Oleh Ustadz Muafa
DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT
Ada banyak ulama dari berbagai madzhab yang berpendapat bahwa pelafalan niat dalam ibadah tidak terlarang. Sebagian dari mereka berpendapat sunnah, ada yang berpendapat mubah,dan adapula yang berpendapat mubah namun baik. Diantara mereka adalah Abu Bakr bin ‘Ali bin Muhammad Al-Haddady Al-Abbady Al-Yamany Az-Zabidy. Beliau berkata dalam Al-Jauharun Nayyiroh:
وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ
Melafalkan niat dianjurkan (Al-Jauharoh An-Nayyiroh, vol.1, hlm 16)
Termasuk pula Abdul Ghony Al-Ghunaimy Ad-Dimasyqy Al-Maidany dalam Al-Lubab Fii Syarhi Al-Kitab?
والتلفظ بها مستحب إعانة للقلب
Melafalkan niat dianjurkan untuk membantu hati (Al-Lubab Fi Syarhi Al-Kitab, hlm 33)
Termasuk pula Muhammad bin Framuz Munalla/Munla/ Mulla/Maula Khisru/Khusru/Khosru dalam Duroru Al-Hukkam :
وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ ) يَعْنِي طَرِيقٌ حَسَنٌ أَحَبَّهُ الْمَشَايِخُ لَا إنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ
Melafalkan niat dianjurkan, yakni cara yang baik yang disukai para syaikh, bukan sunnah yang mendapat pahala (Duroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam, vol.1, hlm 283)
Termasuk pula Muhammad bin Abi Bakr bin Abdul Qodir Ar-Rozy dalam Tuhfatu Al-Muluk:
واللفظ سنة
Melafalkan adalah sunnah (Tuhfatu Al-Muluk, hlm 66)
Termasuk pula Al-Hajah Najah Al Halaby dalam Fiqhul Ibadat:
ويستحب التلفظ بالنية
Dianjurkan melafalkan niat (Fiqhu Al-Ibadat Hanafy, hlm 180)
Termasuk pula Ahmad bin Muhammad bin Isma’il At-Thohawy dalam Hasyiyah Aththohawy ‘Ala Maroqil Falah:
إلا أن التلفظ بها سنة كما في الحدادي أي سنة المشايخ كما في تحفة الأخيار
Hanya saja melafalkan niat adalah sunnah sebagaimana dalam kitab Al-Haddady, artinya sunnah para Syaikh (buykan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ), sebagaimana dalam kitab Tuhfah Al-Akhyar (Hasyiyah Ath-Thohawy ‘Ala Maroqi Al-Falah, hlm 427)
Termasuk pula yang direkomendasikan para ulama dalam Al-Fatawa Al-Hindiyyah:
وَالتَّلَفُّظُ بها مُسْتَحَبٌّ
Melafalkan niat dianjurkan (Al-Fatawa Al-Hindiyyah, vol.1, hlm 16
Termasuk pula Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya :
قوله ( هذه ) أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوبا لا سنة ولا مكروها
Adapun statemennya “Ini”, maka yang dimaksud adalah metode yang ditempuh oleh penulis hingga menyimpulkan yang menjadikan pelafalan niat sebagai sesuatu yang dianjurkan. Bukan sunnah, bukan pula makruh. (Hasyiyah Ibni ‘Abidin, vol. 1 hlm 127);
Termasuk pula ‘Utsman bin ‘Ali Az-Zaila’y dalam Tabyinu Al-Haqoiq :
وَأَمَّا التَّلَفُّظُ بِهَا فَلَيْسَ بِشَرْطٍ وَلَكِنْ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ
Adapun melafadzkan niat, maka hal tersebut bukanlah syarat. Akan tetapi hal tersebut dipandang baik karena mengokohkan tekadnya (Tabyinu Al-Haqo-iq, vol.1 hlm 477)
Termasuk pula Zainuddin Ibnu Nujaim dalam Al-Bahru Ar-Roiq:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ
