Dijawab oleh Ust. Muafa
Pertanyaan
Assalamu’alaikum ustadz,
Dengan segala hormat, saya mohon bantuan ustadz untuk membantu saya memberikan solusi permasalahan rumah tangga saya saat ini,
Saya wanita, 28 tahun, memiliki anak 3tahun. saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di Surabaya, sebenarnya saya ingin sekali menjadi ibu rumah tangga seperti wanita lainnya, namun suami saya melarang saya berhenti karena adik-adik saya masih kuliah sehingga sewaktu-waktu adik-adik butuh biaya saya bisa membantu, karena penghasilan suami saya saat itu juga tidak besar.
Dalam perjalanan waktu kami mengarungi kehidupan rumah tangga yang bahagia, namun saat pernikahan adik saya permasalahan ini akhirnya muncul, saat itu ketika pernikahan, adik saya menolak ucapan selamat dari suami saya dengan berjabatan tangan, hal itu dilakukan di depan keluarga kami, akhirnya suami saya merasa malu dan langsung pulang, keesokan harinya saya juga di telepon disuruh pulang juga, sayapun akhirnya menuruti permintaan suami saya.
Setelah itu kamipun akhirnya bertengkar masalah itu, karena saya juga menghormati sikap adik (I) saya mengenai prinsipnya haram berjabat tangan meskipun dengan ipar, akhirnya kamipun rukun setelah berhari-hari tidak bertegur sapa, namun tidak ada solusi mengenai permasalahan ini, dan sayapun tidak mengungkit-ungkit juga karena takut kami akan bertengkar lagi.
Namun suatu saat pada acara selamatan dirumah Ibu saya di desa, suami saya tidak mau datang ke rumah, dia hanya mengantarkan (naik Bis) sampai di ujung jalan rumah, alasannya karena dijika pulang maka akan bertemu adik 1 saya suami saya akan malah marah dan takut malah menambah dosa, karena sikapnya. Sayapun berusaha memahaminya, karena saya kira dia akan datang pas acaranya, namun ternyata juga tidak datang, dia hanya mengirimkan sms dengan isi permohonan maaf tidak bisa datang karena berat melangkah ke rumah saya di desa, dia juga meminta saya pulangnya minta antar saja sama adik ke 2 saya.
Karena musim liburan Bis sangat penuh, akhirnya oleh adik @ saya, saya dipesankan tiket kereta, ternyata juga habis, sayapun akhirnya ditawari sepupu( wanita) saya yang juga akan berangkat ke Surabaya bersama menggunakan sepeda motor. Dan sayapun tidak meminta adik saya mengantarkan saya karena dia juga akan kembali ke Malang, saya kasihan karena transportasi bis sangat ramai.
Sebelum saya berangkat sayapun memberi kabar kepada suami saya bahwa saya berangakat bareng sepupu saya, namun mendengar kabar saya suami saya malah marah dan menelfon adik saya, karena tahu suami saya sedang marah saya melarang adik saya mengangkat telepon tersebut, namun berungkali suami saya tetap menelpon, akhirnya diangkat juga oleh adik saya, dengan marah serta memaki adik saya dengan mengatakan adik saya tidak memiliki etika, karena sudah dibantu biaya kuliah diminta bantuan mengantarkan saja adik saya tidak mau, tidak tahu terima kasih. Mendengar makian itu saya juga sangat marah, dan sayapun mebela adik saya, ketika suami saya bertanya sebenarnya siapa yang salah, saya jawab bahwa yang salah suami saya, kenapa harus memaki. mendengar itu suami saya menuduh saya telah menginjak-injak harga dirinya.
Dan permasalahan inipun berlanjut sampai sekarang, suami saya meminta saya segera berhenti bekerja dan akan mengatur semua keuangan saya, sayapun menolak karena dia memerintahkan saya dalam keadaan sangat marah, saya takut saat saya benar-benar berhenti permasalahan ini berujung pada perceraian, karena kata-kata suami saya sudah sangat kasar. Saat ini suami saya juga mendiamkan saya, membiarkan saya entah pulang ke rumah atau tidak, dia sama sekali sudah tidak memperhatikan saya, dan terus terang saya masih sangat mencintai suami saya, saat kami rukun dia selalu memanjakan saya, saya juga sempat melihat dia sangat bersedih dan menitikkan air mata,
Di sisi lain keluarga saya meminta saya berpisah saja, jika terus-terusan bertengkar dan suami saya tidak bisa akur dengan adik-adik saya, saya sangat bingung saat ini karena dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, jika seandainya bersujud pada manusia diperbolehkan beliau akan memerintahkan istri bersujud pada suami, di sisi lain suami saya tidak bisa akur dengan adik karena permasalahan di atas.
