Pertanyaan
Salam. Ust, siapa sajakah yang berhak mendapatkan Zakat Mal? apakah boleh Zakat Mal tidak langsung disalurkan tapi dipinjamkan dahulu (untuk kepentingan pribadi/lembaga sosial semisal pondok). Kemudian apakah boleh menunda penyaluran Zakat tersebut dalam jangka waktu tertentu. Syukron atas jawabannya. (syabab.hizb@gmail.com)
Jawaban oleh Ust. Muafa
Wa’alaikumussalam Warahmatullah.
Yang berhak mendapatkan harta Zakat, tanpa membedakan apakah Zakat Mal (Zakat harta) maupun Zakat Fithri (Zakat yang dikeluarkan khusus di bulan Ramadhan) adalah delapan golongan ( 8 Ashnaf) yang disebutkan Allah dalam Al-Quran, yaitu;
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil
4. Mu-allaf
5. Untuk Pembebasan budak
6. Ghorim
7. untuk Jihad Fisabilillah, dan
8. Ibnu Sabil.
Dalil delapan golongan ini adalah Firman Allah ﷻ ;
Sesungguhnya Zakat-Zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, Amil (pengurus-pengurus Zakat), Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk Jihad di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (At-Taubah;60)
Jika seseorang diamanahi menyalurkan Zakat Mal, maka penyaluran Zakat tersebut tidak boleh ditangguhkan baik dengan alasan dihutangkan, diinvestasikan, maupun semata-mata ditunda. Tidak dibedakan apakah hal tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi, lembaga, maupun negara. Semuanya terlarang berdasarkan alasan-alasan berikut;
Pertama; Allah menjelaskan bahwa harta Zakat hanya menjadi hak delapan Ashnaf. Lafadz إِنَّمَا memberi makna “Hashr” (pembatasan). Harf Lam pada kata لِلْفُقَرَاءِ adalah Harf yng bermakna “Lam Al-Milki” (Harf lam yang menunjukkan kepemilikan). Adanya إِنَّمَا Lafadz dan إِنَّمَا menunjukkan bahwa harta Zakat dibatasi pemanfaatan dan pemberiannya kepada delapan Ashnaf yang berhak atas harta Zakat itu. Menghutangkan harta Zakat atau menginvestasikannya bermakna memberikan manfaat harta tersebut kepada orang yang tidak berhak. Hal ini bermakna tidak melaksanakan surat At-Taubah ayat; 60 dan itu terlarang. Jika yang berhutang termasuk delapan Ashnaf, maka dia justru diberi bagian harta Zakat, bukan dihutangi.
Kedua; membagikan harta Zakat kepada delapan Ashnaf hukumnya wajib, dan hukum asal pelaksanaan kewajiban adalah dilakukan langsung tanpa ditunda-tunda selama tidak ada udzur Syar’i. Pelaksanaan kewajiban tanpa menunda-nunda adalah sifat hamba-hamaba yang shalih sebagaiamana para Malaikat di langit langsung melaksanakan perintah bersujud kepada Adam ketika diperintahkan bersujud.
Ketiga; Sunnah Rasulullah ﷺ adalah membagikan harta Zakat dengan segera tanpa menunda-nunda. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ فَأَسْرَعَ ثُمَّ دَخَلَ الْبَيْتَ فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ خَرَجَ فَقُلْتُ أَوْ قِيلَ لَهُ فَقَالَ كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنْ الصَّدَقَةِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ فَقَسَمْتُهُ
Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Uqbah bin Al Harits radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya, katanya: “Nabi Shallallahu’alaihiwasallam shalat ‘Ashar berjama’ah bersama kami. Tiba-tiba Beliau dengan tergesa-gesa memasuki rumah. Tidak lama kemudian Beliau keluar, dan aku bertanya atau dikatakan kepada Beliau tentang ketergesaannya itu. Maka Beliau berkata,: “Aku tinggalkan dalam rumah sebatang emas dari harta Zakat. Aku tidak mau bila sampai bermalam, maka aku membagi-bagikannya”. (H.R.Bukhari)
Keempat; Penundaan penyerahan harta kepada orang yang berhak memilikinya padahal orang yang menyerahkan itu mampu untuk tidak menundanya adalah kezaliman sebagaimana orang kaya yang menunda membayar hutang padahal mampu. Rasulullah ﷺ bersabda;
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi ﷺ bersabda: “Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman”. (H.R.Bukhari)
Orang-orang fakir dan miskin misalnya, jelas membutuhkan harta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Boleh jadi mereka akan kelaparan sehari atau berhari-hari jika tidak mendapatkan harta. Seandainya harta Zakat langsung dibagikan, maka mereka akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Namun akibat penundaan penyaluran Zakat, boleh jadi penderitaan mereka bertambah dan semakin parah. Hal ini adalah kezaliman, dan tidak boleh terjadi. Islam mengharamkan semua bentuk kezaliman baik dalam hal harta, darah maupun kehormatan.
Kelima; kepercayaan Muzakki (orang yang berzakat) kepada Wakil yang diserahi menyalurkan Zakat kepada orang-orang yang berhak adalah amanah. Menunaikan amanah adalah wajib, dan mengkhianatinya hukumnya haram. Allah berfirman;
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,. (An-Nisa; 58)
Allah melarang orang-orang beriman mengkhianati amanah. Allah berfirman;
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Al-Anfal;27)
Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk makar orang-orang yang berkhianat. Allah berfirman;
dan bahwasanya Allah tidak memberi petunjuk tipu daya orang-orang yang berkhianat. (Yusuf; 52)
Nabi mensifati khianat terhadap amanah adalah sifat orang Munafik. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)
Nabi juga mensifati orang yang tidak punya sifat amanah, berarti dia tidak punya iman. Imam Ahmad meriwayatkan;
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Dari Anas beliau berkata, Rasulullah ﷺ sangat jarang menyampaikan kepada kami kecuali perkataan ‘tidak ada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanah, dan tidak ada agama bagi yang tidak menepati janji. (H.R.Ahmad)
Nabi memerintahkan agar menunaikan amanah, dan jangan membalas mengkhianati terhadap orang yang mengkhianati. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu!” (H.R.Abu Dawud)
Seandainyapun Muzakki (orang yang berzakat) mengizinkan kepada wakil yang dipercayainya menyalurkan Zakat untuk mengelolanya baik dihutangkan maupun diinvestasikan, maka hal ini juga tetap terlarang. Hal itu dikarenakan Zakat adalah hak Allah bukan hak hamba. Perbedaan hak Allah dengan hak hamba adalah; hak Allah tidak dapat digugurkan sementara hak hamba bisa digugurkan. Zakat termasuk hak Allah karena tidak dapat digugurkan meski delapan Ashnaf semuanya tidak ada. Tapi piutang adalah hak hamba karena bisa digugurkan, yakni ketika diputihkan. Berbeda halnya jika harta yang disalurkan adalah harta shodaqoh. Dalam kondisi ini harta bisa dihutangkan atau diinvestasikan dengan seizin orang yang bershodaqoh. Sebab, shodaqoh hukumnya Sunnah, tidak wajib sehingga bisa dibatalkan kapanpun diinginkan.
Atas dasar ini, haram menunda penyaluran Zakat termasuk mengelolanya sebelum disalurkan dengan alasan apapun selama tidak ada udzur Syar’i.
Wallahua’lam.
Dimuat ulang dari tulisan kami sebelumnya di sini