Niat tempatnya di hati dan melafalkannya dianjurkan (Al-Bahru Ar-Roiq, vol.1, hlm 85)
وقد اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ في التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فذكر ( ( ( فذكره ) ) ) في مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وهو الْمُخْتَارُ
Para syaikh telah berbeda pendapat dalam hal pelafadzan niat. Lalu beliau menyebutkan (lalu beliau menyebutkannya) dalam kitab Munyatu Al-Musholli Bahwasanya hal tersebut dianjurkan. Dan pendapat inilah yang dipilih. (Al-Bahru Ar-Ro-iq, vol. 1 hlm 293)
Termasuk pula Muhammad bin Al-Hasan murid Abu Hanifah;
وفي الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بن الْحَسَنِ أن سُنَّةٌ وَهَكَذَا في الْمُحِيطِ والبدائع
Dalam kitab Al-Ikhtiyar, pengarang menisbatkan pada Muhammad bin Al-Hasan bahwa melafalkan niat hukumnya sunnah (Al-Bahru Ar-Ro-iq, vol. 1 hlm 293)
Demikian pula Abu Muhammad Abdul Hamid Al-Harowy Al-Qoirowany Ibnu As-Shoigh (wft 486), ulama madzhab maliki pengarang kitab Al-Istilhaq (Syarah/komentar terhadap Al-Mudawwanah):
At-Tilmisany , salah seorang ulama yang semadzhab dengan kami (madzhab maliki) menukil dianjurkannya melafalkan niat dari pengarang kitab Al-Istilhaq. Pendapat ini (yang mensunnahkan pelafalan niat) tidak dikenal dari madzhab Malik (Al-Fakihany dalam syarahnya terhadap ‘Umdatu Al-Ahkam yang bernama Riyadh Al-Afham)
Demikian pula Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuqy yang mensunnahkan bagi orng yang terkena was-was?
لَكِنْ يُسْتَثْنَى مِنْهُ الْمُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ بِمَا يُفِيدُ النِّيَّةَ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللُّبْسُ
Namun, dikecualikan bagi orang yang tertimpa was-was. Dianjurkan baginya untuk melafalkan sesuatu yang bermakna niat untuk melenyapkan kesamaran darinya (Hasyiyah Ad-Dusuqy ‘Ala As-Syarh Al-Kabir, vol.2, hlm 368)
Demikian pula Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawi dalam Minhajut Tholibin dan Al -Majmu’ :
وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ.
Dan niat adalah dengan hati, dianjurkan untuk melafadzkan sesaat sebelum takbir. (Al-Minhaaj lin-Nawawi, hlm 26)
النية الواجبة في الوضوء هي النية بالقلب ولا يجب اللفظ باللسان معها: ولا يجزئ وحده وان جمعها فهو آكد وأفضل هكذا قاله الاصحاب واتفقوا عليه
Niat yang wajib pada saat wudhu adalah niat dengan hati. Pelafalan dengan lisan tidak wajib dilakukan bersamaan dengan niat hati. Tidak sah jika hanya pelafalan lisan. Jika orang yang berwudhu menghimpun antara niat hati dengan pelafalan lisan, maka hal itu lebih kuat dan afdhol. Inilah yang dikatakan oleh ulama-ulama semadzhab (dalam madzhab Syafi’i) dan disepakati oleh mereka (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadz-dzab, vol.1, hlm 316)
Termasuk pula Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya Al Anshory dalam Manhajut Thullab, Asnal Matholib, Syarah Al-Bahjatul Wardiyyah dan Fathul Wahhab:
