Dijawab oleh Ust. Muafa
PERTANYAAN
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz Mu’afa yang semoga dirahmati Allah, saya mau bertanya, bagaimana penentuan darah dikatakan sebagai darah Haid atau Istihadhoh? Kasusnya begini, ada seorang wanita katakanlah memiliki kebiasaan Haid maksimal 9 hari, lalu pada hari ke-14 keluar cairan berwarna merah seperti darah tapi tidak berbau seperti darah, melainkan bersifat seperti cairan saat keputihan tapi warnanya merah seperti darah dan jumlahnnya pun tidak sebanyak seperti ketika Haid. Selang 1-2 hari warna merah cairan itu memudar hingga bisa normal lagi (cairan saat keputihan), tapi di hari berikutnya cairan berwarna merah itu bisa muncul lagi (di atas 15 hari sejak pertama Haid). Pada kasus demikian, bagaimana hukum syara’nya ustadz?
Jazakallah …
Hafshah Maryam
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jazakillah untuk doa Saudari Hafshah Maryam. Semoga hari-harinya diliputi rahmat, bimbingan dan keberkahan dari Allah Azza Wajalla.
Prinsipnya, membedakan darah Haid dengan darah selain Haid diserahkan pada kebiasaan wanita. Artinya, wanita yang sebenarnya lebih tahu bagaimana mengidentifikasi apakah darah yang keluar dari kemaluannya termasuk darah Haid ataukah bukan. Prinsip ini diambil, karena Syara’ ketika menjelaskan hukum-hukum seputar Haid termasuk problem yang mungkin muncul pada wanita seperti keluarnya darah Istihadhoh, ternyata Syara’ tidak memerinci kriteria-kriteria dan standar-standar yang bisa dijadikan ukuran/patokan untuk mengidentifikasi apakah darah termasuk darah Haid ataukah selain darah Haid. Sebagai contoh, misalnya Imam Muslim meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
Artinya : Dari Aisyah dia berkata, “Fathimah binti Abi Hubaisy mendatangi Nabi ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku adalah seorang perempuan yang terkena istihadhah, sehingga aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat? ‘ Maka beliau bersabda, “Darah tersebut ialah darah dari urat tubuh (darah penyakit) bukan Haid, maka apabila Haid telah datang hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah Haid telah pergi, hendaklah kamu membersihkan darah darimu dan mendirikan shalat.” (H.R.Muslim)
Dalam hadis ini, disebutkan bahwa Fathimah binti Hubaisy mengeluarkan darah Istihadhoh, yakni darah yang muncul di luar waktu kebiasaan Haid. Karena terus mengeluarkan darah, Fathimah merasa tidak pernah suci, sehingga bertanya kepada Rasulullah ﷺ apakah harus meninggalkan shalat dengan menganggap darah yang keluar itu termasuk darah Haid, atau bagaimana seharusnya dalam bersikap. Ternyata Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa darah yang terus keluar itu bukan darah Haid, tapi sekedar darah yang keluar dari urat-urat tubuh. Dengan kata lain, darah yang keluar itu adalah darah rusak, bukan darah Haid sehingga tidak dihukumi Haid. Kemudian Rasulullah ﷺ merekomendasikan;
“…maka apabila Haid telah datang hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah Haid telah pergi, hendaklah kamu membersihkan darah darimu dan mendirikan shalat…”
maknanya; jika darah Haid datang maka tinggalkanlah shalat, dan jika sudah pergi tetapi masih mengalir darah yang bukan Haid maka cucilah darah yang bukan Haid itu lalau bersucilah dan shalatlah.
Tampak jelas dalam hadis di atas bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita menjalani masa Haid dengan melihat darah Haid yang keluar, dan bersuci dari Haid jika darah Haid sudah berhenti meskipun masih ada darah selain Haid yang keluar. Namun Rasulullah ﷺ tidak pernah memerinci kriteria dan standar terkait ciri-ciri darah Haid, baik warna, aroma, kekentalan, volume dll. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa membedakan hal tersebut hukum asalnya diserahkan sepenuhnya kepada wanita sesuai dengan kebiasaan yang dialaminya.
