Oleh: Ustadz Muafa
Lahn adalah penyimpangan dalam berbahasa Arab karena tidak mengikuti kaidah-kaidah bakunya. Ibnu Faris dalam kitabnya; “Maqoyis Al-Lughoh” mengatakan:
فأمَّا اللَّحْن بسكون الحاء فإمالة الكلامِ عن جهته الصحيحة في العربية. يقال لَحَن لحْنَا
Adapun Lahn-dengan mensukunkan huruf Ha’- maknanya adalah penyimpangan berbahasa dari ketentuannya yang benar dalam bahasa Arab. Diungkapkan dengan Lahana-Lahnan (Maqoyis Al-Lughoh, vol.5, hlm. 193).
Ketika Anda mengatakan –misalnya-
Haadzihii ‘ashootii
Ini adalah tongkatku
Maka kalimat tersebut sudah termasuk Lahn, karena tongkat bahasa Arabnya adalah (عَصَا), bukan (عَصَاةٌ). Jadi kalimat yang benar adalah;
Haadzihii ‘ashooya
Ini adalah tongkatku
sebagaimana dalam Al-Quran;
Demikian pula jika Anda beradzan dengan mengucapkan;
Hayyi ‘alas sholaah
Ayo sholat
Kalimat Anda ini juga termasuk Lahn, karena lafaz (حَيِّ) adalah termasuk Fi’il Jamid yang harus difathah, bukan dikasroh. Jadi kalimat yang benar adalah;
Hayya ‘alas sholaah
Ayo sholat
Dari sini, bisa dipahami bahwa Lahn adalah penyimpangan dalam berbahasa Arab karena tidak mengikuti kaidah-kaidah bakunya tanpa membedakan apakah penyimpangan tersebut adalah kesalahan I’rob, kesalahan Shorof, pembuangan huruf, penambahan huruf, menggunakan kalimat tidak sesuai konteksnya dll. Semua jenis penyimpangan berbahasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Lahn.
Lahn harus diperangi. Jika Lahn tidak diperangi, maka bahasa Arab Fusha (murni) akan menjadi rusak. Jika bahasa Arab murni telah rusak, maka terpasanglah dinding tebal antara umat dengan Al-Quran karena umat tidak akan mampu memahami lagi isi Al-Quran yang berbahasa Arab Fusha. Jika hal ini terjadi, maka bencana besar akan menimpa umat. Umat akan tersesat, mundur, terpuruk, dan tidak bangkit. Mereka akan menjadi kaum yang hanya membanggakan kitab suci tanpa pernah tahu isinya. Mereka hanya akan memahami Al-Quran dengan kaidah percaya yang dikombinasi dengan dugaan-dugaan rapuh. Mereka akan mengulang sejarah Yahudi yang dicela dalam Al-Quran. Allah berfirman;
“Dan di antara mereka ada yang bodoh, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali angan-angan belaka dan mereka hanya menduga-duga” (Al-Baqoroh; 78).
Memerangi Lahn adalah semangat yang mendorong lahirnya cabang-cabang ilmu bahasa Arab. Cabang-cabang ilmu bahasa Arab seperti Nahwu, Shorof, Matnu Al-Lughoh, dll lahir berawal dari keprihatinan munculnya gejala Lahn dalam masyarakat Islam yang bukan Arab asli. Al-Jahidh dalam kitabnya Al-Bayan Wa At-Tabyin menjelaskan, Lahn pertama yang muncul di pedesaan adalah kalimat (هذه عَصَاتِيْ) sementara Lahn pertama yang muncul di Irak (yang mewakili kawasan perkotaan) adalah lafadz Adzan (حَيِّ عَلى الصَّلاَةِ). Al-Jahidh berkata;
“Orang-orang mengatakan: Lahn pertama yang didengar di pedesaan adalah kalimat: هذه عصاتي haadzihii ‘ashootii -ini tongkatku-, dan Lahn pertama yang didengar di Irak adalah kalimat حيِّ على الفلاح hayyi ‘alas sholah –ayo shalat- (Al-Bayan Wa At-Tabyin, hlm. 323).
Ibnu Qutaibah Ad-Dinawary dalam kitabnya Uyunu Al-Akhbar juga mengisahkan bahwa Lahn telah menyusup ke pasar-pasar. Ibnu Qutaibah mengatakan;
Seorang Arab Badui memasuki pasar. Lalu dia mendengar orang-orang melakukan Lahn. Maka dia berkomentar: Subhanallah! Mereka melakukan Lahn dan mendapat untung sementara kami tidak melakukan Lahn dan tidak mendapat untung (Uyunu Al-Akhbar, hlm 197)
Para Muazin juga tidak luput tergelincir dalam Lahn. Ibnu Qutaibah mengatakan;
Seorang Arab badui mendengar seorang Muazin mengucapkan: Asyhadu Anna Muhammadar Rosulallah -dengan memfathahkan Rasul-. Maka dia berkomentar: Ah kamu, melakukan apa? (Uyunu Al-Akhbar, hlm 197)
Lahn juga menyelinap ke Madinah, ibukota Negara Islam waktu itu. Yaqut Al-Hamawy berkata dalam kitabnya Mu’jam Al-Udaba’;
Umar bin Al-Khotthob melewati suatu kaum yang tidak becus memanah. Maka Umar menegur keras mereka. Maka mereka mengatakan: Innaa Qoumun Muta’allimin (harusnya; Innaa Qoumun Muta’allimun)-kami adalah orang-orang yang masih belajar). Maka Umar berpaling dalam keadan marah dan berkata; Demi Allah, kesalahan kalian dalam bahasa kalian lebih berat bagiku daripada kesalahan kalian dalam hal memanah (Mu’jam Al-Udaba’, vol.1, hlm. 1).
