Dijawab oleh Ust. Muafa
Pertanyaan
Dulu saya pernah mempelajari beberapa contoh perbedaan Qiro’at yang tujuh. Subhanallah begitu kayanya perbendaraan tsaqofah islam. Namun yang menjdi pertanyaan saya bolehkah kita mengkombinasikan lebih dari satu Qiro’at dalam satu surat?misalkan dalam ayat satu kita menggunakan Qiro’at ‘ashim, ayat kedua membaca dalam Qiro’at ibnu katsir, dan seterusnya?karena saya pernah diberitahu bahwa yang demikian itu tidak diperbolehkan. Hanya saja saya belum mendapatkan dasar hukumnya. Mohon kiranya ustadz berkenan untuk menjelaskan hal tersebut.
Yuli- Alumnus Ma’had Abdurrahman bin ‘Auf
Jawaban
Tidak mengapa mengkombinasikan berbagai variasi bacaan/Qiro’at Al-Qur’an yang Mutawatir pada saat Tilawah, tanpa membedakan apakah Tilawah tersebut di dalam Shalat ataukah diluar Shalat, dalam satu Rokaat ataukah dalam dua Rokaat asalkan kombinasi variasi Qiro’at tersebut dibaca dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat Qiro’at. Namun, jika kombinasi variasi Qiro’at tersebut membuat makna menjadi rusak, atau membuat adanya penambahan lafadz Al-Qur’an, maka yang demikian terlarang.
Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;
عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan Tujuh huruf yang berbeda).” (H.R. Bukhari)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan Al-Qur’an kepada para shahabat dengan tujuh huruf itu untuk memudahkan mereka dalam membaca, karena para shahabat terdiri dari berbagai macam kabilah yang mana dialek satu kabilah kadang berbeda dengan dialek kabilah yang lain.
Dengan adanya aktivitas penyebaran Al-Qur’an, periwayatan dan seleksi terhadap riwayat-riwayat bacaan Al-Qur’an maka para ulama merumuskan bahwa Qiro’at Al-Qur’an yang Mutawatir (yang tercakup dalam kandungan maka hadis bahwa Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf) jumlahnya ada sepuluh yaitu Qiro’at Imam Nafi’ (wafat 169 H), Ibnu Katsir (wafat 120 H), Abu ‘Amr (wafat 154 H), Ibnu ‘Amir (wafat 118 H), ‘Ashim (wafat 127 H), Hamzah (wafat 156 H), Al-Kisa’I (wafat 189 H), Abu Ja’far (wafat 130 H), Ya’qub Al-Hadhromy (wafat 205 H), dan Kholaf Al-Bazzar (wafat 229 H). Tujuh Qiro’at Imam yang pertama yaitu Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir , ‘Ashim, Hamzah, dan Al-Kisa’I disebut dengan istilah Qiro’at Sab’ah/ اْلقِرَاآتُ السَّبْعَةُ (Qiro’at yang tujuh) sementara Qiro’at tujuh Imam ini ditambah tiga Imam sisanya yaitu Abu Ja’far, Ya’qub Al-hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar disebut dengan istilah Qiro’at ‘Asyroh/ اْلقِرَاآتُ اْلعَشْرُ (Qiro’at yang sepuluh). Sepuluh macam Qiro’at ini boleh dibaca berdasarkan Qiro’at masing-masing Imam maupun dikombinasikan antara satu Qiro’at dengan Qiro’at yang lainnya.
Dalil yang menunjukkan bolehnya mengkombinasikan Qiro’at adalah hadis berikut ini:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا
Dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sungai kecil Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.” (H.R. Muslim)
Ucapan malaikat jibril yang disampaikan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar.”
Ucapan tersebut menunjukkan yang jadi standar kebolehan membaca Qiro’at Al-Qur’an adalah pembuktian bahwa bacaan Qiro’at tersebut termasuk tujuh huruf. Selama bisa dibuktikan bahwa suatu Qiro’at memang benar didapatkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berarti Qiro’at tersebut termasuk tujuh huruf yang diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jika suatu Qiro’at telah terbukti termasuk tujuh huruf maka membacanyapun bisa dibenarkan. Tidak ada syarat dalam Nash bahwa Qiro’at yang dibaca haruslah yang diriwayatkan satu jalur saja. Penegasan bahwa huruf manapun yang dipakai untuk membaca bisa dibenarkan menunjukkan bahwa mengkombinasikan bacaan Qiro’at termasuk bisa dibenarkan karena bermakna membaca Al-Qur’an dengan huruf-huruf yang diturunkan Allah.
Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari` bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin segera menyergapnya di dalam Shalat, namun aku menunggunya hingga selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya seraya bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf, karena itu bacalah mana yang mudah darinya.” (H.R. Bukhari)
Sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
bacalah mana yang mudah darinya.”
Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut lebih jelas lagi bahwa yang jadi standar adalah Qiro’at yang mudah bagi seorang Mukallaf. Jadi, selama suatu Qiro’at telah bisa dibuktikan bahwa memang Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (tanpa memperdulikan Imam siapapun yang mengajarkannya) maka itu semua adalah Al-Qur’an dan seorang Mukallaf boleh memilih membaca dengan mencukupkan diri pada Qiro’at satu Imam, atau mengkombinasikan varisi bacaan berbagai Imam. Semuanya boleh karena tetap merealisasikan perintah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca Al-Qur’an dengan Qiro’at yang dipandang mudah bagi Mukallaf.
Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas yang memerintahkan agar terikat dengan Qiro’at salah satu Imam. Sudah diketahui bahwa di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak ada istilah Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dll..istilah-istilah tersebut muncul sebagai hasil proses perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu islam yang muncul untuk menjaga, memerinci, mengklasifikasi, mensistematisasi, dan memperdalam ajaran islam yang terpancar dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membaca Al-Qur’an hanya satu yang dibuktikan: Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , sebagaimana tampak pada peristiwa perselisihan antara Umar bin Al-Khatthab dan Hisyam bin Hakim bin Hizam, baik pembuktian itu dengan mengkonfirmasi langsung pada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ maupun dengan kepercayaan terhadap shahabat-shahabat besar yang mengajarkannya.
Sejarah para Imam Qiro’at dalam mempelajari ilmu Qiro’at dan mengajarkannya juga menunjukkan bahwa standar mereka dalam menerima Qiro’at dan membacanya adalah pembuktian bahwa Qiro’at tersebut memang berasal dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Setelah belajar pada puluhan guru, maka mereka menyimpulkan bacaan Qiro’at yang dipandang paling kuat riwayatnya kemudian baru diajarkan tanpa pernah ada fikiran terikat dengan Qiro’at guru tertentu. Riwayat belajat Imam Nafi’ misalnya menunjukkan hal tersebut. Adz-Dzahabi menulis;
وَرَوَى: إِسْحَاقُ المُسَيِّبِيُّ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: أَدْرَكْتُ عِدَّةً مِنَ التَّابِعِيْنَ، فَنَظَرْتُ إِلَى مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ اثْنَانِ مِنْهُم، فَأَخَذتُهُ، وَمَا شَذَّ فِيْهِ وَاحِدٌ تَرَكتُهُ، حَتَّى أَلَّفْتُ هَذِهِ القِرَاءةَ.
“Ishaq Al-Musayyiby meriwayatkan dari Nafi’ beliau berkata: Aku sempat bertemu (untuk belajar Qiro’at) dengan sejumlah Tabi’in. Maka aku melihat Qiro’at yang disepakati oleh dua orang diantara mereka, lalu aku mengambilnya. Yang hanya diriwayatkan satu orang maka aku tinggalkan. Hingga aku menetapkan Qiro’at (yang aku ajarkan) ini” (Siyari A’lami An-Nubala’, vol 7 hlm 337)
Konon Imam Nafi’ belajar pada sekitar 70 Tabi’in. Tidak semua Qiro’at gurunya diambil. Penuturan beliau sendiri, Qiro’at yang beliau ambil adalah Qiro’at yang disepakati dua guru. Yang hanya diriwayatkan satu guru tidak diambil. Dengan model seleksi seperi inilah Imam Nafi’ menetapkan bacaannya yang kemudian terkenal dengan nama Qiro’at Imam Nafi’.
Kebolehan mengkombinasi variasi-variasi Qiro’at ini tidak membedakan apakah dilakukan di dalam Shalat maupun di luar Shalat, juga tidak membedakan apakah dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua Rokaat. Hal itu dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan kondisi antara di dalam Shalat ataukah di luar Shalat dan dalam satu Rokaat ataukah dalam dua Rokaat. Karena itu, ketentuannya kembali ke hukum asal, yakni keumuman bolehnya membaca Al-Qur’an dalam tujuh huruf manapun yang dipandang paling mudah bagi Mukallaf.