Ustadz bagaimana saya menyikapi permasalahan ini, apa yang harus saya lakukan saat ini ustadz? Mohon bantuan Ustadz
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum wr. Wbr.
Fulanah-di Suatu Tempat
Jawaban
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Semoga ibu dan suami senantiasa dihimpun Allah dalam kebaikan dan berkah.
Ibu,
Tidak ada satupun rumah tangga di kolong langit ini yang bebas sama sekali dari problem dan permasalahan. Tidak satupun rumah tangga yang terlepas dari perselisihan. Tidak ada satupun rumah tangga yang tidak pernah ada pertengkaran (meski kecil). Rumah tangga Rasulullah ﷺ pun tidak bebas dari pemasalahan. Problem dan masalah justru menjadi “alat pengukur” untuk menguji kualitas iman pasangan suami istri.
Ada kalanya problem rumah tangga muncul dari pasangan, kadang dari orang tua/kerabat, dan kadang pula dari orang lain. Semuanya adalah ujian untuk meningkatkan kualitas iman, senyampang disikapi menurut cara yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Hal yang harus diwaspadai saat terjadi masalah antara suami dengan istri adalah adanya pihak ketiga yang berusaha mengipas-ngipasi/mengkompori dengan target memisahkan antara suami istri tersebut. Aktivitas merusak rumah tangga orang dengan berupaya memisahkan pasangan suami istri adalah dosa besar (Kaba-ir), kemunkaran berat, perbuatan para penyihir, dan diantara program utama Iblis berikut tentaranya untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-tengah manusia. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ ».
Artinya : dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, atau seorang budak terhadap tuannya.” (H.R.Abu Dawud)
Lafadz imam Ahmad berbunyi;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya : dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang bersumpah dengan amanah dan barangsiapa merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya atau budak dengan tuannyanya, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (H.R.Ahmad)
Orang yang berusaha merusak hubungan istri dengan suaminya dalam hadis di atas divonis tidak termasuk golongan Rasulullah ﷺ. Jika bukan golongan Rasulullah ﷺ maka menjadi golongan siapakah selain golongan kaum Kuffar, Munafik, Fasik, ahli maksiat dan semua yang tidak menempuh jalan yang lurus? Cukuplah hadis ini menjadi dalil bahwa merusak rumah tangga orang termasuk hitungan dosa-dosa besar dan kemungkaran yang berat.
Merusak rumah tangga orang juga termasuk perbuatan para penyihir berdasarkan ayat berikut ini;
Artinya : “dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya (Al-Baqoroh;102)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa diantara aktivitas sihir yang dipelajari dari Harut dan Marut adalah sihir untuk memisahkan antara seorang lelaki (suami) dengan istrinya. Sihir menyeret pada kekufuran, dan sudah diketahui dalam Islam bahwa perbuatan sihir termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang pelakunya dihukum bunuh. Dalil ini semakin menguatkan bahwa merusak rumah tangga orang adalah dosa besar (Kaba-ir) dan kemungkaran yang berat.
Memisahkan pasangan suami istri dan merusak rumah tangga mereka juga menjadi program utama Iblis dan tentaranya untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Imam Muslim meriwayatkan;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Artinya : “dari Jabir berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu mengirim bala tentaranya, (setan) yang kedudukannya paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar godaannya. Salah satu diantara mereka datang lalu berkata: ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab: ‘Kau tidak melakukan apa pun.’ Lalu yang lain datang dan berkata: ‘Aku tidak meninggalkannya hingga aku memisahkannya dengan istrinya.’ Beliau bersabda: “Iblis mendekatinya lalu berkata: ‘Bagus kamu.” (H.R.Muslim)
Tampak jelas dalam hadis di atas, bahwa Iblis meremehkan banyak “prestasi” tentaranya yang menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-tengah manusia. Namun ketika diberitahu “prestasi” memisahkan pasangan suami istri, iblis begitu gembira, mendekatkan Syetan tersebut di sisinya dan memujinya. Dari sini bisa difahami, siapapun yang terlibat upaya memisahkan pasangan suami istri dan merusak rumah tangganya (meski dia bersorban besar), sesungguhnya dia adalah bagian dari tentara iblis, yang merealisasikan program-programnya, dan menjadi “anteknya” baik sadar maupun tidak.
Ibnu Taimiyah berkata;
فَسَعْيُ الرَّجُلِ فِي التَّفْرِيقِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَزَوْجِهَا مِنْ الذُّنُوبِ الشَّدِيدَةِ، وَهُوَ مِنْ فِعْلِ السَّحَرَةِ، وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ فِعْلِ الشَّيَاطِينِ.
