Oleh; Ummu Haura
Yang dimaksud dengan perkara-perkara yang membatalkan puasa adalah perbuatan-perbuatan yang jika dilakukan oleh orang yang berpuasa maka puasanya menjadi tidak sah. Pernyataan tidak sah bermakna tidak adanya harapan bagi mukallaf yang melakukan satu amal ibadah bahwasanya amal yang ia lakukan akan diterima oleh Allah. Artinya, jika suatu amal ibadah diberi label tidak sah maka jelas bahwa amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah, dan tidak diganjar pahala jika tetap diteruskan.
Namun, bukan berarti bahwa amal ibadah yang dikatakan sah itu pasti dan yakin akan diterima oleh Allah. Tidak demikian. Makna amal ibadah dikatakan sah adalah adanya harapan mukallaf bahwa perbuatan yang ia lakukan akan diterima oleh Allah dan diganjar dengan pahala, karena dia telah melakukan amal tersebut sesuai dengan sifat dan tatacara yang dituntut oleh Pembuat Syariat. Inilah makna istilah sah yang dimaksudkan oleh para Fuqoha ketika berbicara tentang hukum-hukum ibadah. Dengan demikian, seorang mukallaf tidak boleh merasa amalnya pasti diterima karena faktor diterimanya amal ibadah bukan hanya pemenuhan sifat dan tatacara amal secara dhohir yang menjadi bahasan fikih, akan tetapi juga ditentukan oleh hal-hal lain seperti keikhlasan, bebasnya dari sifat ujub dan sebagainya.
Syara’ telah menentukan beberapa hal yang jika dikerjakan di siang hari (setelah munculnya fajar hingga terbenamnya matahari) oleh orang yang berpuasa menyebabkan puasanya batal/tidak sah. Hal-hal tersebut adalah:
1) Makan dan minum
Makan dan minum disiang hari dapat membuat puasa menjadi batal, dalilnya adalah:
“…makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yakni munculnya fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga malam..”
mafhum ayat di atas adalah bolehnya makan dan minum hingga dibatasi waktu terbitnya fajar. Hal ini bermakna makan dan minum tidak boleh dilakukan sesudah terbitnya fajar. Jika dilakukan, maka puasanya menjadi tidak sah. Lebih dari itu, ayat di atas diperjelas dengan riwayat Bukhori dalam kitab shohihnya dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu,
“…Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “… demi dzat yang jiwaku berada dalam genggamannya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik disisi Allah daripada aroma minyak kasturi, dia meninggalkan makannya minumannya, serta menahan syahwatnya karena Aku (Allah)…”
Hadis di atas menjelaskan bahawa puasa itu adalah menahan diri dari makan dan minum. Maknanya, barang siapa yang makan minum berarti dia tidak menahan diri. Jika dia tidak menahan diri berarti dia tidak berpuasa. Karena itu puasanya tidak sah.
Makan dan minum yang dimaksud di sini tidak membedakan apakah makanan tersebut adalah sesuatu yang biasa dimakan/diminum (seperti nasi, ketela,susu,dan lain-lain) atau sesuatu yang tidak biasa dimakan (seperti pasir, aspal, air aki dan lain-lain). Pemahaman ini yang diambil karena hal tersebut tercakup dalam keumumam makna ( الأكْلُ )/makan dan (الشرْب )/minum (yang terdapat pada nash) secara bahasa.
Adapun jika sho-im (oring yang berpuasa) memakan hewan kecil seperti lalat, nyamuk dan sebagainya maka jika jika hal tersebut dilakukan dengan sengaja, maka itu termasuk membatalkan puasa. Tetapi jika dilakukan dengan tidak sengaja (misal kemasukan sewaktu bersepeda) maka hal itu tidak membatalkan puasa.
2) Sungguh-sungguh dalam beristinsyaq الاستنشاق (memasukkan air melalui hidung hingga ke pangkal hidung)
Orang yang berwudu dalam kondisi tidak berpuasa disunnahkan untuk melakukan istinsyaq dengan sungguh-sungguh ( مبالغة ). Akan tetapi, dalam kondisi berpuasa, jika dia melakukan istinsyaq dengan sungguh-sungguh (air dihirup sampai ke pangkal hidung dan masuk ke kerongkongan) maka hal tersebut membatalkan puasa. Dalilnya adalah:
“Dari Laqith bin Shobiroh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,’ bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa (HR. Abu Dawud)
Termasuk yang semakna dengan ini dalam hal membatalkan puasa adalah memasukkan air atau obat atau sejenisnya ke hidung, mata, telinga, atau lubang manapun dalam tubuh yang berjumlah sembilan (dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, lubang mulut,qubul, dan dubur) dengan sengaja. Karena didasarkan pada mafhum hadits di atas.
