Oleh: Ust. Muafa
Dhomir fashli disebut juga fashl (الْفَصْلُ), atau ‘imad (اْلعِمَادُ), atau du’amah (الدُّعَامَةُ). Definisi dhomir fashli adalah;
dhomir yang berada di antara mubtada’ dan khobar atau kata yang asalnya mubtada’ dan khobar untuk memberitahu bahwa kata sesudah dhomir fashli adalah khobar, bukan na’at.
Contoh;
Kalimat di atas, masih memungkinkan difahami dengan dua makna, yaitu;
Zuhair yang mulia…
Atau;
Zuhair adalah (orang) yang mulia
Pemaknaan yang pertama berarti memahami lafaz الكريم sebagai na’at (sifat), sehingga kalimatnya belum selesai dan masih memerlukan pelengkap. Misalnya dilengkapi menjadi;
Zuhair yang mulia telah pergi ke Makkah
Adapun pemaknaan yang kedua, berarti memahami lafaz الكريم sebagai khobar,sehingga kalimatnya sudah tuntas. Tidak perlu dilengkapi lagi.
Dua pemaknaan ini, semuanya mungkin dan benar secara bahasa. Karena itu kadang-kadang orang mengalami kesamaran untuk memahami makna apa yang dimaksud. Namun, jika pada contoh kalimat di atas dibubuhi dhomir fashli, maka kesamaran tersebut akan menjadi lenyap, karena akan menjadi jelas bahwa makna yang dimaksud adalah memposisikan kata الكريم sebagai khobar, bukan na’at. Kalimat di atas, setelah diberi dhomir fashli, maka redaksinya akan menjadi;
Zuhair adalah (orang) yang mulia
Kata هو pada kalimat di atas itulah yang dinamakan dhomir fashli. Yakni dhomir yang berfungsi memberi tahu bahwa kata sesudahnya adalah khobar, bukan na’at. Jadi, kalimat;
Dengan kalimat;
Sebenarnya maknanya sama, namun kalimat yang ada dhomir fashlinya lebih jelas, lebih tegas dan lebih pasti karena kata sesudah dhomir fashli tidak mungkin difahami sebagai na’at.
Dinamakan dhomir fashli karena makna fashl adalah membedakan. Jadi, dhomir fashl itu dimunculkan untuk kepentingan membedakan antara khobar dengan na’at, yakni agar kita menjadi tahu bahwa dengan dimunculkannya dhomir fashl tersebut, kata sesudah dhomir fashli posisinya adalah sebagai khobar, bukan na’at. Dengan kata lain, dhomir fashli berfungsi melenyapkan kesamaran antara khobar ataukah na’at, karena sebelum dhomir fashli dimunculkan pemaknaan sebagai khobar adalah mungkin sebagaimana pemaknaan sebagai na’at juga mungkin. Jika sudah ada dhomir fashl, maka jelas kata sesudahnya adalah khobar, bukan na’at. Istilah dhomir fashli digunakan oleh ulama’-ulama’ Bashroh. Sebagian dari mereka menyingkatnya dengan sebutan fashl saja. Ulama-ulama Kufah menyebutnya dengan istilah ‘imad (tumpuan), karena dhomir fashli berfungsi sebagai tumpuan bagi pendengar/pembaca untuk mengatahui bahwa kata sesudahnya adalah khobar, bukan na’at. Sebagian lagi menyebutnya dengan istilah ‘du’amah (penopang) yang maknanya mendekati makna ‘imad dari sisi tumpuan sekaligus penguatan maksud.
Anda boleh menerjemahkan dhomir fashli dengan kata adalah untuk memudahkan. Karena kata ini nampaknya yang paling mendekati makna dhomir fashli dalam bahasa Indonesia. Apapun bentuk dan rupa dhomir fashli, maka semuanya bisa diterjemahkan dengan kata adalah. Jadi kalimat-kalimat berikut ini;
ظننتُ عبدَ الله هو الكاتبَ
فاطمة هي الطالبة
المسلمون هم المفلحون
المسلمات هن القانتات
Bisa diterjemahkan menjadi
Zuhair adalah seorang penyair
Saya menduga abdullah adalah seorang penulis
Fatimah adalah seorang mahasiswi
Orang-orang muslim adalah orang-orang yang beruntung
Wanita-wanita muslimah adalah orang-orang yang taat
Kandungan makna pada dhomir fashli adalah ta’kid, hashr dan ikhtishosh. Maksudnya, jika dalam sebuah kalimat dimunculkan dhomir fashli, maka ada penyisipan makna ta’kid (penguatan/penegasan), hashr (pembatasan) dan ikhtishosh (pengkhususan).
Kalimat berikut ini misalnya;
Zuhair adalah seorang penyair.
Adanya dhomir fashli pada kalimat di atas mengandung makna ta’kid (penguatan/penegasan), sehingga pemaknaan lebih detailnya adalah;
Zuhair (sungguh) adalah seorang penyair.
