Oleh: Ust. Muafa
( الفِنْحَاصِيَّةُ )
Dahulu, di zaman Nabi Muhammad, ada seorang lelaki yang bernama Finhash ( فِنْحَاصٌ ).
Orang ini adalah salah satu tokoh intelektual kaum Yahudi yang didengarkan ucapannya dan menjadi panutan.
Suatu hari, Abu Bakar menasehatinya agar masuk Islam, tetapi secara kurangajar dia merespon dengan kata-kata yang ringkasnya kira-kira seperti ini:
“Hai Abu Bakar, tuhanmu itu dalam Al-Qur’an itu ‘kan bilang mau pinjam uang kepada orang-orang beriman. Kalau dia pinjam uang, berarti dia miskin dong.”
Orang itu memaksudkan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak?”
Ayat yang sebenarnya sangat jelas dalam cita rasa bahasa Arab dengan kualitas sastra tinggi bermakna anjuran berinfak dijalan Allah (ini bahasa majasi/metafor yang sudah biasa diulas sangat bagus oleh ulama-ulama tafsir) kemudian DIPUTARBALIKKAN MAKNANYA dengan tujuan yang busuk.
Memutarbalikkan kata-kata!
Inilah sifat Finhash.
Kekurangajaran Finhash ini sampai diabadikan dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya.’ Aku akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Aku akan mengatakan (kepada mereka): ‘Rasakanlah olehmu azab yang membakar.’”
Rupanya, kecenderungan menyimpang dalam dien seperti Finhash ini di zaman sekarang pelan-pelan banyak menginfeksi orang.
Secara tidak sadar, mulai banyak yang terjangkiti finhashiyyah, dan celakanya yang terkena justru banyak kalangan yang dianggap kaum intelektual dan tokoh.
Yang jadi korban selalu orang awam.
Contoh ungkapan memutarbalikkan kata-kata:
“Tuhan tidak perlu dibela, karena Dia Maha Kuasa. Bukankah Dia Raja alam semesta?”
“Islam tidak perlu dibela, karena sudah mulia. Islam itu rusak karena pemeluknya,”
“Nabi Muhammad tidak perlu dibela, beliau sudah mulia. Penghinaan tidak mengurangi keagungan beliau,”
dsb.
Sungguh, ungkapan di atas adalah pemutarbalikan kata-kata, akrobat intelektual. Mirip seperti cara argumentasi “slengekan” ketika orang mengatakan:
“Istri orang, sebenarnya adalah istri kita juga,
Karena kita adalah orang.”
Orang yang berpengetahuan akan mudah mengidentifikasi kebatilan ucapan tersebut, tetapi orang awam bisa jadi ada yang terfitnah.
Orang beriman membela Allah itu jangan dibayangkan bahwa yang dibela adalah lemah sehingga butuh perlindungan. Membela Allah adalah bahasa metafor, maknanya adalah tidak terima penghinaan terhadap Allah, dan itu adalah bukti cinta. Allah tidak menuntut kita melindungi-Nya, tetapi menuntut kita menyembah-Nya. Aksi terpenting penyembahan kepada-Nya adalah menjadikan puncak cinta hanya kepada-Nya. Adalah cinta palsu jika diam saja ketika yang dicintai dihinakan.
Membela Islam itu jangan dibayangkan bahwa Islam seperti makhluk hina yang perlu dilindungi. Membela Islam adalah bahasa metafor. Maknanya yakni menjalankan perintah Allah sebagai bentuk ketaatan untuk meninggikan kalimat-Nya.
Membela Nabi Muhammad itu bukan karena dengan penghinaan maka keagungan beliau menjadi berkurang. Menjaga kehormatan Nabi Muhammad adalah tuntutan iman dan konsekuensi cinta kepada Allah. Dusta besar jika ada orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tidak cinta kepada Nabi Muhammad.
Bahasa majasi dalam Al-Qur’an itu banyak. Untuk memahaminya perlu bahasa Arab yang cukup, ilmu balaghoh, pengetahuan syair jahiliyyah, dan penjelasan ulama yang otoritatif.
Contoh ayat yang sering didengar:
Artinya:
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Betapa rusaknya jika ayat tersebut dipahami bahwa Allah itu lemah sehingga perlu ditolong.
Memutarbalikkan kata-kata adalah sunnahnya kaum Yahudi. Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Mereka mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya.”
———————————————-
Waspada dengan Finhash-Finhash zaman sekarang.
Jika ada tokoh yang dikagumi, atau kaum intelek yang didengarkan ucapannya tetapi memiliki kecenderungan finhashiyyah, segera saja ditinggalkan.
Ganti panutan.
Agar tidak salah jalan.
Wallahu a’lam.
Sumber di sini