Akan tetapi bagi hal-hal yang sulit dihindari, maka hal tersebut dima’fu (tidak membatalkan puasa), misalnya menelan ludah, ingus, dan air mata, dengan catatan masih berada di dalam tubuh. Namun, jika telah dikeluarkan lalu dimasukkan kembali maka hal tersebut membatalkan puasa. Termasuk yang dima’fu pula adalah mencicipi makanan lalu dimuntahkan (tidak ditelan). Misalnya bagi ibu-ibu yang sedang memasak, boleh mencicipi rasa masakannya asalkan dimuntahkan.
Suntik, infus,menerima transfusi darah dan semisalnya termasuk membatalkan puasa karena semakna dengan hal ini juga yaitu memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan sengaja. Secara fakta, infus, suntik, dan transfusi darah juga memberikan kekuatan terhadap tubuh yang ini semakna dengan makan/minum.
3) Berjimak di siang hari
Berjimak (hubungan badan suami-istri) diperbolehkan di bulan Ramadhan pada waktu malam hari, berdasarkan Allah berfirman:
“…maka sekarang (di malam hari) gaulilah (setubuhilah) mereka (istri-istrimu)…”
Mafhum ayat di atas, jika telah terbit fajar maka berjimak tidak boleh dilakukan hingga terbenamnya matahari. Jika hal ini dilakukan maka batal puasanya. Lebih dari itu, pelakunya tidak hanya dituntut mengqodho’ puasanya yang rusak tetapi juga diharuskan membayar kafarat. Keterangan lebih lanjut tentang kaffaroh dibahas pada topik qodho’ dan kaffaroh.
Adapun mencium yang tidak sampai menyetubuhi, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada hadits sebagai berikut;
“Dari Jabir bin Abdillah dari Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Pada suatu hari aku bergembira maka aku mencium (istri) sementara aku berpuasa. Maka aku mendatangi Rasulullah . Aku berkata, ‘Pada hari ini aku telah melakukan perkara yang besar, aku mencium padahal aku berpuasa’. Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘ apa pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air sementara engkau berpuasa?’ Maka Aku menjawab, ‘ tidak apa-apa hal itu’ maka Rasul ﷺ bersabda, ‘ terus kenapa lagi?’’’’” (HR. Ahmad)
Pada riwayat di atas, Rasulullah ﷺ menyerupakan mencium istri dalam keadaan puasa dengan berkumur-kumur pada kondisi puasa, sementara berkumur-kumur itu boleh dalam keadaan puasa. Dengan demikian, mencium istri tidak membatalkan puasa. Termasuk yang semisal dengan mencium adalah meraba, memeluk, bercumbu, dan sebagainya. Semua ini tidak membatalkan puasa asal tidak sampai bersetubuh.
4) Keluar Air Mani Karena Syahwat
Keluar air mani karena mencium dengan syahwat membatalkan puasa berdasarkan dalalah ima’ ( دلالة الإيماء )/penunjukan makna secara isyarat yang terdapat pada hadis Laqith bin Shobiroh. Abu Dawud meriwayatkan,
“Dari Laqith bin Shobiroh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,’ bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa (HR. Abu Dawud)
Rasulullah ﷺ memerintahkan agar sungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan melarang melakukannya dalam kondisi berpuasa karena hal itu bisa membuat air masuk ke dalam tubuh lewat hidung, meski hidung bukan jalan alami untuk minum. Di sisi lain Rasulullah ﷺ mengizinkan mencium istri dalam keadaan berpuasa dan menyamakannya dengan orang yang berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa. Ahmad meriwayatkan,
“Dari Jabir bin Abdillah dari Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Pada suatu hari aku bergembira maka aku mencium (istri) sementara aku berpuasa. Maka aku mendatangi Rasulullah ﷺ . Aku berkata, ‘Pada hari ini aku telah melakukan perkara yang besar, aku mencium padahal aku berpuasa’. Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘ apa pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air sementara engkau berpuasa?’ Maka Aku menjawab, ‘ tidak apa-apa hal itu’ maka Rasul ﷺ bersabda, ‘ terus kenapa lagi?’’’’” (HR. Ahmad)
Oleh karena mencium istri hukumnya sama dengan orang yang berkumur-kumur yang semakna dengan istinsyaq, maka hal ini memberi penunjukan makna secara isyarat bahwa orang yang mencium sampai keluar mani berarti dia telah telah melakukan perbuatan yang semakna dengan istinsyaq dengan mubalaghoh (sungguh-sungguh).