Lahn juga mamasuki istana dan menjangkiti putra pejabat negara. Al-Walid, putra Abdul Malik bin Marwan keliru mengucapkan “khotanaka” bukannya “khotanuka” padahal dua lafaz ini berbeda maknanya. Khotanaka bermakna “mengkhitanmu” sementara khotanuka bermakna “iparmu”. Ibnu Abdi Robbihi mengisahkan peristiwa ini dalam kitabnya ‘Al-‘Iqdu Al-Farid;
Seorang laki-laki dari kalangan bangsawan Quraisy menghadap Al-Walid bin Abdul Malik. Maka Al-Walid bertanya: Man Khotanaka –siapa yang menyunatmu-? Maka dia menjawab: Fulan yang beragama Yahudi. Maka Al-Walid berkata: Apa katamu? ah kamu! Dia berkata: Mungkin engkau bertanya tentang Iparku (khotani) wahai Amirul Mukminin. Dia adalah Fulan bin Fulan. Maka Abdul Malik bin Marwan mengatakan; Kecintaan kami kepada Al-Walid menyusahkan kami. Karena kami tidak memaksanya tinggal di pedesaan –sehingga bahasanya bisa menjadi fasih-. (Al-‘Iqdu Al-Farid, vol.1, hlm. 248).
Bahkan, menurut Al-Ashma’i tingkat penyebaran Lahn di zamannya telah mencapai level yang mengkhawatirkan sampai-sampai yang bisa berbahasa Arab Fusha tanpa Lahn hanyalah empat orang: Asy-Sya’by, Abdul Malik bin Marwan, Al-Hajjaj bin Yusuf, dan Ibnu Al-Qirriyah. Dalam Amaly Az-Zajjajy dinyatakan;
Dari Al-Ashma’i, dia berkata; Ada empat orang yang tidak melakukan Lahn baik dalam keseriusan maupun canda: Asy-Sya’by, Abdul Malik bin Marwan, Al-Hajjaj bin Yusuf, dan Ibnu Al-Qirriyyah. Al-Hajjaj adalah yang paling fasih (Amaly Az-Zajjajy, hlm. 5).
Dengan melihat gejala yang mengkhwatirkan ini, maka bangkitlah para ulama untuk menjaga kemurnian bahasa Arab Fusha. Dengan usaha dan jerih payah mereka, lahirlah ilmu-ilmu bahasa Arab untuk mengontrol penggunaan bahasa Arab secara benar. Lahirlah cabang-cabang ilmu bahasa Arab seperti ilmu Nahwu, Shorof, Rasm, Tajwid, Matnu Al-Lughoh, Bayan, Ma’ani, Badi’, ‘Arudh, dan Qofiyah. Dengan ilmu-ilmu ini, maka setiap Lahn akan terlacak dan segera terkoreksi, dan dengan ilmu itu pula terbantulah upaya menjaga kemurnian bahasa Arab Fusha.
Sebagai penutup, berikut ini disajikan sejumlah riwayat yang menunjukkan kebencian generasi awal umat Islam dan generasi sesudahnya terhadap Lahn. Mereka memerangi Lahn dan memandangnya sebagai aib dalam berbahasa Arab.
Abu Bakr berkata: Sungguh, aku membaca lalu aku bingung lebih kusukai daripada aku membaca lalu aku melakukan Lahn (Al-Muzhir Fi Ulum Al-Lughoh Wa Anwa’iha, vol.2, hlm 341).
Orang-orang meriwayatkan bahwa salah satu Wali Umar r.a. menulis surat kepadanya yang mana dia melakukan Lahn dalam surat tersebut. Maka Umar menulis surat kepada Walinya: hukum sekretarismu dengan cambuk (Al-Khoshoish, vol.2, hlm. 8).
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau memukul anaknya karena melakukan Lahn (H.R.Ibnu Abi Syaibah, juz 10 hlm. 457).
Dari ‘Amr bin Dinar bahwasanya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memukul anak-anak mereka karena melakukan Lahn (H.R. Baihaqy dalam Syu’ab Al-Iman, juz 3 hlm. 211).
Menurut Al-Ifrony As-Shoghir dalam kitabnya Fathu Al-Mughits Bihukmi Al-Lahni Fi Al-Hadits hlm. 34, guru-guru di Madinah menghukum satu pukulan untuk kesalahan setoran dan 6 pukulan tuk kesalahan Lahn.
Adalah para guru di Madinah menghukum satu pukulan untuk kesalahan setoran dan enam pukulan tuk kesalahan Lahn (Fathu Al-Mughits Bihukmi Al-Lahni Fi Al-Hadits hlm. 34).
Suatu hari Ar-Rosyid berkata kepada putra-putranya: Tidak akan merugikan seorang pun di antara kalian jika mempelajari bahasa Arab yang akan membenahi bahasanya. Apakah ada di antara kalian yang senang bahasanya seperti bahasa budak laki-lakinya dan budak perempuannya? (Shubhu Al-A’sya, vol.1, hlm. 205).
Jika Lahn saja diperangi dan dibenci di zaman itu, lalu bagaimana dengan kaum muslimin zaman sekarang yang sama sekali tidak mengerti dan tidak mau belajar bahasa Arab? Percayalah, selama kaum muslimin jauh dari bahasa Arab Fusha, maka selama itu pula kaum muslimin akan lemah, mundur, tidak bangkit, bid’ah merajalela, dan ajaran islam akan ditinggalkan.
Semangat belajar bahasa Arab!
Wallahua’lam.