Ibnu Taimiyah berkata;
يَجُوزُ أَنْ يَقْرَأَ بَعْضَ الْقُرْآنِ بِحَرْفِ أَبِي عَمْرٍو، وَبَعْضَهُ بِحَرْفِ نَافِعٍ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ أَوْ رَكْعَتَيْنِ، وَسَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ الصَّلَاةِ أَوْ دَاخِلَهَا
“boleh membaca sebagian Al-Qur’an dengan huruf (Qiro’at) Abu ‘Amr sementara sebagian yang lainnya dengan huruf (Qiro’at) Nafi’. Tidak dibedakan apakah hal tersebut dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua Rokaat, dan juga tidak dibedakan apakah dilakukan di luar Shalat ataukah di dalamnya ” (Al-Fatawa Al-Kubro, vol 2 hlm 186)
Ibnu Al-‘Aroby juga berkata dalam kitabnya Ahkamu Al-Qur’an;
إذَا ثَبَتَتْ الْقِرَاءَاتُ ، وَتَقَيَّدَتْ الْحُرُوفُ فَلَيْسَ يَلْزَمُ أَحَدًا أَنْ يَقْرَأَ بِقِرَاءَةِ شَخْصٍ وَاحِدٍ ، كَنَافِعٍ مِثْلًا ، أَوْ عَاصِمٍ ؛ بَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْرَأَ الْفَاتِحَةَ فَيَتْلُو حُرُوفَهَا عَلَى ثَلَاثِ قِرَاءَاتٍ مُخْتَلِفَاتٍ ؛ لِأَنَّ الْكُلَّ قُرْآنٌ
Jika Qiro’at-Qiro’at telah terbukti (dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) dan (variasi-variasi) hurufnya telah terkontrol, maka tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk membaca hanya dengan Qiro’at satu orang (Imam) saja, misalnya Nafi’ atau ‘Ashim. Bahkan boleh membaca Al-Fatihah lalu membaca huruf-hurufnya dengan tiga macam Qiro’at yang berbeda, karena semuanya adalah Al-Qur’an” (Ahkamu Al-Qur’an, vol 4 hlm 477)
Hanya saja, kebolehan mengkombinasikan berbagai variasi Qiro’at tersebut diikat syarat dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat. Jika pembacaan Qiro’at kombinasi tersebut dilakukan dalam kapasitas riwayat (meriwayatkan bacaan Qiro’at) maka hal tersebut hukumnya haram, karena termasuk dusta, yakni menisbatkan bacaan Qiro’at yang tidak pernah dimiliki Imam tertentu.
Namun, jika kombinasi Qiro’at tersebut merusak makna, maka hal tersebut hukumnya haram karena Al-Qur’an telah turun dengan makna yang sempurna. Jika kombinasi bacaan Al-Qur’an ternyata mengubah makna, maka bacaan tersebut tidak bisa disebut Al-Qur’an dan tidak bisa dikatakan bacaan yang bersifat Tauqifi. Sebagai contoh misalnya bacaan dalam ayat surat Al-Baqoroh berikut ini;
“maka Adam menerima dari Robbnya kalimat-kalimat” (Al-Baqoroh; 37)
Ayat dalam surat Al-baqoroh di atas, menurut Qiro’at ‘Ashim dibaca dengan merofa’kan lafadz Adam/ آدَم (mendhommahkan huruf terakhirnya) dan menashobkan lafadz Kalimat/ كَلِمَات(mengkasrotainkan huruf terakhirnya) . Namun, menurut Qiro’at Ibnu Katsir, ayat di atas dibaca dengan menashobkan lafadz Adam/ آدَم (memfathahkan huruf terakhirnya) dan merofa’kan lafadz Kalimat/ كَلِمَات (mendhommatainkan huruf terakhirnya) sehingga menjadi dibaca;
“maka kalimat-kalimat dari Robbnya mendapati Adam” (Al-Baqoroh; 37)
Jika variasi bacaan-bacaan ini dikombinasikan, dengan cara lafadz Adam/ آدَم dibaca dengan Rofa’ dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca dengan Rofa’ sehingga ayatnya menjadi berbunyi;
Atau dikombinasikan dengan cara lafadz Adam/ آدَم dibaca dengan Nashob dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca dengan Nashob sehingga ayatnya menjadi berbunyi;
Maka kombinasi seperti ini menjadi terlarang karena jelas merusak makna. Bahasa Arab tidak bisa mentoleransi I’rob seperti itu karena bermakna menjadikan dua lafadz sama-sama sebagai Fa’il (pelaku) atau Maf’ul bih (obyek penderita).
Termasuk juga terlarang jika kombinasi tersebut membuat adanya penambahan lafadz Al-Qur’an. Misalnya ayat dalam surat Al-Fatihah berikut ini;
“yang menguasai hari pembalasan” (Al-Fatihah; 4)
Lafadz malik/ مَالِكِ menurut Qiro’at ‘Ashim, Al-Kisai, Ya’qub Al-Hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar dibaca dengan memunculkan Alif (ada Maddnya), namun Qiro’at Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah dan Abu Ja’far membaca dengan membuang Alif sehingga menjadi;
Jika dua Qiro’at ini dikombinasikan dengan membaca dua-duanya dalam satu ayat, misalnya membaca;
Maka cara kombinasi seperti ini terlarang karena bermakna menambahi lafadz Al-Qur’an sehingga tidak bisa disebut Al-Qur’an. Dikecualikan jika pembacaan tersebut untuk maksud mengajar atau belajar, bukan Tilawah. Jika dimaksudkan untuk mengajar atau menghafal dalam konteks belajar, maka hal tersebut boleh sebagai salah satu uslub/teknik mengefektifkan aktivitas belajar- mengajar.