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير
Disunnahkan berniat nafilah, menyandarkan kepada Allah dan melafalkan sesaat sebelum takbir (Manhaj At-Thullab, hlm 9)
( وَالتَّلَفُّظُ بِهَا ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ ، وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ( سِرًّا )
Melafalkan niat dengan pelan adalah agar lisan membantu hati, dan menghindar untuk menyelisihi orang yang mewajibkannya (Asna Al-Matholib Syarah Roudh Ath-Tholib, vol.1, hlm 225)
نَعَمْ يُسَنُّ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ كَمَا سَيَأْتِي
Ya, disunnahkan melafalkan niat sesaat sebelum takbir, sebagaimana akan diterangkan (Syarh Al-Bahjah Al-Wardiyyah, vol.3, hlm 232)
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
(sunnah-sunnahnya) melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati (Fathu Al-Wahhab, vol.1, hlm 69)
Termasuk pula Zainuddin bin Abdul –’Aziz Al-Milyabary dalam Fathul Mu’in:
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
disunnahkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat (Fathu Al-Mu’in, vol.1, hlm 130)
Termasuk pula Sulaiman Al-Jamal dalam Hasyiyah Al-Jamal:
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
Redaksi dalam syarah; Agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat (Hasyiyah Al-Jamal, vol.3, hlm 227)
Termasuk pula Muhammad Al-Khothib Asy-Syirbiny dalam Mughni Al-Muhtaj dan Al-Iqna’:
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, (Mughni Al-Muhtaj, vol.1, hlm 150)
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, (Al-Iqna’ Lisy-Syarbiny, vol.1, hlm 129)
Termasuk pula Al-Khothib Asy-Syirbiny dalam Al-Iqna’ Fi Halli Al-Fadhi Abi Syuja’-Musa Al-Hajjawy:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولانه أبعد عن الوسواس
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, (Al-Iqna’ Fi Halli Al-Fadhi Abi Syuja’-Musa Al-Hajjawy, vol.1, hlm 119)
Termasuk pula Muhammad Az-Zuhry Al-Ghomrowy dalam As-Siroj Al-Wahhaj:
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati (As-Siroj Al-Wahhaj, hlm 41)
Termasuk pula Al-Bakry Abu Bakr bin As-Sayyid Muhammad Syatho Ad-Dimyathi dalam I’anah At-Tholibin:
( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب ( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس
Statemen; disunnahkan melafalkan sesuatu yang diniatkan, maksudnya adalah; Tidak wajib. Jika orang yang shalat berniat shalat dhuhur dengan hatinya, namun lisanya meniatkan ashar, maka hal tersebut tidak menjadi masalah karena yang menjadi ukuran adalah hati. Stateman; agar lisan membantu hati, maksudnya; karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, (I’anah At-Tholibin, vol.1, hlm 130)
Termasuk Al-Bakry Ad-Dimyathy dalam Hasyiyah I’anah At-Tholibin:
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب،
Statemen; Disunnahkan melafalkan sesuatu yang diniatkan, maksudnya adalah; Tidak wajib (Hasyiyah I’anah Ath-Tholibin, vol.1, hlm 152).