Demikian pula ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan wanita yang mengeluarkan darah Istihadhoh terus menerus agar berhaid hanya selama waktu kebiasaan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ
إِنَّ أَمَّ حَبِيبَةَ سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّمِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ مِرْكَنَهَا مَلْآنَ دَمًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
Artinya : Dari Aisyah bahwasanya dia berkata, ” Ummu Habibah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang darah.” Lalu Aisyah berkata lagi, “Saya melihat baskom besarnya penuh dengan darah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “jalanilah masa Haid selama kebiasaan Haidmu menahanmu (dari Shalat), kemudian mandilah dan shalatlah.” (H.R.Muslim)
Pada saat Rasulullah ﷺ mmerintahkan agar Ummu Habibah berhaid selama waktu kebiasaannya sebelum terkena Istihadhoh, beliau tidak menjelaskan lebih detail dan memerinci bagaimana cara membedakannya. Hal ini menguatkan bahwa hukum asal dalam membedakan darah Haid atau bukan adalah diserahkan pada wanita, karena wanita yang lebih tahu tentang dirinya daripada orang lain.
Memang benar, umumnya darah Haid berwarna merah yang cenderung kehitaman, berbau tidak sedap, kental, hangat ketika keluar, deras ketika pertama kali keluar dst..namun boleh jadi tiap wanita tidak selalu sama persis kondisi darah Haidnya dengan sifat-sifat ini, sehingga ciri-ciri umum darah Haid tersebut tetap tidak bisa dijadikan sebagai patokan yang kaku.
Selanjutnya, kembali pada pertanyaan, jika ada darah yang keluar melebihi waktu kebiasaan dan tidak lebih dari 15 hari sementara darah tersebut memiliki sifat-sifat darah Haid, maka darah tersebut dihukumi darah Haid. Jika keluarnya melebihi waktu 15 hari, maka dihukumi darah Istihadhoh apapun sifatnya. Hal itu dikarenakan secara fakta, waktu terbanyak wanita dalam mengalami Haid adalah 15 hari yang diriwayatkan dalam banyak riwayat dari generasi salaf maupun Kholaf dan disaksikan kebenarannya secara medis pula di zaman sekarang. Oleh karena itu, darah yang keluar dalam waktu 15 hari masih mungkin termasuk darah Haid sehingga dihukumi darah Haid.
Dengan demikian, jika darah yang keluar pada hari ke 14 itu memiliki sifat-sifat darah Haid yang biasa dilihat, berarti dia termasuk darah Haid. Tetapi jika tidak, maka dihukumi Istihadhoh. Semuanya dikembalikan pada kebiasaan sifat darah Haid yang dilihat oleh penanya, tanpa membedakan apakah sifat darah Haid itu adalah apa yang ditemukan dihari pertama keluarnya darah Haid, pertengahan maupun menjelang berakhir keluar darah Haid. Adapun darah yang keluar setelah 15 hari, maka darah tersebut dihukumi darah Istihadhoh.
Namun, hendaknya berhati-hati dalam mengidentifikasi, terutama terkait warna. Hal itu dikarenakan ada Nash yang menjelaskan bahwa cairan yang keluar setelah suci dan cairan tersebut berwarna kuning dan keruh, maka itu semua dianggap Istihadhoh. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ وَكَانَتْ بَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
Artinya : Dari Ummu ‘Athiyyah -dan dia adalah wanita yang berbaiat kepada Rasulullah ﷺ-, dia berkata; Kami tidak menganggap darah yang keruh atau kekuning-kuningan setelah suci dari Haid sebagai sesuatupun (H.R.Abu Dawud)
Artinya di zaman Rasulullah ﷺ wanita-wanita, sesudah mengalami masa suci, jika melihat cairan berwarna keruh atau kuning keluar dari kemaluan mereka, maka cairan tersebut tidak dianggap Haid sehingga mereka tetap Shalat dan puasa.
Wallahua’lam
Disalin dari artikel di blog lama saya disini