Pertanyaan;
Salamullah Alaik
Saya mengumpulkan beberapa pendapat tentang puasa bagi wanita hamil dan menyusui. Yang saya dapat kurang lebih seperti ini :
Bagi wanita hamil dan menyusui yang mampu melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, ia wajib menunaikannya. Namun, jika tidak mampu atau takut dan khawatir akan kesehatan dirinya, janin atau bayi yang disusuinya, ia boleh tidak puasa.
Beberapa Pendapat mengenai hal ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan 4 pendapat di kalangan ulama mengenai wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir akan kesehatan dirinya atau anaknya.
Pertama,keduanya membayar fidyah, dan mengqadha (mengganti pada hari lain) puasanya. Kedua, membayar fidyah saja tanpa Qadha’. Ketiga, wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah. Keempat, berbuka tanpa harus Qadha’ dan fidyah.
Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Al-Mulakhas al-Fiqhi (1/392) menyebutkan, bagi wanita hamil apabila tidak mampu berpuasa dia boleh berbuka dan mengqadha’ (mengganti pada hari lain) puasanya. Kedudukannya seperti orangyang sakit dalam firman Allah,
Artinya
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu padahari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Dan bersamaan dengan Qadha’ tadi, dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin pada setiap harinya apabila berbukanya tadi disebabkan kekhawatiran atas bayinya. Pendapat ini didasarkan pada fatwa IbnuAbbas dan lainnya dari kalangan sahabat sebagaimana yang dinukil Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad: 2/29,
“Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan sahabat berfataua mengenai wanita hamil dan menyusui apabila khawatir atas anaknya: agar keduanya berbuka dan memberi makan seorang miskin pada setiap harinya; memberi makan menempati maqam puasa.” Maknanya, menempati kedudukan pelaksanaan puasa, dengan tetap wajib mengqadalaha bagi keduanya. (Al-Mulakhas al-Fiqhi: 1/392)
Imam al-Bukhari dalam penafsiran أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ menukil pendapat Imam al-Hasan al-Bishri mengenai wanita menyusui dan hamil,apabila keduanya khawatir (takut) atas diri keduanya atau anaknya: “Keduanya berbuka kemudian mengqadha.”
Terdapat fatwa dari Lajnah Daimah (10/226) tentang wajibnya qadha bagi wanita hamil, “Adapun wanita hamil, maka wajib baginya berpuasa waktu hamilnya kecuali apabila dia khawatir bila tetap berpuasa akan membahayakan dirinya atau janinnya, maka diberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berbuka dan mengganti setelah melahirkan dan suci dari nifas.”
Tentang perintah fidyah didasarkan pada riwayat dari Nafi’,bahwa Ibnu Umar ra pernah ditanya tentang wanita hamil apabila dia khawatir terhadap anaknya dan berpuasa sangat berat baginya, lalu beliau berkata,
Artinya
“Wanita itu boleh berbuka dan memberi makan orang miskin sebanyak satu mud setiap harinya(disebut juga dengan fidyah).” (HR. Malik dan al-Baihaqi).
Dalam literatur yang lain ada beberapa nash yang terkait dalam hal ini. “Ucapan Ibnu Abbas : wanita yang hamil dan wanita yang menyusui apabila khawatir atas kesehatan anak-anak mereka, maka boleh tidak puasa dan cukup membayar fidyahmemberi makan orang miskin ” (Riwayat Abu Dawud ). Shahih
“Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar: Bahwa sesungguhnya istrinya bertanya kepadanya ( tentang puasa Ramadhan), sedang ia dalam keadaan hamil. Maka ia menjawab : Berbukalah dan berilah makan sehari seorang miskin dan tidak usah mengqadha puasa .” (Riwayat Baihaqi) Shahih.
“Diriwayatkan dari Sa’id biNabi ‘Urwah dari Ibnu Abbas beliau berkata : Apabila seorang wanita hamil khawatir akan kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir akan kesehatan anaknya jika puasa Ramadhan. Beliau berkata : Keduanya bolehberbuka (tidak puasa ) dan harus memberi makan sehari seorang miskin dan tidak perlu mengqadha puasa” (HR.Ath-Thabari dengan sanad shahih di atas syarat Muslim , kitabAl-Irwa jilid IV hal 19).
Pertanyaan: Bagaimana mencari dasar nash yang terkuat pada masalah ini? Terima kasih. ajzalallahu matsubatak.
(Abu Nadya, Batu)
Jawaban
Bismillah. Pendapat yang kuat dalam masalah wanita hamil dan menyusui adalah boleh tidak berpuasa (tidak wajib) sebagai rukhshoh dan wajib mengqodho’ tanpa membayar fidyah.
