Oleh: Ustadz Muafa
Orang yang berkurban maupun wakil orang yang berkurban seperti panitia Idul Adha atau yayasan sosial atau pondok pesantren dan semisalnya tidak boleh menjual kulit hewan kurban, kepalanya, bulunya, dagingnya, termasuk juga aksesori hewan kurban seperti tali kekang, pelana, dan lain-lain.
Dalil yang menunjukkan tidak bolehnya menjual semua bagian hewan kurban yang telah sah dijadikan hewan kurban adalah hadis berikut ini,
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku untuk menangani (menyembelih) unta kurban beliau, menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan aksesorinya, dan (beliau juga memerintahkan agar) aku tidak memberi sedikitpun (daging kurban da aksesorinya) itu kepada tukang jagal’. Ali berkata, ‘kami memberi (upahnya) dari (harta) kami sendiri” (Muslim, juz 6 hlm 470)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah ﷺ melarang membayar jagal dengan daging kurban atau aksesorinya. Hal ini menunjukkan daging kurban tidak bisa lagi diakadkan yang bersifat mu’awadhoh (tukar menukar dengan kompensasi). Oleh karena akad ijaroh tidak boleh memakai iwadh (kompensasi) dengan bagian tubuh hewan kurban, maka akad jual beli juga terlarang karena jual beli juga tergolong mu’awadhoh sebagaimana ijaroh.
Yang menguatkan adalah hadis riwayat Abu Hurairah berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ»
“dari Abu Hurairah , ia berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya maka tidak ada (pahala) kurban baginya” (Al-Mustadrok ‘Ala Ash-Shohihain, juz 2 hlm 422)
Riwayat di atas secara implisit cukup jelas melarang menjual kulit hewan kurban, karena pelanggaran terhadap hal itu membuat ibadah kurban tidak diterima. Hadis ini dihasankankan oleh Al-Albani dalam “Shahih At-Targhib wa At-Tarhib” dan “Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir Wa Ziyadatihi”.
Lagipula hewan kurban adalah harta yang sudah diberikan kepada Allah. Maka itu menjadi hak Allah. Tidak lagi menjadi hak milik bagi orang yang berkurban atau panitia kurban yang menjadi wakil orang yang berkurban. Karena hewan kurban sudah menjadi hak Allah, maka seluruh bagian tubuhnya termasuk aksesorinya harus dibagi kepada orang-orang yang diperintahkan Allah untuk memperolehnya seperti fakir miskin, orang yang menderita, tetangga, kerabat, dan orang-orang yang berharap. Jadi ini seperti wakaf. Apa yang sudah diwakafkan, tidak boleh lagi diperjualbelikan.
Al-Hajjawi berkata,
ولا يبيع جلدها ولا شيئا منها بل ينتفع به
“…tidak (boleh) menjual kulitnya (hewan kurban) dan tidak pula bagian apapun dengan hewan kurban, tetapi (yang boleh adalah) memanfaatkannya (Zadu Al-Mustaqni’ Fi Ikhtishori Al-Muqni’, hlm 96)
Adapun alasan bahwa orang yang berkurban boleh memakan daging kurbannya sendiri, sehingga ini dipahami sebagai kemubahan intifa’, lalu dipahami bahwa intifa’ terhadap kulit dengan cara dijual atau dipakai hukumnya mubah sebagaimana mubahnya intifa’ daging kurban dengan cara dimakan, maka argumentasi ini tidak bisa diterima karena ini adalah qiyas, dan tidak ada qiyas dalam ibadah. Hukum asal daging kurban adalah sah diberikan kepada Allah. Hukum asalnya, berdasarkan hal ini, haram juga bagi orang yang berkurban untuk memakan daging kurbannya. Tetapi karena memang ada dalil yang mengkhususkannya, yakni mubahnya orang berkurban memakan sebagian daging kurban maka hal itu tidak mengapa, yakni hanya untuk makan saja dan tidak boleh diseret lebih jauh kebolehan untuk menjual.
Adapun pendapat yang mengatakan boleh menjual kulit kurban jika diniatkan untuk sedekah, maka ini juga masih berat diterima. Karena persoalannya bukan sekedar bagaimana mencapai target sedekah saja, tetapi yang harus dipastikan adalah bersedekah dengan cara yang dikehendaki syariat. Kisah Umar menunjukkan apa yang telah diniatkan untuk Allah tidak bisa lagi diperjual belikan, meski dengan niat untuk dimanfaatkan lebih baik. Bukhari meriwayatkan,
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
حَمَلْتُ عَلَى فَرَسٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَضَاعَهُ الَّذِي كَانَ عِنْدَهُ فَأَرَدْتُ أَنْ أَشْتَرِيَهُ مِنْهُ وَظَنَنْتُ أَنَّهُ بَائِعُهُ بِرُخْصٍ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تَشْتَرِهِ وَإِنْ أَعْطَاكَهُ بِدِرْهَمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ الْعَائِدَ فِي صَدَقَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“dari Zaid bin Aslam dari bapaknya aku mendengar ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu berkata: “Aku memberi (seseorang) kuda yang untuk tujuan digunakan berperang di jalan Allah lalu orang itu menyia-nyiakannya (tidak memanfaatkan sebagaimana mestinya). Kemudian aku berniat membelinya kembali darinya karena aku menduga di akan menjualnya dengan murah. Lalu aku tanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu membelinya sekalipun orang itu menjualnya dengan harga satu dirham, karena orang yang mengambil kembali shadaqahnya seperti anjing yang menjilat kembali ludahnya”. (H.R. Al-Bukhari, juz 9 hlm 89)
Adapun orang miskin yang menerima daging kurban atau kulit hewan kurban atau kepala hewan kurban atau aksesori hewan kurban, maka boleh baginya untuk menjualnya karena dia telah berhak terhadap hewan kurban tersebut. Dalam hal ini hukumnya tidak bisa disamakan dengan hukum orang yang berkurban atau panitia yang mewakilinya. Sebagai pengayaan, bisa dibaca artikel kami tentang hukum memberi upah jagal kurban dengan kepala, kulit dan semisalnya dalam tautan berikut ini https://irtaqi.net/2017/08/28/bolehkah-memberi-upah-jagal-kurban-dengan-kepala-kulit-dan-semisalnya/ . Wallahua’lam.