ketika membaca lafaz ini dan yang semisalnya adalah memfathahkan wawu dan huruf sebelumnya serta mensukunkan ya’ kemudian ha’. Para ahli hadis mengikuti cara orang-orang Persia sehingga mereka mengatakan ‘lafaz itu dibaca dengan mendhommahkan huruf sebelum wawu, mensukunkan wawu, memfathahkan ya’, dan mensukunkan ha’. Huruf ha’ disini berlaku dalam semua kondisi. karenanya huruf ta’ adalah kesalahan. Beliau juga berkata, ‘Al-Hafiz Al-Ala’ bin Al-‘Atthor berkata, ‘para ahli hadis tidak menyukai waih.’ Syaikhul Islam berkata, ‘mereka memiliki dasar teladan pada generasi sebelumnnya dalam hal tersebut. Kami meriwayatkannya dalam kitab Mu’asyaratul Ahlin dari Abu Amr dari Ibrahim An-Nakho’i bahwasanya waih adalah nama syetan.”
As-Suyuthi dalam Bughyatul Wu’at juga memberikan informasi senada:
هَذَا اصْطِلَاح لأهل الحَدِيث فِي كل اسْم بِهَذِهِ الصِّيغَة، وَإِنَّمَا عدلوا إِلَى ذَلِك لحَدِيث ورد أَن ” ويه ” اسْم شَيْطَان، فعدلوا عَنهُ كَرَاهَة لَهُ
Artinya:
“Ini adalah istilah ahli hadis pada setiap nama dengan redaksi ini, mereka memilih untuk keluar jalur dari kaidah pakem berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa waih adalah nama syetan, sehingga mereka keluar dari kaidah baku karena tidak menyukainya.”
As-Sakhowi mengatakan bahwa waih sebagai nama syetan, diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibrohim An-Nakho’i:
وَيْهِ اسْمُ شَيْطَانٍ، أبو عمرو النُّوقَاتِيُّ في معاشرة الأهلين له عن ابن عمر من قوله، وكذا عن إبراهيم النخعي
Artinya:
“Waih adalah nama syetan. Diriwayatkan oleh Abu Amr An-Nuqaty dalam kitab Mu’asyarah Ahlin dari Ibnu Umar dari ucapan beliau, demikian pula riwayat dari Ibrahim An-Nakho’i.”
Diriwayatkan dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah bahwa ‘Isa bin Al-Musayyab tidak menyukai segala sesuatu yang diakhiri waih;
حَدَّثَنَا حَفْصٌ ، عَن عِيسَى بْنِ الْمُسَيَّبِ ، أَنَّهُ كَرِهَ كُلَّ شَيْءٍ يَكُونُ آخِرُهُ : وَيْهِ
Artinya:
“Hafs memberi tahu kami dari Isa bin Al-Musayyab bahwasanya beliau tidak menyukai segala sesuatu yang diakhiri waih.”
Ada pula yang memberi alasan ketidaksukaan terhadap lafaz waih karena lafaz ini dalam bahasa Arab biasanya dipakai untuk situasi tafajju’ dan nudbah (merintih/meratap/kesakitan).
Menurut Ibnu Khollikan, penyebutan Rohuyah bukan Arab fasih, tetapi kebiasaan ajam:
وسيبويه: بكسر السين المهملة وسكون الياء المثناة من تحتها وفتح الباء الموحدة والواو وسكون الياء الثانية وبعدها هاء ساكنة، ولا يقال بالتاء البتة، وهو (1) لقب فارسي معناه بالعربية رائحة التفاح؛ هكذا يضبط أهل العربية (2) هذا الاسم ونظائره مثل نفطويه وعمرويه وغيرهما، والعجم يقولون ” سيبويه ” بضم الباء الموحدة وسكون الواو وفتح الياء المثناة بعدها، لأنهم يكرهون أن يقع في آخر الكلمة ” ويه ” لأنها للندبة. وقال إبراهيم الحربي: سمي سيبويه لأن وجنتيه كانتا كأنهما تفاحتان (3) ، وكان في غاية الجمال، رحمه الله تعالى
Artinya:
“Sibawaih adalah dengan mengkasrohkan sin, mensukunkan ya’, memfathahkan ba’ dan wawu dan mensukunkan ya’ yang kedua, dan sesudahnya adalah ha yang disukun. Tidak bisa dipakai ta’ sama sekali. Ini adalah laqob Persia, maknanya dalam bahasa Arab adalah bau apel. Demikianlah ahli bahasa Arab mengharokati nama ini dan yang semisalnya seperti nifthowaih, amrowaih dan selain mereka. Orang-orang ajam mengucapkan sibuyah dengan mendhommahkan ba; dan mensukunkan wawu, dan memfathahkan ya’ sesudahnya, karena mereka tidak menyukai di akhir kalimat ada kata waih sebab ini adalah untuk ratapan. Ibrahim Al-Harbi berkata, ‘dinamakan sibawaih karena dua tulang pipinya seakan-akan dua buah apel. Beliau rahimahullah sangat tampan.’”