Ada tiga hal yang kita bahas;
1. Kebolehan wanita hamil tidak berpuasa Ramadhan sebagai rukhshoh
2. Kewajiban mengqodho’
3. Tidak wajibnya membayar fidyah
Kita bahas satu-satu. Pelan-pelan saja. Baca dengan tenang.
Masalah pertama;
Tentang kebolehan wanita hamil dan menyusui tidak puasa Ramadhan, maka dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda:
Artinya
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan separuh sholat dari musafir (sehingga boleh mengqoshor) dan menggugurkan kewajiban puasa kepada musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.”
Dalil di atas menyatakan dengan jelas bahwa wanita hamil dan menyusui diberi keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hukum ini saya kira tidak ada ikhtilaf di kalangan pada fuqoha’.
Kebolahan ini bersifat mutlak tanpa membedakan apakah wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa itu karena khawatir kesehatan dirinya, janinnya, bayinya, atau tidak khawatir. Baik khawatir kesehatan maupun tidak, maka dua-duanya boleh. Alasanya karena lafadz hadis juga mutlak dan tidak di batasi kondisi khawatir saja. Karena itu, kurang tepat pendapat yang membatasi rukhshoh ini dalam kondisi khawatir, karena pendapat tersebut tidak dinyatakan oleh nash.
Hal ini persis seperti musafir. musafir boleh tidak puasa tanpa membedakan apakah dia dalam kondisi lemah atau kuat. Soalnya lafadznya juga mutlak sebagaimana lafadz wanita hamil dan menyusui.
Masalah kedua;
Adapun dalil bahwa wanita wajib mengqodho’ puasa Ramadhan yang ia tinggalkan saat hamil dan menyusui maka dalilnya adalah sebagai berikut;
Pertama;
Artinya
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Pada ayat di atas Allah menyeru kaum Muslimin tanpa membedakan apakah laki-laki maupun wanita untuk berpuasa Ramadhan. Wanita hamil dan menyusui termasuk keumuman kaum yang beriman. Jadi, dia wajib juga berpuasa Ramadhan. Ketika dia meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur, maka dia masih punya hutang, punya tanggungan. Jadi, wajib mengqodho’.
Kedua;
Artinya
185. Barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan siapa saja yang menyaksikan bulan Ramadhan maka dia wajib puasa Ramadhan. Wanita hamil dan menyusui termasuk mereka yang menyaksikan bulan Ramadhan. Jadi wajib bagi mereka puasa Ramadhan. Jika puasa ini ditinggalkan maka mereka masih punya hutang puasa. Jadi wajib diqodho’
Ketiga;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya
“Dari Ibnu Umar ( beliau berkata Rasulullah ( bersabda: Islam dibangun atas lima perkara; Persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa Ramadhan”
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Islam dibangun atas lima dasar, salah satunya adalah puasa Ramadhan. Artinya Muslim manapun yang bernisbat pada Islam maka wajib hukumnya puasa Ramadhan. Jika dia sengaja meninggalkan karena malas maka dia dihukumi fasik. Jika ia sengaja meninggalkan karena menganggap tidak wajib maka dihukumi kafir. Wanita hamil dan menyusui termasuk Muslim, maka dia wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika dia meninggalkan karena udzur, artinya dia masih punya hutang. Jadi wajib mengqodho’
Keempat;
Artinya
Dari Abu Umamah Al Bahili beliau berkata; Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; Di saat aku tidur tiba-tiba aku di datangi dua orang lelaki. Mereka menggamit kedua lenganku….tiba-tiba aku melihat suatu kaum yang digantung urat-urat di atas tumit mereka. Sudut-sudut mulut mereka dirobek-robek dan mengalir darinya darah. Aku bertanya; “siapa orang-orang ini?” dijawab; Mereka adalah orang-orang yang tidak berpuasa (berbuka) sebelum dibolehkan (halal/keluar waktu) puasa.
Hadis di atas begitu jelas mengancam orang yang tidak puasa Ramadhan. Siksanya mengerikan. Digantung kaki, lalu mulut dirobek-robek sampai keluar darah. Wanita hamil dan menyusui termasuk yang kena ancaman jika meninggalkan puasa dengan sengaja lalu tidak mengqodho’. Karena mereka masih punya hutang yang harus dibayarkan akibat tidak puasa di bulan Ramadhan.
Kelima;
Artinya
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan separuh sholat dari musafir (sehingga boleh mengqoshor) dan menggugurkan kewajiban puasa kepada musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.”