Artinya : “Upaya seseorang untuk memisahkan istri dengan suaminya adalah diantara dosa-dosa berat, termasuk perbuatan tukang sihir, dan sebesar-besar perbuatan Syetan” (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.2 hlm 313)
Merusak rumah tangga orang, variasi caranya beragam. Kadang orang melakukannya dengan mengadu domba pasangan suami istri tersebut, memprovokasi istri agar minta cerai kepada suami dengan cara mencitraburukkan suami, memprovokasi suami agar menceraikan istri dengan cara mencitraburukkan istri, intervensi saat terjadi masalah rumah tangga sehingga “api” kian membesar, meminta istri tua dicerai sebelum menikahi istri muda, dll. Semuanya termasuk hukum merusak rumah tangga yang hukumnya haram dan dihitung dosa besar.
Sikap yang bijak yang menunjukkan kafakihan dalam dien, jika pihak ketiga melihat ada permasalahan/pertengkaran dalam rumah tangga maka dia tidak boleh berbicara sebelum terealisasi dua hal; pertama: Pasangan suami istri tersebut mengizinkan dan ridho pihak ketiga itu menjadi Hakam (penengah) terhadap perselisihan mereka dan, kedua: Pihak ketiga tersebut tidak berbicara kecuali setelah mendengar dengan seksama curahan hati dari kedua belah pihak (bukan hanya satu pihak).
Jika dua hal ini tidak terealisasi, maka tidak ada hak apapun bagi pihak ketiga untuk turut campur/mengintervensi urusan rumah tangga orang (meskipun dia kerabat dekat). Hal itu dikarenakan Syariat telah mengajarkan mekanisme penyelesain rumah tangga yang berpulang pada pasangan suami istri, bukan pihak ketiga. Islam telah menempatkan secara bijak dan hati-hati terhadap peran pihak ketiga untuk ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Peran pihak ketiga hanya bisa dilakukan dengan permintaan, bukan intervensi.
Rumah tangga harus dihormati, karena rumah tangga punya kepala keluarga yang mendapatkan hak dari Allah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kebijakannya. Suami adalah kepala keluarga. Ia bagaikan nahkoda bagi sebuah kapal. Membiarkan pihak ketika mengintervensi urusan rumah tangga, secara fakta membuat ikatan pernikahan menjadi tidak ada gunanya.
Jadi, sikap keluarga ibu yang menganjurkan untuk bercerai adalah sikap yang tidak benar. Hal tersebut sudah terkategori intervensi (meski diatasnamakan nasihat), merusak rumah tangga, dosa besar, kemunkaran berat, perbuatan tukang sihir, dan bagian tentara Iblis. Hal tersebut harus dihentikan, dan mereka wajib diingatkan untuk tidak turut campur. Seorang istri tidak boleh mendengarkan ucapan provokasi/memanas-manasi/mengompori dari pihak manapun yang jelas berefek rusaknya hubungan suami-istri.
Jika ada pihak ketiga yang telah diketahui ucapan/perbuatannya mengarah pada perusakan hubungan dalam rumah tangga, maka mereka harus dijauhi dan suami berhak melarang istri bertemu dengan mereka. Namun, menjauhi bukan bermakna memutus Shilaturrahim atau memutus Ukhuwwah Islamiyyah. Menjauhi tidak lebih sekedar meminimalisasi interaksi, dan membatasi interaksi pada hal-hal selain urusan rumah tangga. Jika pembicaraan/tindakan sudah mengarah para urusan rumah tangga maka dihindari/dijauhi.
Ini adalah penyikapan terhadap keluarga dan pihak ketiga.
Adapun penyikapan terhadap suami, jangan sampai salah, ibu. Bersikap terhadap suami yang paling baik adalah sikap yang diajarkan Allah dan RasulNya, bukan berdasarkan pertimbangan akal, selera, dan perasaan.
Syara’ mengajarkan bahwa asas perlakuan seorang istri terhadap suaminya adalah Tholabur Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho). Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;
عن عبد الله بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بنسائكم من أهل الجنة الودود الولود العؤود على زوجها التي إذا آذت أو أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول والله لا أذوق غمضا حتى ترضى
Artinya : “Tidaklah aku kabarkan pada kalian wanita-wanita kalian yang termasuk penghuni surga? Wanita-wanita yang penyayang dan subur, yang apabila ia mendzalimi atau didzalimi ia berkata,”tidaklah aku merasakan dapat memejamkan mata hingga engkau ridho” (H.R.An-Nasai)
Dalam hadis di atas diterangkan bahwa istri calon penghuni surga diantara sifatnya adalah jika menyakiti suami atau disakiti suami maka dia akan meminta maaf kepada suami dan tidak bisa tidur sebelum suaminya ridho/memaafkannya. Meminta maaf saat menyakiti suami dalam hadis di atas tidak diterangkan apakah penyebabnya adalah kesalahan suami ataukah istri. Yang jelas, ketika suami merasa disakiti oleh istri, baik dengan ucapan maupun perbuatan lalu istri meminta maaf, maka sifat tersebut dipuji syariat. Lebih hebat lagi ternyata pujian Syara’ bukan hanya saat sang istri yang menyakiti suami. Saat dia disakiti suami, (artinya suaminyalah yang zalim) istri juga meminta maaf, dan sifat ini juga dipuji Syariat. Oleh karena itu, hadis ini bukan sekedar bermakna wajibnya istri yang berbuat zalim untuk meminta maaf, tetapi lebih dari itu, hadis ini menunjukkan asas perlakuan seorang istri kepada suami adalah berusaha selalu mencari ridha/kerelaannya.
Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;
أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
Artinya : Dari Abu Umamah r.a beliau berkata, Rosuullah ﷺ bersabda ,” tiga orang yang sholat mereka tidak melampui telinga-telinga mereka yaitu seorang budak yang melarikan diri hingga ia kembali, seorang wanita yang bermalam sementara suaminya marah kepadanya, dan seorang imam suatu kaum sementara kaumnya membencinya”. (H.R.At-Tirmidzi)
Dalm hadis di atas, diterangkan bahwa istri yang membuat suaminya marah maka shalatnya tidak naik ke langit. Penyebab marah dalam hadis di atas juga bersifat mutlak dan tidak diterangkan. Maknanya, Syara’ tidak berkehendak seorang istri membuat suaminya marah, sehingga bisa difahami berdasarkan hadis ini pula bahwa Tholabur Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan Istri kepada suami.
Dalil yang menguatkan adalah hadis tentang kecemburuan Hurul ‘In/Wanita surga/bidadari berikut ini;
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Artinya : Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan istri-istri suaminya dari kalangan bidadari di surga berkata, “engkau jangan menyakitinya, Allah melaknatmu, sesungguhnya ia (suami) di sisimu hanyalah tamu yang hampir-hampir meninggalkanmu dan pulang kepada kami”.(H.R.Ahmad)
Secara implisit hadis di atas juga mengajarkan kepada para wanita agar jangan sampai membuat suaminya tersakiti. Maknanya Tholabur Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan Istri kepada suami.
Berdasarkan alas fikir ini, peristiwa-peristiwa rumah tangga Insya Allah bisa disikapi secara lebih tepat dan bijaksana, yang lebih dekat dengan syariat yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
Ketika terjadi kesalahfahaman antara suami dengan sebagian kerabat istri, maka langkah pertama agar masalah tidak meruncing dan memanas adalah taatnya istri terhadap semua perintah dan pengaturan suami. Istri selalu berusaha mendapatkan ridha suami. Namun hal ini tidak bermakna istri “berkubu” pada suami dan memusuhi kerabat. Namun sekedar menjalankan perintah syara’ menaati suami dan mencari ridhanya seraya berusaha mendialogkan kesalahfahaman tersebut dengan tetap menjaga Shilaturrahim. Jangan sampai istri memaki suami, memarahi apalagi merendahkannya. Karena hal tersebut terhitung dosa besar, bertentangan dengan perintah syara’ dan malah akan memperkeruh keadaan.
Bukankah ibu sendiri telah merasakan bahwa suami sungguh sayang pada ibu?bukankah beliau telah bersedia mengantar pergi, mengontrol kepulangan, mengkhawatirkan keselamatan, dll yang semuanya adalah diantara tanda betapa suami mencintai ibu? Terhadap suami yang jahat dan zalim saja Syara’ masih memerintahkan taat, hormat, dan mencari ridhanya, bukankah suami yang mencintai, menyayangi, memanjakan, memperhatikan (sampai kadang-kadang menitikkan air mata) lebih punya alasan untuk ditaati, dihormati, dan dicari ridhanya?
Terakhir, perbanyaklah membaca doa berikut ini agar segala permasalahan dunia maupun akhirat lekas selesai;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Artinya : dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: “ALLOOHUMMA ASHLIH LII DIINII ALLADZII HUWA ‘ISHMATU AMRII, WA ASHLIH LII DUN-YAAYA ALLATII FIIHAA MA’AASYII, WA ASH-LIH LII AAKHIROTII ALLATII FIIHAA MA’AADII, WAJ’ALIL HAYAATA ZIYAADATAN LII FII KULLI KHOIRIN, WAJ’ALIL MAUTA ROOHATAN LII MIN KULLI SYARRIN “Ya Allah ya Tuhanku, benahilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku; benahilah untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; benahilah untukku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!” (H.R.Muslim)
Wallahua’lam.
Disalin dari artikel di blog lama saya disini