Ibnu Al-Jazary berkata dalam kitabnya An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr;
إن كانت إحدى القراءتين مترتبة على الأخرى فالمنع من ذلك منع تحريم كمن يقرأ ( فتلقى آدم من ربه كلمات ) بالرفع فيهما أو بالنصب آخذا رفع آدم من قراءة غير ابن كثير ورفع كلمات من قراءة ابن كثير ونحو ( وكفلها زكريا ) بالتشديد مع الرفع أو عكس ذلك ونحو ( أخذ ميثاقكم ) وشبهه مما يركب بما لا تجيزه العربية ولا يصح في اللغة ، وأما ما لم يكن كذلك فإنا نفرق فيه بين مقام الرواية وغيرها ، فإن قرأ بذلك على سبيل الرواية فإنه لا يجوز أيضاً من حيث إنه كذب في الرواية وتخليط على أهل الدراية ، وإن لم يكن على سبيل النقل بل على سبيل القراءة والتلاوة فإنه جائز صحيح وقبول لا منع منه ولا حظر وإن كنا نعيبه على أئمة القراءات العارفين باختلاف الروايات من وجه تساوي العلماء بالعوام لا من وجه أن ذلك مكروه أو حرام ، إذ كل من عند الله نزل به الروح الأمين على قلب سيد المرسلين تخفيفا عن الأمة ، وتهوينا على أهل هذه الملة ، فلو أوجبنا عليهم قراءة كل رواية على حدة لشق عليهم تمييز القراءة الواحدة وانعكس المقصود من التخفيف وعاد بالسهولة إلى التكليف
(dalam mengkombinasikan Qiro’at) Jika salah satu Qiro’at berefek bagi Qiro’at yang lain (mengubah makna), maka larangan terhadap Qiro’at demikian adalah larangan yang bersifat haram sebagaimana orang yang membaca ayat فتلقى آدم من ربه كلمات dengan merofa’kan lafadz آدم dan كلمات atau menashobkan keduanya,dengan mendasarkan Qiro’at yang merofa’kan lafadz آدم dari (Imam-Imam Qiro’at) selain Ibnu Katsir sementara merofa’kan lafadz كلماتdengan mengambil Qiro’at Ibnu Katsir. Juga seperti ayat وكفلها زكريا dengan mentasydidkan (huruf Fa’) disertai (I’rob) Rofa’ atau sebaliknya. Juga seperti ayat أخذ ميثاقكم dan semisalnya, yakni dengan kombinasi yang tidak bisa dibenarkan oleh bahasa Arab, dan tidak benar secara bahasa. Jika (kombinasinya) tidak demikian, maka kami membedakan antara konteks riwayat dan selainnya. Jika membaca (kombinasi) tersebut dalam konteks meriwayatkan (Qiro’at) maka hal itu juga tidak boleh karena hal tersebut termasuk kedustaan dan mengacaukan orang yang memahami ilmu ini. Jika membaca (kombinasi) tersebut dalam konteks Tilawah maka hal itu boleh, sah dan diterima tidak ada yang melarang. Meskipun kami memandang tidak baik jika hal itu dilakukan Imam-Imam Qiro’at yang mengetahui perbedaan-perbedaan riwayat. Kritikan ini dari segi kesamaan para Imam tersebut dengan orang awam, bukan dari segi bahwa hal tersebut makruh atau haram. Karena semuanya berasal dari Allah yang diturunkan malaikat Jibril kepada hati Sayyidil Mursalin (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) untuk meringankan umatnya dan memudahkan pemeluk Millah ini. Jika kami mewajibkan kepada mereka membaca Qiro’at setiap riwayat secara tersendiri, maka aktivitas membedakan Qiro’at tersebut akan menyusahkan mereka. Dengan demikian terjungkirlah maksud meringankan, dan yang mudah kembali menjadi susah” (An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr, vol.1 hlm 30)
Fathy Al- ‘Abidy telah membahas masalah ini secara lebih mendalam dalam karyanya yang hampir mencapai 500 halaman dan menjadi disertasi gelar doktoral beliau dengan judul الْجَمْعُ بِالْقِرَاءَاتِ الْمُتَوَاتِرَةِ . Wallahua’lam.
Disalin dari artikel di blog lama saya disini