Termasuk pula Salim bin Samir Al-Hadhromy dalam Safinatun Naja:
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
Niat adalah menyengaja sesuatu yang disertai dengan aksi melakukannya. Tempat niat di hati dan melafalkan niat adalah sunnah (Matnu Safinati An-Naja, hlm 1)
Termasuk pula Abu Abdil Mu’thi Muhammad bin Umar bin ‘Ali An-Nawawy Al-Jawy dalam Nihayatuz Zain:
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
Adapun melafalkan sesuatu yang diniatkan, maka hal tersebut sunnah agar lisan membantu hati (Nihayah Az-Zain, hlm 18)
Termasuk pula Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam Al-Minhaj Al-Qowim:
( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك في كل عبادة تجب لها نية
Disunnahkan melafalkan niat baik untuk yang fardhu maupun nafilah sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat, pada setiap ibadah yang niat wajib dilakukan (Al-Manhaj Al-Qowim, hlm 191)
Termasuk pula Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimy dalam Tuhfatu Al-Habib
يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
disunnahkan melafalkan niat pada semua ibadah demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat (Tuhfatu Al-Habib ‘Ala Syarhi Al-Khothib, vol.1, hlm 192)
Termasuk Al-Bujairimy dalam Hasyiyah Al Bujairimy:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالْمَنْوِيِّ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوِسْوَاسِ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, (Hasyiyah Al-Bujairimy ‘Ala Al-Khothib , vol.4, hlm 156)
Termasuk pula Abdul Hamid Al-Makky As-Syirwani dalam Hawasyi As –Syirwany:
( سنن كثيرة ) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
Ada banyak sunnah, diantaranya; berniat bersama awal setiap sunnah-sunnah yang telah dikemukakan sebelumnya saat membasuh wajah, sehingga bisa mendapatkan ganjarannya sebagaimana telah dinyatakan. Diantara sunnah-sunnah yang lain; melafalkan sesuatu yang diniatkan agar lisan membantu hati (Hawasyi Asy-Syarwany, vol.1, hlm 240)
Termasuk pula Syihabiddin Al-Qolyuby dan Ahmad Al-Burullusy ‘Amiroh dalam Hasyiyah Al Qolyuby wa ‘Amiroh:
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati (Hasyiyah Qolyuby wa ‘Amiroh, vol.2, hlm 223)
Termasuk pula Syafi’i shoghir Syamsuddin Muhamad bin Abi Al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin Ar-Romly As-Syafi’iy dalam Nihayatul Muhtaj:
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan karena pelafalan tersebut lebih jauh dari was-was, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat (Nihayah Al-Muhtaj, vol.4, hlm 54)
Termasuk pula Mushthofa Al-Bugho dan Mushthofa Al-Khin dalam Al-Fiqhul Manhajy:
ويسن أن يتلفظ بلسانه
Disunnahkan melafalkan niat dengan lisannya (Al-Fiqh Al-Manhajy ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’I, vol.1, hlm 94)
Termasuk pula Abdullah Abdurrohman Bafadhil Al-Hadhromy dalam Muqoddimah Al-Hadhromiyyah:
ويسن التلفظ بالنية قبيل التكبير واستصحابها
Disunnahkan melafalkan niat sesaat sebelum takbir dan menyertakannya (Muqoddimah Al-Hadhromiyyah, hlm 66)
Termasuk pula Ahmad bin Abdurrozzaq bin Muhammad bin Ahmad Al-Maghriby Ar-Rosyidy dalam Hasyiyah Al-Maghriby:
لا يخفى أن حكم التلفظ بالنية مساعدة اللسان القلب
Tidak ada kesamaran bahwa hukum melafalkan niat adalah agar lisan membantu hati (Hasyiyah Al-Maghriby ‘Ala Nihayah Al-Muhtaj)
Termasuk pula Ibnu Ruslan dalam Syarah Kitab Ghoyah Al Bayan:
يسن التلفظ بالنية
Disunnahkan melafalkan niat (Syarah Kitab Ghoyah Al-Bayan, Syarah Ibnu Ruslan, vol.1, hlm 91)
Termasuk pula Sa’id bin Muhammad Ba’aly Ba’isyan Ad-Dau’any Ar-Ribathy Al-Hadhromy dalam Syarah Al Muqoddimah Al Hadhromiyyah:
(و) يسن (التلفظ بالنية) عقب التسمية؛ ليساعد اللسان القلب.
disunnahkan melafalkan niat setelah membaca basmalah agar lisan membantu hati (Syarh Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah Al Musamma Busyro Al-Karim Bisyarhi Masail At-Ta’lim, hlm 98)
Termasuk pula ‘Alauddin Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman Al-Mardawy Ad-Dimasyqy ash-Sholihy yg bermadzhab Hanbaly dalam Al-Inshof , yang bahkan mengatakan bahwa pendapat yang menganjurkan pelafalan niat adalah tumpuan madzhab seraya menukil bahwa pendapat tersebut juga pendapat Ibnu ‘Ubaidan, Ibnu Tamim, Ibnu Rozin:
لا يستحب التلفظ بالنية على أحد الوجهين وهو المنصوص عن أحمد قاله الشيخ تقي الدين وقال هو الصواب.