Namun, dhomir fashli bukan mu-akkid (lafadz yang berfungsi sebagai penguat kata lain) seperti kata kullun, jami’, nafsun (كل، جميع، نفس) dll. Karena dhomir tidak pernah dipakai sebagai mu-akkid untuk isim dhohir.
Dhomir fashli juga mengandung makna hashr (pembatasan), maksudnya: kandungan makna mubtada’ dibatasi pada khobarnya. Misalnya kalimat berikut;
Pemaknaan detail kalimat di atas adalah;
(makna) Kalam adalah (dibatasi sebagai) lafaz yang tersusun dan bermakna
Dhomir fashli juga mengandung makna ikhtishos (pengkhususan), maksudnya: Kandungan makna mubtada’ dikhususkan pada khobarnya. Misalnya kalimat berikut;
Pemaknaan detail kalimat di atas adalah;
Kemuliaan adalah (dikhususkan pada) ketakwaan, harta adalah (dikhususkan pada) kedudukan, dan dien adalah (dikhususkan pada) pada nasihat.
Dhomir fashli digolongkan sebagai harf, bukan isim atau fi’il dan ini adalah pendapat mayoritas pakar nahwu. Dhomir fashli digolongkan harf karena keberadaannya hanya untuk menunjukkan bahwa kata sesudahnya adalah khobar, bukan na’at dan tidak punya makna tersendiri seperti isim dan fi’il. Pendapat yang mengatakan dhomir fashli adalah isim dikritik dari sisi: isim adalah kata yang memiliki makna pada dirinya sendiri, sementara dhomir fashl tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, namun hanya menunjukkan bahwa kata sesudahnya adalah khobar bukan na’at. Mengatakan bahw dhomir fashli adalah isim yang tidak punya posisi i’rob sebagaimana isim fi’il juga tidak memberi banyak faidah, karena hanya terkesan meruwetkan dan menyulitkan pembahasan. Terlebih lagi hal tersebut bertentangan dengan fakta dhomir fashli yang berfungi hanya sebagai pembeda/penentu bukan kata yang punya makna yang berdiri sendiri sebagaimana definisi isim.
Penyebutan istilah dhomir pada ungkapan dhomir fashli tidak menunjukkan bahwa dhomir fashli adalah isim dengan argumen bahwa semua dhomir pasti isim. Tidak demikian, karena penyebutan istilah dhomir adalah penyebutan bentuk majasi saja, karena ada kesamaan bentuk fisik antara dhomir fashli dengan dhomir sejati. Jika kita memakai istilah balaghoh, ‘alaqoh (hubungan) antara musyabbah (yang diserupakan) dengan musyabbah bih (sesuatu yang dengannya pihak lain diserupakan) adalah musyabahah fi as-shuroh (kesamaan rupa), maksudnya kesamaan rupa antara dhomir fashli dengan dhomir asli. ‘Abbas Hasan dalam kitabnya An-Nahwu Al-Wafi malah menyarankan namanya diganti harf fashli untuk menghilangkan kebingungan.
Dhomir fashli tidak punya posisi i’rob. Tidak ada posisi rofa’, nashob, jarr atau jazm bagi dhomir fashli. Dhomir fashli dikatakan tidak punya posisi i’rob karena dia hanya berfungsi menunjukkan kata sesudahnya adalah khobar, bukan na’at. Fungsi ini sama seperti fungsi dhomir كَ pada kata ذلِكَ atau تلِكَ, yang bisa berubah menjadi ذلِكِ, ذلِكُمَا, ذلِكُمْ,تلِكِ , تلِكُمَا, تلِكُمْ yang hanya untuk membedakan khithob (obyek seruannya kepada siapa) namun tidak punya posisi i’rob.
Jadi, dhomir fashli adalah harf yang tidak memiliki posisi i’rob.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa dhomir fashli adalah isim yang i’robnya mengikuti kata sebelumnya, dengan alasan bahwa dhomir fashli itu adalah ta’kid sehingga i’robnya mengikuti yang dita’kidi (yang dikuatkan) yakni kata sebelumnya, maka pendapat ini telah dibantah sebelumnya dari sisi bahwa dhomir fashli adalah harf bukan isim. Bantahan yang lain; dhomir fashli adalah makny (kata yang menjadi kinayah), sementara isim sebelum dhomir fashli adalah isim mudh-har (bukan kinayah). makny tidak pernah dan tidak bisa menjadi ta’kid bagi isim mudh-har.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa dhomir fashli adalah isim yang i’robnya mengikuti kata sesudahnya, dengan alasan bahwa dhomir fashli itu adalah seperti satu kesatuan dengan kata sesudahnya, maka alasan ini dikritik dari sisi bahwa dhomir fashli adalah kinayah bagi kata sebelumnya, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai satu kesatuan dengan kata sesudahnya. Lagipula, tidak ada dalam bahasa Arab, i’rob sebuah kata itu mengikuti kata sesudahnya. Kasus-kasus tawabi’, i’rob yang diikuti mesti kata sebelumnya, bukan kata sesudahnya.