Syara’ telah menunjukkan bahwa mubalaghoh istinsyaq membatalkan puasa. Dengan demikian, orang yang mencium sampai keluar air mani puasanya batal karena semakna dengan ini.
Mencium yang dimaksud di sini tidak membedakan apakah mencium wanita yang halal (seperti istrinya) atau mencium wanita yang tidak halal karena bukan istrinya. Dua-duanya, jika sampai keluar mani, maka puasanya batal. Hanya saja untuk kasus mencium tidak halal, bukan hanya puasanya yang batal, tetapi dia juga berdosa karena menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Termasuk pula mencium bukan manusia (misalnya sapi, singa, kuda nil dan sebagainya) atau mencium benda mati (tiang listrik, tembok, boneka dan lain-lain). Semua aktivitas ini jika sampai mengeluarkan air mani, maka puasanya menjadi batal.
Demikian pula yang semakna dengan mencium seperti meraba, meremas, mengelus-elus, mencumbu, menatap, berfantasi dan sebagainya. Semua ini jika dilakukan tanpa keluar mani maka itu tidak membatalkan puasa, tetapi jika sampai keluar mani maka hal itu membatalkan puasa. Semuanya membatalkan tanpa membedakan apakah hal-hal ini dilakukan pada yang halal ataupun yang haram, manusia atau hewan, benda hidup atau benda mati.
5) Muntah dengan sengaja
Rasulullah ﷺ bersabda:
“…Barangsiapa yang didesak muntah sementara ia puasa, maka tidak ada qodho’ baginya, dan jika menyengaja muntah maka hendaklah ia mengqodho’ (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah)
Perintah untuk mengqodho’ menunjukkan bahwa puasanya batal. Jadi, muntah dengan sengaja misanya orang yang tertelan kelereng lalu berusaha memuntahkan diri dan berhasil muntah. Muntahnya ini membatalkan puasanya karena dilakukan dengan sengaja. Berbeda kasus jika didesak muntah, misalnya orang mabuk kendaraan, pusing yang menyebabkan muntah. Muntah karena mabuk kendaraan, atau mual setelah mencium bau tertentu dan sebagainya tidak memebatalkan puasa.
6) Salah sangka dalam mengira waktu terbenam matahari atau terbit fajar
Salah sangka dalam mengira waktu terbenam matahari sehingga membuat ia berbuka puasa sebelum waktunya, atau salah sangka dalam mengira terbit fajar sehingga ia masih makan dan minum padahal telah terbit fajar maka hal ini membatalkan puasanya. Dalilnya adalah riwayat berikut ini,
“Dari Handzolah, ia berkata,’Aku berada di sisi Umar Radhiyallahu ‘anhu pada bulan Ramadhan, lalu ia berbuka dan orang-orang pun ikut berbuka. Maka naiklah seseorang Muadzin untuk menyampaikan pengumuman. Ia berkata,’ Wahai orang-orang, matahari ini belum terbenam’. maka Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, semoga Allah mencukupi kami dari keburukanmu, sesungguhnya kami tidak mengutusmu sebagai pengontrol’. Kemudian Umar berkata, barang siapa yang berbuka (pada hari ini) maka berpuasalah sehari sebagai penggantinya. (HR. Al Baihaqi)
Dalam riwayat ini, Handholah menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi di masa Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu sewaktu beliau menjadi Khalifah. Waktu itu Handholah berada di sisi Umar Radhiyallahu ‘anhu. Langit rupanya mendung waktu itu, sehingga matahari tidak kelihatan. Karena sudah begitu gelap, maka Umar Radhiyallahu ‘anhu menyangka matahari telah tenggelam sehingga beliau berbuka. Karena beliau berbuka, maka orang-orang ikut berbuka. Lalu seorang lelaki mengatahui bahwa awan tersingkap dan melihat matahari belum terbenam. Karena itu dia naik ke atas untuk mengumumkan bahwa waktu berbuka belum tiba. Ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu mendengar suara lelaki itu, maka beliau khawatir lelaki itu salah lihat, maka beliau mencelanya dan mengkritiknya yang bertindak sendiri tanpa perintah Amirul mukminin. Tetapi setelah itu nyatalah bagi Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa matahari memang belum terbenam. Karena itu beliau berkata “barang siapa yang berbuka ( pada hari ini) maka berpuasalah sehari sebagai penggantinya. ”
Ucapan di atas meskipun ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu bukan ucapan Rasulullah Radhiyallahu ‘anhu, tetapi perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu tetap bisa dipakai sebagai dalil. Alasannya, Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan hukum syara. Para sahabat sangat jauh dari pendapat yang tidak berdasar atau didasarkan atas hawa nafsu. Olah karena kapasitas Umar Radhiyallahu ‘anhu waktu itu adalah sebagai amirul mu’minin sementara saat perkataan tersebut disampaikan tidak ada satu pun sahabat pun yang mengingkarinya, maka gal ini menunjukkan Ijma’ Shahabat bahwa salah sangka terhadap waktu terbenam matahari atau terbit fajar lalu makan atau minum maka mambatalkan puasa.