الوجه الثاني: يستحب التلفظ بها سرا وهو المذهب قدمه في الفروع وجزم به ابن عبيدان: والتلخيص وابن تميم وابن رزين قال الزركشي هو الأولى: عند كثير من المتأخرين
Dianjurkan untuk melafalkan niat dengan pelan, inilah pendapat madzhab (Hanbaly). Statemen ini dikemukakan pengarang dalam kitab Al-Furu’ dan yang ditegaskan Ibnu ‘Ubaidan, At-Talkhish, Ibnu Tamim dan Ibnu Rozin. Az-Zarkasyi berkata; Itulah pendapat yang utama menurut mayoritas muta-akh-khirin (Al-Inshof, vol.1, hlm 110)
Termasuk pula Ibnu Abi Taghlib Abdul Qodir bin Umar Asy-Syaibany At-Taghliby dalam Nailul Ma-Arib:
(النطق بها) أي النية (1)./ (سراً) أي ليوافق اللسان القلب
(Diantara sunnah-sunnah) Melafalkan niat secara pelan, agar lisan sesuai dengan hati (Nailu Al-Ma’arib bisyarhi Dalili Ath-Tholib, vol1, hlm 65)
Termasuk pula Mushthofa As-Suyuthy Ar-Ruhaibany dalam Matholib Ulin Nuha:
( وَسُنَّ لَا لِنَحْوِ مُفَارِقٍ ) لِإِمَامِهِ ( فِي أَثْنَاءِ صَلَاةٍ ) كَمُعْتَكِفٍ نَوَاهُ وَهُوَ يُصَلِّي ، ( نُطْقٌ بِهَا ) – أَيْ : النِّيَّةِ – ( سِرًّا فِي كُلِّ عِبَادَةٍ ) ، كَوُضُوءٍ وَصَلَاةٍ وَتَيَمُّمٍ وَنَحْوِهَا ، لِيُوَافِقَ فِعْلُ اللِّسَانِ الْقَلْبَ .
Disunnahkan untuk mengucapkan niat -bukan untuk orang seperti yang hendak meninggalkan imam/mufaroqoh saat shalat, seperti orang yang beri’tikaf yang meniatkan I’tikaf pada saat shalat- secara pelan pada setiap ibadah seperti wudhu, shalat, tayammun dan yang semisal, agar perbuatan lisan sesuai dengan hati (Matholib Uli An-Nuha, vol.1, hlm 238)
Demikian pula At-Tilmisany. Dalam kitab-kitab Hasyiyah Al-‘Adawy disebutkan;
إنَّ النُّطْقَ أَفْضَلُ فَقَدْ قَالَ التِّلْمِسَانِيُّ فِي بَابِ الصَّلَاةِ : إنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ أَفْضَلُ .
