Menjawab dengan dalil bagi seorang dai dan ulama adalah cermin ketakwaan, karena tidak berani berdusta atas nama Allah atau berdusta atas nama Rasulullah.
Bertanya dalil bagi seorang mukmin yang sifatnya seperti Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi (murid Asy-Syafi’i) adalah cermin ketakwaan, karena dalam beramal tidak ingin didasarkan pada hawa nafsu, atau adat istiadat, atau tradisi, atau pertimbangan akal manusia. Beliau dalam beramal benar-benar ingin membuktikan berdasarkan hujjah bahwa Allah ridha dengan amal tersebut, Allah senang dengan amal itu, dan menjanjikan balasan baik bagi siappun yang melakukannya. Dengan kata lain, dalam beramal beliau benar-benar memiliki ihtisab (الاحتساب), yakni beramal atas dasar kesadaran hubungan dengan Allah yang menjanjikan ganjaran atas amal tertentu, atas dasar nur dan petunjuk Allah, dan atas dasar hujjah yang benar.
Suasana seperti inilah yang terjadi dalam majelis-majelis ilmu imam Asy-Syafi’i. Muridnya bertanya dalil atas dasar ketakwaan dan sang guru juga menjawab berdasarkan dalil atas dasar ketakwaan. Berikut ini contoh suasana itu sebagaimana dilukiskan dalam kitab Al-Umm,
“Aku (Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi) bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang sujud pada ayat إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ maka belau menjawab, dalam ayat tersebut (disyariatkan sujud (tilawah). Aku bertanya, “Apa hujjahnya bahwa dalam ayat tersebut ada (syariat) sujud?”. Asy-Syafi’i menjawab, “Malik memberitahu kami dari Abdullah bin Yazid Maula Al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasanya Abu Hurairah membacakan untuk mereka إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ lalu beliau bersujud karena ayat tersebut. Ketika beliau selesai, beliau memberitahu mereka bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sujud karena ayat tersebut” (Al-Umm, juz 7 hlm 212)
Jadi, idealnya seorang dai atau ulama jangan sampai risih apalagi jengkel jika ditagih dan ditanya dalil oleh kaum muslimin yang benar-benar ingin beramal karena Allah. Karena menjelaskan dalil memang menjadi tugasnya. Allah memberi nikmat ilmu kepada seorang dai/ulama untuk diajarkan dan dijelaskan dengan senang hati ketika dibutuhkan. Menolak menjelaskaan dalil suatu permasalahan secara mutlak justru malah berbahaya dalam konteks ketakwaan karena akan memicu taklid buta, menumpulkan nalar kritis islami, dan menyuburkan ashobiyyah golongan.
Hanya saja penyebutan dalil fatwa tidak menjadi keharusan dalam kasus-kasus tertentu seperti dalam hukum peradilan, fatwa cepat, kajian cepat dan semisalnya. Dalam kondisi ini seorang murid harus mengikuti aturan guru, kapan boleh bertanya dalil dan kapan harus menundanya karena terkait dengan manajemen majelis. Nabi Musa diharuskan taat dengan aturan “manajerial” Khodhir sebagai sang guru untuk tidak bertanya sebelum dijelaskan ketika Nabi Musa memohon untuk menimba ilmu kepada beliau.