Oleh Ustadz Muafa
Adapun pendapat yang mewajibkan pelafalan niat, maka pendapat ini lebih jauh lagi untuk bisa diterima. Karena tidak ada dalil yang dipakai untuk menunjukkan kewajibannya. Referensi-referensi fikih yang membahas masalah pelafalan niat menyebutkan bahwa ulama yang mewajibkan pelafalan niat hanyalah Abu Abdillah Az-Zubairy. Itupun didasarkan penafsiran terhadap statemen Asy-Syafi’i, bukan didasarkan pada dalil. Ucapan manusia, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan, memakruhkan atau memubahkan sesuatu. Lagipula ulama-ulama Syafi’iyyah sendiri telah mengkritik pendapat Az-Zubairy tersebut, karena dipandang keliru menafsirkan ucapan As-Syafi’i. An-Nawawy berkata;
قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami (dengan madzhab Syafi’i) mengatakan; Yang berpendapat seperti ini (mewajibkan pelafalan niat) telah keliru. Maksud Syafi’I dengan Nuthq/pelafalan di dalam shalat bukanlah ini (pelafalan niat), tetapi, maksudnya adalah Takbir (Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Adapun pendapat yang mensunnahkan pelafalan niat, maka dalil yang digunakan lebih dekat difahami mubah daripada sunnah. Pelafalan niat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saat berhaji misalnya, lebih dekat difahami mubah karena dhohir hadis tersebut , Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat haji untuk mengajari kaum muslimin. Hal itu dikarenakan haji dan umroh dari segi niat memiliki aturan tersendiri yang tidak sama dengan ibadah yang lain, misalnya haji dan umroh bisa digabung dalam satu niat dengan konsekuensi yang berbeda jika niat haji dan umroh tidak disatukan. Niat menggabung seperti ini tidak diketahui jika tidak diajarkan dengan pelafalan. Ibnu Umar, dalam atsar yang dinukil Ibnu Rojab, tidak mengingkari jika orang memaksudkan untuk mengajari. Sikap ibnu Umar ini lebih dekat difahami bahwa pelafalan niat untuk mengajari hukumnya mubah.
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari orang-orang? bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu? (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Ibnu Qudamah mensifati pelafalan niat untuk berkurban dengan sebutan Hasan. Hasan di sini lebih dekat difahami mubah yang baik bukan sunnah. Beliau berkata;
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ، وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih mengucapkan; Ini kurban untuk… dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal tersebut adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan (Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Menurut Al-Adzro’y, tidak ada dalil kesunnahan melafalkan niat.
قَالَ الْأَذْرَعِيُّ : وَلَا دَلِيلَ لِلنَّدَبِ
Al-Adzro’iy berkata: tidak ada dalil bagi anjuran melafalkan niat (Mughni Al-Muhtaj, vol.2, hlm 248)
Adapun alasan mensunnahkan yang menjelaskan bahwa pelafalan bisa membantu memantapkan hati dan melibatkan dua anggota tubuh yakni hati dan lisan sehingga lebih afdhol dibandingkan hanya melibatkan satu anggota tubuh yakni hati saja, maka ini semua adalah Ta’lil ‘Aqli (alasan nalar) sehingga tidak bisa menjadi dalil.
Lagipula sejumlah ulama menjelaskan bahwa maksud sunnah melafalkan niat bukanlah sunnah syar’I, tetapi sunnah masyayikh, yakni sesuatu yang mubah yang dipandang baik karena membantu pelaksanaan ibadah. Zainuddin Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahru Ar-Roiq;
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pelafalan niat adalah bid’ah hasanah ketika yang jadi maksud adalah mengokohkan tekad.. mungkin yang berpendapat hukumnya sunnah adalah memaksudkan makna Thoriqoh hasanah/cara yang baik, bukan memaksudkan sunnah Nabi (yang mendapatkan ganjaran ketika melakukannya) (Al-Bahru Ar-Ro-iq, vol. 1 hlm 293)
Muhammad bin Framuz Munalla Khusru dalam Duroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam juga berkata;
وَالتَّلَفُّظُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ ) يَعْنِي طَرِيقٌ حَسَنٌ أَحَبَّهُ الْمَشَايِخُ لَا إنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ
Melafalkan niat dianjurkan, yakni cara yang baik yang disukai para syaikh, bukan sunnah yang mendapat pahala (Duroru Al-Hukkam Syarhu Ghurori Al-Ahkam, vol.1, hlm 283)
Ahmad bin Muhammad bin Isma’il At-Thohawy dalam Hasyiyah Aththohawy ‘Ala Maroqil Falah berkata;
إلا أن التلفظ بها سنة كما في الحدادي أي سنة المشايخ كما في تحفة الأخيار
Hanya saja, melafalkan niat adalah sunnah sebagaiman dalam kitab Al-Haddady, artinya sunnah para Syaikh (bukan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ), sebagaimana dalam kitab Tuhfah Al-Akhyar (Hasyiyah Ath-Thohawy ‘Ala Maroqi Al-Falah, hlm 427)
Ibnu ‘Abidin berkata dalam Hasyiyah Ibni ‘Abidin:
قوله ( هذه ) أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوبا لا سنة ولا مكروها
Adapun statemennya “Ini”, maka yang dimaksud adalah metode yang ditempuh oleh penulis hingga menyimpulkan yang menjadikan pelafalan niat sebagai sesuatu yang dianjurkan. Bukan sunnah, bukan pula makruh. (Hasyiyah Ibni ‘Abidin, vol. 1 hlm 127)
Bersambung ke artikel terakhir, daftar nama para ulama yang tidak melarang pelafalan niat