Melafalkan niat lebih afhol. At-Tilmisany berkata dalam bab shalat: sesungguhnya pelafalan niat adalah lebih afdhol (Hasyiyah Al-Adawy, vol.2, hlm 123)
Demikian pula Al-Buhuty dalam Syarah Muntahal Irodat dan Kasyyaful Qina’ :
فَتُجْزِئُ وَإِنْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَلَا يَضُرُّ سَبْقُ لِسَانِهِ بِغَيْرِ قَصْدِهِ وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
Melafalkan apa yang diniatkan adalah bentuk Ta’kid/penguatan (Syarh Muntaha Al-Irodat, vol.1, hlm 393)
( يُسَنُّ النُّطْقُ بِهَا سِرًّا ) لِمَا تَقَدَّمَ ( فَجَعَلَاهُ سُنَّةً وَهُوَ سَهْوٌ ) عِنْدَ مَنْ يُفَرِّقُ بَيْنَ الْمَسْنُونِ وَالْمُسْتَحَبِّ كَمَا يُعْلَمُ مِنْ كَلَامِهِ فِي حَاشِيَةِ التَّنْقِيحِ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا فَفِي كَلَامِهِ نَظَرٌ وَاضِحٌ وَعَلَى فَرْضِ أَنْ لَا يَكُونَ هُوَ الصَّحِيحَ فَلَا يَنْبَغِي نِسْبَتُهُمَا إلَى السَّهْوِ لِجَلَالَتِهِمَا وَتَحْقِيقِهِمَا لِلِاخْتِلَافِ فِيهِ
Disunnahkan melafalkan niat dengan pelan (Kasy-syafu Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vil.1, hlm 255)
وَاسْتَحَبَّهُ ) أَيْ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ ( سِرًّا مَعَ الْقَلْبِ كَثِيرٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ) لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
Mayoritas mutakh-khirin menganjurkan pelafalan niat dengan pelan bersama hati, agar lidah sesuai dengan hati (Kasy-syaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol.1, hlm 255)
Dengan banyaknya ulama dari berbagai madzhab yang tidak mengharamkan pelafalan niat seperti ini, wajar jika Wahbah Az-Zuhaily mengatakan bahwa bolehnya pelafalan niat adalah pendapat jumhur. Beliau berkata;
يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها
Jumhur ulama selain Malikiyyah mensunnahkan melafadzkan niat untuk membantu hati dalam menghadirkan niat (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, vol.1 hlm 137)
Ibnu Taimiyyah juga mengakui adanya sejumlah ulama yang berpendapat bahwa pelafalan niat adalah Mustahabb (dianjurkan). Dalam Majmu’ Al-Fatawa dinyatakan;
فَقَالَ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ: يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا ؛ لِكَوْنِهِ أَوْكَدَ ؛
Sejumlah ulama dikalangan murid-murid Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad berkata, “Dianjurkan untuk melafadzkan niat, karena hal itu lebih kuat/mantap.” (Al-Fatawa Al-Kubro, vol. 2, hal 95)
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni bisa difahami termasuk yang memubahkan atau malah memandangnya baik karena mensifati pelafalan sebagai Ta’kid.
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Jika melafalkan apa yang diniatkan maka hal itu menjadi Ta’kid/penguat (Al-Mughni, vol2, hlm 319)
Abu Al-Barokat Ahmad bin Muhamad Al-Adawy Ad-Dardir yang bermadzhab maliki termasuk memubahkan. Beliau berkata;
(ولفظه) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول: نويت صلاة فرض
الظهر مثلا (واسع) أي جائز بمعنى خلاف الاولى،
Melafalkannya, yakni pelafalan orang yang sholat dengan lafadz ayang bermakna niat misalnya mengucapkan: Nawaitu Sholata Fardhi Adh-Dhuhri, adalah perkara yang luas. Maksudnya boleh, dengan makna berbeda dengan yang lebih utama (As-Syarhu Al-Kabir Lid-Dardir, vol.1, hlm 233)
Termasuk pula Muhammad Al-‘Aroby Al-Qorowy dalam Al-Khulashoh al-Fiqhiyyah
ويجوز التلفظ بها والأولى تركه في صلاته وغيرها
boleh melafalkan niat, namun yang lebih utama meninggalkannya baik dalam shalat maupun selain shalat (Al-Khulashoh Al-Fiqhiyyah ‘Ala Madzhab As-Sadah Al-Malikiyyah, hlm 67)