Dalam hadis ini Allah menyamakan musafir dengan wanita hamil dan menyusui dari segi tidak diwajibkannya puasa. Sudah kita ketahui bahwa musafir itu boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqodho’ di hari lain. Dengan demikian kita faham bahwa wanita hamil dan menyusui juga wajib mengqodho’ di hari lain, jika dia tidak puasa di bulan Ramadhan. Alasannya; Allah menyamakan keduanya dalam hal rukhshoh, dengan demikian sama juga dalam hal kewajiban. Tidak ada satupun ulama yang berpendapat bahwa musafir tidak wajib qodho’
Keenam;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍأَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ « أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا ». قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ « فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ».
Artinya
“Dari Ibnu ‘Abbas ( beliau berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ lalu bertanya; Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat padahal dia punya tanggungan puasa nadzar. Apakah aku bisa berpuasa mewakilinya? Beliau menjawab; Apa pendapatmu jika ibumu punya hutang lalu engkau melunasinya, apakah hal itu telah mewakilinya? Dia menjawab; ya. Rasulullah ﷺ bersabda; Berpuasalah mewakili ibumu”
Hadis diatas menceritakan wanita yang punya ibu. Ibunya ini pernah bernadzar puasa. Namun ibunya mati sebelum sempat melaksanakan puasa nadzar tersebut. Wanita ini bertanya kepada Nabi ﷺ apakah bisa mewakili ibunya untuk membayar hutang puasa tersebut. Nabi ﷺ menjawab
Artinya
“…Apa pendapatmu jika ibumu punya hutang lalu engkau melunasinya, apakah hal itu telah mewakilinya?…”
Maka wanita itu menjawab” ya” . Maka Nabi ﷺ bersabda; “berpuasalah mewakili ibumu”.
Jadi puasa nadzar dipandang Nabi ﷺ sebagai hutang kepada Allah yang harus di bayar. Ini menjadi dalil bahwa hutang kepada Allah wajib dibayar. Wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa Ramadhan maknanya punya hutang puasa. Jadi dia wajib bayar hutangnya. Artinya wajib bayar dengan mengqodho’ puasa.
Adapun riwayat bahwa Ibnu Umar ( dan Ibnu Abbas ( tidak mewajibkan qodho’ maka ini maksudnya adalah dalam kondisi wanita hamil dan menyusui sudah tidak mampu lagi berpuasa. Artinya selama masih mampu, wajib mengqodho’, jika sudah tidak mampu maka baru menebus dengan bayar fidyah. Allah berfirman;
Artinya
“Bagi orang-orang yang berat menjalankannya, maka kewajiban mereka adalah membayar fidyah, makanan bagi orang miskin.”
Memahami bahwa Ibnu Umar ( dan Ibnu Abbas ( tidak mewajibakan qodho’ dan hanya mewajibkan membayar fidyah, tidak didukung nash apapun baik dalam Al-Qur-an maupun Hadis, jadi tidak bisa diterima. Ucapan Ibnu Umar ( dan Ibnu Abbas ( (dengan asumsi beliau memang berpendapat demikian) juga bukan dalil sehingga tidak bisa menjadi hujjah.
Masalah ketiga;
Adapun hujjah bahwa wanita hamil dan menyusui tidak wajib membayar fidyah, maka dalilnya adalah sebagai berikut.
Pertama;
Taswiyah (penyamaan) antara wanita hamil dan menyusui dengan musafir dengan memakai wawu athof. Rasulullah ﷺ bersabda;
Artinya
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan separuh sholat dari musafir (sehingga boleh mengqoshor) dan menggugurkan kewajiban puasa kepada musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.”
Allah menyamakan hukum puasa musafir dengan wanita hamil dan menyusui dalam hadis diatas dengan harf wawu athof, yaitu wawu yang terdapat pada lafadz;
Dalam bahasa Arab, wawu athaf itu berfaidah
Penggabungan secara mutlak dalam hal hukum dan i’rob (harokat akhir kata)
Jika Anda berkata;
Muhammad dan Ali beruntung
Yang di dalamnya terdapat wawu athof, maka kalimat ini memiliki penggabungan dua hal: Hukum dan i’rob. Dalam hal hukum; Muhammad dan Ali sama-sama beruntung, dalam hal i’rob Muhammad dan Ali harokat huruf terakhirnya sama-sama didhommatain.
Dengan demikian, musafir dengan wanita hamil dan menyusui ketika digabung dengan wawu athof, maka mereka juga sama dalam dua hal: Hukum dan i’rob. Dalam hal i’rob kita lihat huruf terakhirnya sama2 dikasroh, dalam hal hukum puasa mereka juga tidak dibedakan.
