Keluar Flek Saat Hamil, Batalkah Puasa?
Oleh Ust. Muafa
Pertanyaan :
Saya sedang hamil dan terkadang keluar flek-flek, batalkah puasa saya jika keluar flek ?
Nama : Minda
Email : mindasmarini@yahoo.com
Handphone :
Alamat : Ciracas
Kota : DKI Jakarta
Jawaban
Flek yang keluar saat hamil tidak membatalkan puasa, karena flek bukanlah Haid juga bukan Nifas juga bukan termasuk perkara-perkara yang membatalkan puasa yang dinyatakan oleh Dalil. Bagi seorang wanita, Haid memang membatalkan puasa karena Rasulullah ﷺ melarang wanita yang Haid untuk berpuasa. Wanita yang berpuasa dalam keadaan Haid, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima Allah. Dalil yang menunjukkan bahwa wanita Haid tidak berpuasa adalah hadis berikut;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قال رسول الله صلى الله هليه وسلم…أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
Dari Abu Sa’id Al-Khudry beliau berkata; Rasulullah ﷺ bersabda;…bukankah (kalian wahai para wanita) jika (salah seorang diantara kalian) Haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa?”(H.R.Bukhari)
Karena itu jika seorang wanita sedang berpuasa Ramadhan misalnya, lalu ditengah-tengah puasa dia berhaid, maka seketika itu puasanya batal dan wajib mengqodho (mengganti) dihari lain, karena wanita yang sedang Haid tidak boleh berpuasa dan tidak sah puasanya.
Wanita yang sedang hamil, tidak mungkin keluar darah Haid, jadi semua darah yang keluar pada saat hamil tidak dihukumi darah Haid, tetapi darah Fasad (darah rusak) atau darah istihadhoh (darah penyakit) saja. Dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang hamil tidak mungkin Haid adalah hadis berikut;
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِى سَبَايَا أَوْطَاسٍ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ».
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali”(H.R.Abu Dawud)
Hadis di atas sedang berbicara tentang perlakuan terhadap Sabaya (tawanan wanita dan anak-anak) yang diperolah kaum muslimin dalam perang Authos. Dalam hukum Islam, tawanan wanita dan anak-anak boleh dijadikan budak. Wanita yang telah dijadikan budak, maka dia boleh disetubuhi sebagaimana menyetubuhi istri.
Namun, Rasulullah ﷺ menentukan aturan, jika kaum muslimin hendak mensetubuhi Sabaya wanita yang telah dijadikan sebagai budak, maka disyaratkan agar wanita tersebut tidak dalam kondisi hamil. Jika Sabaya wanita tersebut dalam kondisi hamil, maka harus ditunggu dulu sampai melahirkan, baru sesudah itu boleh disetubuhi. Sabaya yang tidak hamil pun tidak boleh langsung disetubuhi, tetapi harus ditunggu dulu sampai dia selesai berhaid sebanyak satu kali. Menunggu Sabaya hamil sampai melahirkan dan Sabaya tidak hamil sampai berhaid satu kali ini disebut para Fuqoha dengan istilah Istibro’/ Baro-atur Rohim. Istibro’/ Baro-atur Rohim hukumnya wajib bagi seseorang yang ingin mensetubuhi Sabaya wanita.
Lalu darimana difahami dari hadis ini bahwa wanita hamil tidak mengalami Haid?
Jawabannya; Rasulullah ﷺ membedakan cara Istibro’ antara wanita hamil dengan wanita yang tidak hamil. Wanita hamil cara Istibro’nya dengan menunggu sampai melahirkan, sementara wanita yang tidak hamil cara Istibro’nya adalah dengan berhaid satu kali. Seandainya wanita hamil bisa Haid, maka tidak perlu ditunggu sampai melahirkan. Kapanpun muncul Haid pada saat hamil maka pada saat itu pula Istibro telah terealisasi. Jadi, ditetapkannya cara Istibro’ terhadap wanita hamil dengan menunggu sampai melahirkan, hal ini menunjukkan bahwa wanita hamil tidak mungkin Haid.
Riwayat lain yang menguatkan adalah hadis berikut;
عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
“Dari Salim dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mentalak istrinya sementara istrinya Haid, maka Umar melaporkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ maka beliau bersabda; perintahkanlah kepadanya agar Ruju’ dengan istrinya, lalu hendaklah dia mentalaknya dalam keadaan suci atau hamil” (H.R.Muslim)
Dalam hadis di atas dikisahkan bahwa Ibnu Umar putra dari Umar bin Al-Khattab telah mentalak istrinya dalam keadaan Haid. Lalu umar melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ untuk menanyakan apakah cara mentalak demikian sudah benar apa belum. Ternyata Rasulullah ﷺ menyalahkan cara demikian, karena mentalak istri sementara istri dalam keadaan Haid adalah haram. Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang sedang Haid adalah talak Bid’ah. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan agar Ibnu Umar Ruju’ (menikahi kembali) istrinya, lalu jika ingin mentalaknya hendaknya mentalak dalam kondisi suci (tidak Haid) atau dalam kondisi hamil. Mentalak dalam salah satu dari dua kondisi inilah talak yang benar, syar’i, dan sesuai dengan petunjuk sunnah.
Wanita hamil boleh dijatuhi talak sebagaimana wanita yang sedang suci, hal ini menunjukkan bahwa kondisi wanita hamil sama dengan kondisi wanita suci yaitu tidak Haid. Karena itu dalil ini cukuip jelas menunjukkan bahwa wanita yang sedang hamil tidak mungkin mengalami Haid.
Lebih dari itu, para wanita justru menandai kehamilan dari terhentinya darah Haid. Perkembangan dunia kedokteran dan medis juga menguatkan bahwa wanita yang sedang hamil tidak mungkin Haid. Darah yang keluar saat hamil tidak sama struktur dan asal-usulnya dengan darah Haid. Umumnya jika ada flek atau pendarahan, maka darah yang keluar itu berasal dari luka, bukan peluruhan dinding rahim seperti saat Haid.
Atas dasar ini, maka flek yang keluar pada saat wanita hamil, bahkan pendarahan sekalipun, maka itu semua tidak dihukumi Haid tetapi dihukumi darah fasad (darah rusak) atau darah Istihadhoh. Karenanya wanita hamil yang sedang berpuasa lalu keluar flek puasanya tidak batal. Dia tetap melanjutkan puasanya, tetap wajib shalat lima waktu dan boleh disetubuhi suaminya kapanpun diinginkan. Wallahua’lam.