Termasuk pula Ahmad bin Ghunaim bin Salim An-Nawrowy dalam Al-Fawakih Ad-Dawany:
ولو قال: نويت الوضوء الذي أمر الله به صح، ومحل النية القلب فلا يشترط التلفظ بها
Seandainya mengucapkan “Nawaitul Wudhu’ Alladzi Amarallahu Bihi, maka niat tersebut sah. Tempat niat adalah hati, jadi melafalkannya tidak disyaratkan. (Al-Fawakih Ad-Dawany, vol.1, hlm 403)
Termasuk pula Ahmad bin Muhammad As-Showy dalam Hasyiyah Ash-Showy, ‘Ala Asy-Syarh Ash-Shoghir:
وَجَازَ التَّلَفُّظُ بِهَا
Boleh melafalkan niat (Hasyiyah Ash-Showy, ‘Ala Asy-Syarh Ash-Shoghir, vol.2, hlm 4)
Al-Hashfaky dalam Ad-Durrul Mukhtar bisa difahami termasuk yang memubahkan pelafalan karena beliau menyebut statusnya antara sunnah dan makruh:
( والجمع بين نية القلب وفعل اللسان ) هذه رتبة وسطى بين من سن التلفظ بالنية ومن كرهه لعدم نقله عن السلف
Menggabung antara niat hati dengan ucapan lisan. Ini adalah tingkatan pertengahan antara orang yang mensunnahkan pelafalan niat dengan orang yang tidak menyukainya dengan alasan tidak ada riwayat dari salaf (Ad-Durru Al-Mukhtar, vol.1, hlm 127)
Penutup
Dari sini bisa difahami, bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah mubah karena dalil menunjukkan kemubahannya. Banyak ulama berbagai madzhab yang juga tidak melarang pelafalan tersebut, bahkan mereka adalah Jumhur ulama. Namun pendapat yang mensunnahkan atau mengharamkan adalah pendapat yang Islami juga karena didasarkan pada dalil atau syubhatud dalil sehingga bisa diikuti oleh kaum muslimin yang sepakat dengan cara Istinbath (penarikan kesimpulan hukum)nya. Diantara ulama yang berpendapat haramnya pelafalan niat adalah Ibnu Taimiyah,Ibnu Qoyyim, al Hajjawy Al-Albany, Ibnu Baz, ibnu ‘Utsaimin, Sholih Al-Fauzan, Ibnu Jibrin, Sa’duddin Al-Kabby, Abdul Muhsin ‘Abbad, dan Masyhur Hasan Salman.
Boleh berbeda pendapat, namun harom mengejek ulama. Pemilihan pendapat yang menjadi ukuran adalah kekuatan dalil, namun penyikapan terhadap ikhtilaf ulama adalah masalah adab/tata krama, moral, dan akhlak. Pembahasan Syariat harus dibahas dalam kapasitas jalan menuju Allah, bukan alat debat kusir, alat kesombongan, meremehkan orang lain, ghurur, ujub, dan memamerkan pengetahuan. Semoga Allah menuntun kita semua ke jalan yang paling dekat dengan ketakwaan dengan ilmu yang benar. Wallahua’lam.
*********************************************************************
>Syadzarot Aqwal;
قال الامام الحافظ أبو القاسم بن عساكر رحمه الله: اعلم يا أخى وفقني الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يخشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة، وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة، وأن من أطلق لسانه في العلماء بالثلب، بلاه الله قبل موته بموت القلب
Al-Imam Al-Hafidz Abu Al-Qosim ibnu ‘Asakir rahimahullah berkata;
“Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah memberi taufiq kepadaku dan kepadamu untuk menggapai ridhaNya dan menjadikan kita termasuk orang yang takut kepadaNya dan bertakwa kepadanya dengan sebenar-benar ketakwaan: Sesungguhnya daging para ulama itu beracun. Kebiasaan Allah yang membongkar aib orang-orang yang merendahkan mereka telah diketahui. Barang siapa yang enteng melepaskan lisannya untuk memburukkan ulama, maka Allah akan memberi bala’ kepadanya sebelum kematian dengan kematian hati (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadz-dzab, vol.1, hlm 24)
Disalin dari artikel lengkap kami pada tautan berikut ini