Oleh: Ust. Muafa
Pacaran adalah budaya Barat, bukan budaya masyarakat Indonesia apalagi masyarakat Islam. Dalam bahasa Inggris, hubungan dekat laki-laki dan perempuan yang umumnya melibatkan aktivitas seksual tetapi tidak terikat dalam tali pernikahan disebut dengan istilah relationship. Dalam kamus Cambridge disebutkan:
relationship /rɪˈleɪ.ʃən.ʃɪp/ noun [C] a close romantic friendship between two people, which is often sexual[1] (suatu hubungan romantis yang dekat antara dua orang, yang seringkali bersifat seksual).
Pacar atau kekasih disebut dengan istilah lover. Mereka menekankan dua aspek saat mendefinisikan lover; Ada hubungan seksual dan tidak terikat pernikahan;
lover /ˈlʌv.əʳ/ US /-ɚ/ noun [C] 1 the person with whom you are having a sexual relationship, but are not married to[2] (seseorang yang dengannya kamu berhubungan seksual tetapi tidak menikah).
Secara lebih spesifik, pacar laki-laki disebut boyfriend sementara pacar perempuan disebut girlfriend. Pelampiasan cinta dan nafsu seksual melalui sebuah hubungan yang disebut dengan pacaran sesungguhnya melanggar banyak hukum dalam syariat Islam, di antaranya;
Pertama: Pacaran akan melanggar perintah ghoddhul bashor. Allah ﷻ memerintahkan dalam Al-Qur’an agar seorang mukmin menjaga pandangan matanya, sebagaimana Dia juga memerintahkan mukminah menjaga pandangan mata. Yang dimaksud menjaga pandangan bukanlah memejamkan mata ketika bertemu lawan jenis, sebab ini mustahil dilakukan. Menjaga mata bermakna mewajarkan pandangan setiapkali melihat lawan jenis tanpa melibatkan naluri kelaki-lakian atau naluri kewanitaan. Pandangan yang wajar akan mengakibatkan interaksi yang wajar yang tidak menimbulkan bangkitnya syahwat atau munculnya cinta secara salah, seperti pandangan seorang cucu laki-laki kepada neneknya, atau pandangan penjual wanita kepada pelanggan prianya. Jika orang beriman sudah mulai merasakan pandangannya tidak normal, yakni ketika sudah mulai menikmati kecantikan atau ketampanan lawan jenisnya yang akan berakibat munculnya bayangan dalam hati setelah berpisah, bahkan sampai ke arah fantasi, maka Islam merintahkan menundukkan pandangan. Inilah yang dimaksud ghoddhul bashor/menundukkan pandangan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman;
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.’”[3]
Mustahil orang yang pacaran sanggup menahan pandangan matanya kepada pacarnya dengan cara yang menikmati. Terkadang, demi menciptakan romantisme dan kenangan yang indah, para pelaku pacaran malah dengan sengaja menciptakan suasana di tempat tertentu untuk saling memandang dan saling menikmati. Oleh karena itu, pacaran jelas akan melanggar larangan ini.
Kedua: Pacaran akan melanggar larangan menyentuh wanita yang tidak halal. Ath-Thobaroni meriwayatkan:
Artinya: “Dari Abu Al-‘Ala’, Ma’qil bin Yasar memberitahu aku, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sungguh, kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.’”[4]
Dalam hadis di atas cukup jelas bahwa menyentuh wanita yang tidak halal dilarang dan dihukumi haram. Rasulullah ﷺ mengumpamakan bahwa seorang laki-laki lebih baik ditusuk kepalanya dengan jarum besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Perumpamaan ditusuk jarum besi ini menunjukkan betapa buruknya perbuatan menyentuh wanita yang tidak halal dan belum menjadi istri. Apa yang dilakukan para pelaku pacaran bahkan lebih buruk dari sekedar menyentuh. Mereka melakukan ciuman, rabaan, elusan, bahkan mungkin remasan, dan lain-lain. Suatu ekspresi seksual yang dalam syariat Islam hanya boleh dilakukan dalam lembaga pernikahan.
Ketiga: Pacaran akan melanggar larangan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berduaan atau bersepi-sepian antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Rasulullah ﷺ melarang pergaulan seperti ini. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi Rasulullah ﷺ bersabda:
Artinya: “Perhatikan, tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah setan.”[5]
Jika ada laki-laki dan perempuan berdua-duaan di tempat yang bersifat privasi, Rasulullah ﷺ mengingatkan bahayanya, yakni syetan akan menjadi yang ketiga. Maksudnya, syetan akan membisikkan pikiran-pikiran mesum kepada mereka sehingga mereka terdorong melakukan maksiat. Oleh karnea itu, khalwat menjadi haram karena menjadi sarana terjadinya pelanggaran syariah. Dalam pacaran, aktivitas khalwat bukan hanya mungkin terjadi, tetapi khalwat justru malah diagendakan dan menjadi kegiatan terpenting untuk memadu kasih.