Kita sudah tahu bahwa musafir boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan (sebagai rukhshoh), tetapi wajib mengqodho’ di hari yang lain, dan tidak wajib membayar fidyah. Dengan demikian hukum bagi wanita hamil dan menyusui juga sama yaitu; boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan (sebagai rukhshoh), tetapi wajib mengqodho’ di hari yang lain, dan tidak wajib membayar fidyah.
Kedua;
Penggunaan ayat
Artinya
“Bagi orang-orang yang berat menjalankannya, maka kewajiban mereka adalah membayar fidyah, makanan bagi orang miskin”
Untuk mewajibkan wanita bayar fidyah tidak tepat, karena sejumlah alasan;
Satu; Asbabun nuzul ayat di atas adalah untuk orang tua yang tidak mampu lagi berpuasa, bukan wanita hamil dan menyusui (baca tafsir Ibnu Katsir, hadis riwayat Ahmad dari Mu’adz bin Jabal ( )
Dua: Fidyah adalah penebusan puasa yang merupakan syariat ibadah. Jadi sifatnya tauqifi, tidak boleh diqiyaskan pada orang tua renta.
Tiga: Hamil dan menyusui adalah udzur syari, bukan kasus pelanggaran. Padahal fidyah adalah jenis kaffaroh. Persis seperti orang sakit dan safar. Mereka tidak puasa karena udzur syar’i. Kewajiban mereka hanya qodho’. Jadi wanita hamil dan menyusui juga hanya wajib qodho’, tanpa bayar fidyah.
Empat; Para fuqoha sepakat bahwa orang muntah dengan sengaja di bulan Ramadhan atau makan minum sengaja di bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan hanya wajib mengqodho’ tanpa wajib bayar fidyah. Padahal pelanggaran sengaja itu adalah dosa. Tidak puasa karena udzur tidak syar’i saja pada kasus ini kewajibannya hanya qodho’ tanpa membayar fidyah, kenapa wanita yang tidak puasa karena udzur syar’i malah diwajibkan membayar fidyah?
Lima: Jika argumennya adalah; wanita hamil dan menyusui masuk keumuman ayat:
Artinya
“Bagi orang-orang yang berat menjalankannya, maka kewajiban mereka adalah membayar fidyah, makanan bagi orang miskin
Dengan penjelasan; Karena wanita hamil dan menyusui berat berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk membayar fidyah sebagaimana orang tua renta yang berat menjalankan puasa dan dia wajib membayar fidyah. Jika ini yang menjadi argumen, maka seharusnya ketentuan ini juga berlaku bagi musafir dan orang sakit. Karena kadang-kadang musafir atau orang sakit mampu puasa, tetapi berat menjalankannya. Dengan logika yang sama seharusnya musafir dan orang sakit juga wajib membayar fidyah. Tetapi tidak ada satupun fuqoha’ yang berpendapat seperti ini.
Lagi pula wanita hamil dan menyusui di zaman Nabi ﷺ itu banyak. Tetapi tidak ada satupun riwayat yang tegas dan jelas dari Rasulullah ﷺ yang memerintahkan mereka membayar fidyah. Padahal kejelasan hukum ini benar-benar di butuhkan para muslimah. Maka ini semua menunjukkan bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib qodho’ saja tanpa membayar fidyah.
Namun, pernyataan tidak wajib bukan berarti haram. Jika wanita hamil dan menyusui mengqodho’ lalu sukarela membayar fidyah, maka ini dipuji berdasarkan firman Allah;
Artinya
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan Maka Itulah yang lebih baik baginya”
Wallahu a’lam
Dijawab oleh Ust. Muafa
2 Comments
Fathur Rohman
Izin bertanya lagi ustad. Pertama saya sangat terkesan sekali dengan tulisan panjenengan dengan referensi dan penafsiran yang sangat masuk akal dan saya pun juga setuju dengan pendapat ustad. Akan tetapi bagaimana dengan pendapat2 ulama’ di fathul mu’in dan fathul qorib misalnya, yang merinci kewajiban membayar fidyah (seperti “bila yg dikhawatirkan adalah anaknya maka wajib membayar fidyah”). Apakah pendapat ulama’ tersebut bisa dikategorikan kurang tepat?. Mohon penjelasannya. Jazakumullah
Admin
pendapat tersebut adalah pendapat yang snagat berharga karena dimunculkan mujtahid dan layak diikuti kaum muslimin. jadi tulisan ini adalah cerminnan pendapat mujathid yang sy kuatkan, tp tdk menafikan pendapat mujtahid lain