Dengan sejarah seperti ini, akhirnya pelafalan Rohawaih dan Rohuyah keduanya sama-sama dibenarkan. Ulama-ulama hadis akan cenderung membaca seperti umumnya ahli hadis, sementara ulama-ulama bahasa akan cenderung membaca seperti umumnya pakar bahasa. Az-Zarkasyi berkata:
يجوز فِي رَاهَوَيْه فتح الْهَاء وَالْوَاو وَإِسْكَان الْيَاء وَيجوز ضم الْهَاء
النكت على مقدمة ابن الصلاح للزركشي (1/ 130)
وَإِسْكَان الْوَاو وَفتح الْيَاء وَهَذَا الثَّانِي هُوَ الْمُخْتَار وَقَالَ المُصَنّف فِي بعض أَمَالِيهِ سَمِعت الْحَافِظ أَبَا مُحَمَّد عبد الْقَادِر بن عبد الله – رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ – يَقُول سَمِعت الْحَافِظ أَبَا الْعَلَاء يَقُول أهل الحَدِيث لَا يحبونَ ويه أَي يَقُولُونَ لفظ ويه ببدء الْوَاو سَاكِنة تفاديا من أَن يَقع فِي آخر الْكَلِمَة ويه انْتهى
وَعَن الْحَافِظ جمال الدّين الْمزي أَنه قَالَ غَالب مَا عِنْد الْمُحدثين (ع 16) فعلويه – بِضَم مَا قبل الْوَاو – إِلَّا رَاهَوَيْه فالأغلب فِيهِ عِنْدهم فتح مَا قبل الْوَاو
Artinya:
“Pada lafaz rohawaih boleh dibaca dengan memfathahkan ha’ dan wawu, dan mensukunkan ya’, boleh juga dengan mendhommahkan ha’, mensukunkan wawu dan memfathahkan ya’, yang kedua inilah yang terpilih. Pengarang berkata dalam sebagian imla’nya, ‘aku mendengar Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abdullah radiyattahu Ta’ala ‘anhu berkata, aku mendengar Al-Hafidz Abu Al-‘Ala’ mengatakan, ‘ahli hadis tidak menyukai waih yakni mengucapkan lafadz waih dengan memulai huruf wawu untuk menjauhi agar akhir kata itu tidak ada kata waih.’
Dari Al-Hafidz Jamaluddin Al-Mizzi bahwasanya beliau mengatakan, umumnya di kalangan para ahli hadis melafalkan fa’luyah dengan mendhommahkan huruf sebelum wawu, kecuali rohawaih, umumnya bagi mereka adalah memfathahkan huruf sebelum wawu.”
Ash-Shofadi berkata:
وَهَذِه عَادَة الْمُحدثين فَإِنَّهُم لَا ينطقون بِهَذِهِ الْأَسْمَاء الَّتِي أخراها ويه إِلَّا على هَذِه الصِّيغَة مَا خلا إِسْحَاق بن رَاهَوَيْه فَإِنَّهُم لَا يَقُولُونَ إِلَّا إِسْحَاق بن رَاهَوَيْه بِفَتْح الْوَاو وَسُكُون الْيَاء
Artinya:
“Ini adalah kebiasaan ahli hadis karena mereka tidak melafalkan nama-nama yang diakhiri waih kecuali dengan redaksi ini. Kecuali Ishaq bin Rohawaih karena mereka tidak mengucapkan kecuali Ishaq bin Rohawaih dengan memfathahkan wawu dan mensukunkan ya’.”
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pelafalan yang tepat adalah Ishaq bin Rohawaih (إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ ). Boleh juga melafalkan (إِسْحَاقُ بْنُ رَاهُوْيَهْ ) sebagaimana cara dan kebiasaan para ahli hadis. Adapun melafalkan Rohuwaih atau Rohwaih, kami belum mengetahui dasar pelafalan ini. Wallahua’lam.