Keempat: Pacaran akan melanggar larangan mendekati zina. Dalam Islam, zina adalah dosa besar. Pelakunya dihukum rajam jika sudah menikah dan dihukum cambuk 100 kali jika belum menikah. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an, kaum muslimin diingatkan untuk tidak mendekati zina. Redaksi yang dipakai adalah larangan mendekati zina. Pilihan kata ini lebih dalam dan kuat maknanya daripada langsung larangan berzina. Seakan-akan, demi memblokir semua pintu untuk berzina, maka mendekati saja sudah terlarang. Allah berfirman;
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[6]
Kegiatan-kegiatan pacaran mulai dari pendekatan melalui chatting, mengobrol langsung, menonton bersama, berlibur bersama, berduan dalam kamar, berpelukan dan semisalnya tidak diragukan lagi adalah bentuk mendekati zina yang hampir seluruhnya akhirnya menyeret pada perzinaan.
Kelima: Pacaran akan melanggar larangan berzina. Allah ﷻ melarang berzina dalam sejumlah ayat. Di antaranya dalam surat Al-Furqon berikut ini:
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).”
Hal yang menyedihkan, pacaran adalah hubungan yang hampir selalu disertai perzinaan. Bisa dikatakan bahwa di antara sarana yang paling cepat mengantarkan dua anak manusia melakukan perzinaan adalah melalui pacaran[7]. Di Barat, hubungan seksual dengan pacaran memang diakui dan dianggap biasa selama dilakukan suka sama suka.
Keenam: Pacaran akan melanggar larangan tasyabbuh. Yang dimaksud tasyabbuh adalah menyerupai. Rasulullah ﷺ melarang umatnya untuk menyerupai jalan hidup, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat umat di luar Islam. Rasulullah ﷺ bahkan mengingatkan bahwa siapa pun yang melakukan tasyabbuh, maka dia tidak diakui sebagai umat Rasulullah ﷺ dan divonis termasuk ke dalam umat yang ditirunya itu. Abu Dawud meriwayatkan;
Artinya: “Dari Ibnu Umar ia berkata: ‘Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa ber-tasyabbuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.’”[8]
Telah disinggung di muka bahwa pacaran adalah budaya Barat, bukan budaya masyarakat muslim. Pacaran bukanlah jalan hidupnya para nabi, para rasul, para shahabat, para wali, para ulama dan orang-orang salih. Pacaran adalah budaya masyarakat Barat yang hedonis, tidak mengenal Tuhan dan tidak percaya pada hari akhir. Oleh karena itu, orang Islam yang berpacaran berarti melanggar larangan Rasulullah ﷺ untuk meniru kaum di luar umat Islam. Sungguh mengerikan jika ada orang Islam yang pada hari kiamat ingin bergabung di bawah bendera Rasulullah ﷺ tetapi ditolak dan diusir karena selama di dunia dia tidak mengikuti cara hidup Rasulullah ﷺ, dan malah memilih meniru cara hidup bangsa di luar Islam.
Ketujuh: Pacaran akan melanggar larangan fantasi seks. Beberapa pasangan pacaran berdalih tidak melanggar hal-hal yang dilarang oleh Islam ketika berpacaran dengan alasan hubungan mereka bersifat LDR (long distance relationship) alias terpisah jarak. Klaim ini tidak benar, karena meskipun LDR, tasyabbuh akan tetap dilanggar, larangan ghaddhul bashor juga tetap dilanggar saat melakukan video call, dan juga berfantasi seks yang kadang sampai level melakukan phone sex/PS (seks melalui telepon). Semuanya dihitung zina majasi yang dilarang Rasulullah ﷺ dan disebut sebagai dosa. Muslim meriwayatkan;
Artinya: “Dari Ibnu Abbas dia berkata; ‘Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling dekat dengan makna lamam (dosa-dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ: ‘Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan zinanya hati adalah berangan-angan dan berhasrat, tetapi kemaluanlah yang (menjadi penentu untuk) membenarkan hal itu atau mendustakannya .’’”[9]
Jadi, pacaran bukanlah solusi yang islami untuk melampiaskan cinta dan syahwat. Solusi yang diajarkan Islam untuk melampiaskan cinta dan syahwat yang disukai Allah adalah melalui ikatan pernikahan.
———-
Rujukan:
[1] Cambridge University Press, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (ed.2), The Syndics of The Cambridge University Press, New York, 2005.
[2] Ibid.
[3] Al-Quran, 24: 30-31.
[4] At-Thobaroni, Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu’jam Al-Kabir, Maktabah Ibni Taimiyah, Kairo, tanpa tahun, juz 15, hal. 143.
[5] At-Tirmidzi, Abu ‘Isa, Sunan At-Tirmidzi, Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi, Mishr, 1975, juz 8, hal. 328.
[6] Al-Quran, 25: 68.
[7] Penulis menemukan fakta ini pada saat membuat tulisan berjudul: Hukum Menikah dengan Orang yang Pernah Berzina. Tidak diduga, banyak yang mencurahkan isi hati dan pengalamannya sebagai respon atas tulisan tersebut yang mayoritas menunjukkan bahwa pacaran itu sangat berbahaya, karena sangat cepat mengantarkan manusia untuk berzina. Lihat komentar-komentar dalam tautan artikel berikut ini: https://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/11/17/hukum-menikah-dengan-orang-yang-pernah-berzina/.
[8] Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy-ats, Sunan Abi Dawud (cet.1), Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, Dimasyq, 2009, juz 4, hal. 78.
[9] Muslim, Abu Al-Husain, Shahih Muslim, Dar Ihya’ At-Turots, Beirut, tanpa tahun, juz 13, hal. 124.
One Comment
Rudiana
Izin simpan artikel dalam format pdf.