Dhomir fashl juga tidak punya pengaruh i’rob, artinya keberadaannya tidak memberikan efek i’rob apapun bagi kata yang lain. Dengan kata lain dhomir fashl termasuk harf ‘athil (harf yang tidak punya pengaruh i’rob) sebagaimana harf laa/ لا, hal/ هل dll.
Adapun syarat penggunaannya, diziinkan memakai dhomir fashli jika memenuhi empat syarat berikut;
Pertama; dhomir fashli tersebut harus berbentuk dhomir munfashil marfu’.
Tidak boleh dhomir fashli memakai bentuk dhomir munfashil manshub/majrur atau dhomir muttashil. Contoh;
Zuhair adalah (orang) yang mulia
Penggunaan dhomir fashli هو pada kalimat di atas adalah benar karena هو adalah salah satu dhomir munfashil marfu’. Yang tidak boleh adalah jika dhomirnya seperti ini;
Zuhair adalah (orang) yang mulia
ini adalah penggunaan dhomir fashli yang salah karena إياَّهُ adalah dhomir munfashil manshub. Demikian pula jika memakai dhomir هُ , كَ, كُمَا, كُمْ dll karena semuanya adalah dhomir muttashil.
Jadi, dhomir fashli harus berbentuk dhomir Munfashil Marfu’
Kedua; dhomir fashli harus menyesuaikan diri dengan kata sebelumnya dari segi perwakilan dhomir, baik jumlah, jenis, maupun kondisi. Contoh;
Saya tahu Zaid adalah yang pergi
Saya tahu engkau adalah yang pergi
Saya tahu aku adalah yang pergi
Sesungguhnya kami adalah yang benar-benar berbaris
Penggunaan dhomir fashli pada contoh-contoh di atas sudah benar, karena dhomir fashli telah menyesuaikan diri dengan kata sebelumnya dari segi perwakilan dhomir. هو mewakili زيداً, أنت mewakili ك pada kata علمتك, أنا mewakili ني pada kata علمتني, dan نحن mewakili ناَ pada kata إنا.
Ketiga; dhomir fashli harus terletak di antara mubtada’ dan khobar atau kata yang asalnya mubtada’ dan khobar. Contoh;
Zaid adalah yang berdiri
Penggunaan dhomir fashli pada contoh di atas benar karena dhomir fashli dipasang diantara mubtada’ dan khobar. زيد posisinya sebagai mubtada’ dan القائم posisinya sebagai khobar.
Contoh lain;
Sesungguhnya Zaid adalah yang berdiri
Penggunaan dhomir fashli pada contoh di atas benar karena dhomir fashli dipasang diantara kata yang asalnya mubtada’ dan khobar. زيدا posisi asalnya adalah mubtada’, namun setelah ada penambahan harf Inna, maka ia dinamakan “isim inna” bukan mubtada’ lagi. القائم posisinya asalnya sebagai khobar, namun setelah ada penambahan inna diawal kalimat maka posisinya dinamakan khobar inna, bukan lagi khobar. Inilah maksud dari ungkapan “kata yang asalnya mubtada’ dan khobar”
Keempat;mubtada’ dan khobar harus sama-sama berbentuk ma’rifah (definitif). Contoh;
Zaid adalah yang berdiri
Penggunaan dhomir fashli pada contoh di atas benar karena dhomir fashli dipasang diantara mubtada’ dan khobar yang sama-sama ma’rifah. زيد adalah kata ma’rifah karena semua isim ‘alam adalah ma’rifah sebagaimana dhomir, isim isyaroh, isim maushul, dan kata yang dilekati alif-lam. القائم adalah kata ma’rifah karena dilekati alif lam, dan sudah diketahui bahwa hukum asal mengidentifikasi kata ma’rifah adalah dengan melihat ada alif lamnya.
Khusus untuk khobar, boleh juga jika hanya mendekati ma’rifah (bukan ma’rifah tulen) seperti isim tafdhil yang bebas dari alif lam dan idhofah. Contoh;
Penggunaan dhomir fashli pada contoh di atas benar karena dhomir fashli dipasang diantara mubtada’ dan khobar, yang mana mubtada’nya ma’rifah dan khobarnya mendekati ma’rifah karena berbentuk isim tafdhil.
Ketentuan yang lain terkait dengan dhomir fashli adalah boleh (bukan wajib) dilekati lam Ibtida’ tanpa ada syarat apapun. Lam Ibtida’ adalah harf lam yang difathah yang mayoritas melekat pada mubtada’ atau yang asalnya mubtada’ untuk memberi makna ta’kid (penguatan). Contoh;
Wallahu a’lam.