Dalil lain yang menguatkan adalah riwayat berikut ini,
“Dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,’Kami berbuka dimasa Nabi ﷺ di hari mendung, kemudian matahari muncul. Hisyam ditanya,’Apakah mereka diperintahkan menqodho’?’ Hisyam menjawab, ‘Tidak bisa tidak, harus mengqodho’. (HR Al-Bukhori)
Inilah hal-hal yang membatalkan puasa. Semua puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah, puasa Ramadhan maupun selain Ramadhan, jika dilakukan salah satu dari enam hal yang diterangkan di atas maka puasanya dihukumi batal, dengan makna Allah jelas tidak akan menerima amalnya jika dia bersikukuh meneruskan.
Tetapi harus difahami, jika hal-hal yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam keadaan lupa maka hal itu tidak membatalkan puasa. Dasarnya adalah hadits dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut,
“Bahwasanya Nabi ﷺ bersabda,’Barangsiapa berbuka di bulan Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qodho’ baginya dan tidak pula kaffarat baginya.
Termasuk tidak membatalkan puasa jika hal-hal di atas tadi dilakukan secara tidak disengaja, tidak sadar (tidur, pingsan, koma dan semisalya), dipaksa, atau bodoh (tidak mengetahui hukumnya). Rasulullah ﷺ bersabda,
“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,’ Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kesalahan yang tidak disengaja, lupa dan sesuatu yang mereka dipaksa atasnya.”
Namun khusus untuk keadaan bodoh, maka perlu dirinci. Jika kejahilan tersebut adalah pada persoalan yang tidak umum diketahui, seperti masalah mencium sampai keluar mani, maka dalam hal ini puasanya tidak batal. Tetapi, jika jahilnya terhadap perkara-perkara yang terkategori ma’lumun minad din bid dhoruroh (مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ) yakni perkara yang diketahui secara pasti dalam urusan dien seperti makan dan minum, maka puasanya batal. Alasannya, dalam hal-hal yang jelas, qoth’i dan masyhur seorang mukallaf tidak diberi keringanan tidak mengetahuinya. Karena tafaqquh dien yang seperti ini hukumnya fardhu ain.
Selain perkara-perkara di atas, hal yang menyebabkan batalnya puasa adalah,
1) Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa, maka seketika itu puasanya batal, walaupun setelah itu dia tidak jadi membatalkan dan berniat meneruskan puasanya. Alasannya, niat adalah salah satu rukun (sendi) puasa, dan niat puasa wajib bersifat dawam/ istimror (terus menerus). Jadi, jika dipotong ditengah jalan maka rusaklah puasanya. Rasulullah ﷺ bersabda,
“…Amal-amal itu hanyalah dengan niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan…”
2) Haidh dan Nifas bagi wanita.
Jika seorang wanita yang sedang berpuasa mengalami haidh atau nifas, maka puasanya batal dan harus mengqodho’nya. Karena wanita yang haid atau nifas tidak sah puasanya (lihat pembahasan puasa wanita)
3) Murtad
Jika ada orang yang sedang berpuasa lalu ia murtad baik melalui i’tiqod (keyakinan); perkataan atau perbuatannya maka puasanya batal karena seluruh amalan orang kafir sia-sia. Allah berfirman;
“…Aku menuju amal yang mereka (orang-orang kafir) lakukan, lalu Aku jadikan amal itu debu yang berhamburan…”