Oleh : Ust. Muafa
Suku primitif dan mereka yang tinggal di pedalaman yang tak tersentuh dunia modern, jauh dari peradaban, hidup dengan adat istiadat dan sistem kepercayaan sendiri kemudian mati dalam keadaan demikian tanpa mengenal Islam maka status mereka disamakan dengan ahlul fatroh (أهل الفترة). Ahlul fatroh adalah manusia yang hidup tanpa pernah menerima dakwah Nabi/Rasul, terutama mereka yang hidup di masa antara Nabi Isa dengan dibangkitkannya Nabi Muhammad.
Ahlul fatroh dimaafkan seluruh perbuatan mereka di dunia, tidak dihisab, tidak dituntut, tidak diuji dan tidak disiksa berdasarkan keumuman dalam ayat berikut ini,
Artinya :
“Tidaklah Aku menyiksa sampai Kuutus seorang utusan” (Surah Al-Isro’; 15)
Ahlul fatroh tidak disiksa berdasarkan perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka hidup bagaikan makhluk Allah yang tidak diberi taklif seperti burung-burung, kupu-kupu, dan merak. Mereka akan diuji di akhirat, dan lulus-tidaknya ujian itulah yang menentukan apakah kelak mereka masuk surga atau masuk neraka.
Dasar penjelasan ini adalah hadis berikut,
Artinya :
“Dari Al-Aswad bin Sari’ bahwasanya Nabiyullah ﷺ bersabda: “Ada empat (jenis orang) di hari kiamat nanti: Orang tuli yang tidak mendengar apapun, orang idiot, orang pikun, dan orang yang mati di masa fatroh. Orang tuli berkata, ‘Wahai Rabbku, telah datang Islam tapi aku tidak mendengar apapun tentang hal itu’. Adapun orang idiot berkata, ‘Wahai Rabku, Islam telah datang sementara anak-anak melempariku dengan kotoran’. Adapun orang pikun ia berkata, ‘Wahai Rabbku, telah datang Islam hanya aku tidak bisa memahami sama sekali’. Adapun orang di masa fatroh berkata, ‘Wahai Rabku, tidak ada utusan-Mu yang mendatangiku’. Lalu Allah mengambil perjanjian dengan mereka agar mereka benar-benar taat kepada-Nya. Lantas Allah mengutus malaikatnya untuk mengatakan ‘Masuklah kalian ke dalam neraka’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalaulah mereka memasuki api tersebut, api itu akan menjadi dingin dan menyelamatkan mereka”. (H.R.Ahmad)
Dalam hadis di atas Rasulullah menceritakan ada empat golongan manusia yang akan membela diri di hadapan Allah pada saat dihisab. Mereka adalah ORANG TULI, ORANG PIKUN, ORANG IDIOT, dan AHLUL FATROH. Orang tuli menolak dihukum karena tidak masuk Islam dengan alasan dia tidak bisa mendengar risalah Islam sehingga tidak bisa mengimaninya. Orang pikun mengaku tidak bisa memeluk Islam dengan alasan bahwa dakwah Islam sampai kepadanya pada saat akalnya sudah tidak berfungsi lagi. Orang idiot mengaku tidak bisa memeluk Islam karena saat hidup di dunia dalam keadan tolol, tidak bisa menimbang baik-buruk, bahkan dihinakan manusia, sampai-sampai anak-anak kecilpun melemparinya dengan kotoran. Ahlul fatroh mengatakan tidak bisa memeluk Islam karena tidak ada satu utusan Allahpun yang mendakwahkan Islam kepadanya.
Allah menerima semua alasan mereka kemudian membuat perjanjian dengan mereka saat itu juga agar menaati apapun yang diperintahkan Allah. Di titik ini Allah mulai menguji agar diketahui apakah nasib mereka ke surga atukah ke neraka. Mereka menerima dan siap. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk masuk neraka!
Perintah Allah untuk masuk neraka ini tentu saja mengejutkan mereka. Tetapi dari situ justru akan tampak siapa yang memang sifat dasarnya taat kepada Allah dan membangkang. Mereka yang memang tabiatnya taat segera saja melaksanakan perintah itu dan api nerakapun terasa dingin bagi mereka sebagaimana diberitahukan Rasulullah kepada kita. Adapun yang tidak mau melakukannya karena takut, maka Allah mencela mereka dan mengatakan kepada mereka yang kira-kira maknanya “Ini yang jelas-jelas perintahKu saja kalian membangkangnya, bagaimana jika kalian Ku kembalikan ke dunia kemudian mendapatkan perintah-Ku melalui utusan-Ku? Pasti kalian lebih hebat lagi dalam membantah dan membangkang pada para utusan-Ku”. Dengan cara itu, maka menjadi jelaslah siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka.
Hadis ini dishahihkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dan Al-Albani. Syu’aib Al-Arnauth menghasankannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa riwayat ini bisa dijadikan hujjah karena memiliki sejumlah syawahid yang menguatkan satu sama lain.
Adanya ujian di akhirat untuk orang-orang tertentu ini adalah pemahaman Al-Baihaqi, Abu Al-Hasan Al-‘Asy’ari, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Baz.
Adapun pendapat yang menolak riwayat di atas dengan alasan bahwa akhirat itu Darul Jaza’ (negeri balasan) bukan Darul Imtihan (negeri ujian), maka jawabannya adalah sebagai berikut. Maksud akhirat sebagai Darul Jaza’ adalah pada saat mereka sudah dimasukkan ke surga dan ke neraka, bukan sebelumnya. Oleh karena itu, hal ini tidak bertentangan jika ada perintah dan taklif sebelum dimasukkan ke salah satu negeri balasan itu. Dalam Al-Qur’an sendiri ada ayat yang memerintahkan semua makhluk sujud di akhirat nanti, maka orang kafir dan munafik tidak bisa sujud sedangkan orang mukmin bisa sujud. Perintah sujud adalah taklif, jadi hal ini menunjukkan taklif sebelum dimasukkan surga atau neraka diakui dalam Al-Qur’an. Lagipula ada riwayat sahih tentang kisah lelaki yang terakhir keluar dari neraka dan membuat perjanjian dengan Allah tetapi dia melanggar perjanjian itu berkali-kali dan pada akhirnya dimasukkan Allah ke dalam surga. “Akhdzul mawatsiq” (mengambil janji) bermakna taklif.
Adapun alasan bahwa taklif disuruh terjun ke neraka itu tidak akan mampu dilakukan orang, maka ini juga tidak menghalangi kehujjahan hadis di atas karena Allah juga memerintahkan melewati Shiroth/Jisr (jembatan) di akhirat, padahal jembatan itu lebih tajam daripada pedang dan lebih kecil daripada sehelai rambut. Apalagi dalam hadis juga ada riwayat yang memerintahkan untuk meminum air sungai Dajjal yang tampak seperti api. Lagipula Allah memerintahkan Bani Israil untuk bunuh diri karena dosa menyembah anak sapi. Pendeknya, orang taat akan tetap taat selama yakin itu perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara para pembangkang yang memang tabiatnya membangkang akan melanggar perintah Allah seringan apapun perintah itu.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam kitab Ahkam Ahli Adz-Dzimmah telah menghadirkan 19 argumentasi dalam kitabnya untuk membenarkan adanya ujian di akhirat itu.
Di antara ulama yang menolak hadis imtihan di atas dengan alasan riwayatnya lemah dan tidak sesuai dengan prinsip bahwa akhirat adalah Darul Jaza’ adalah Ibnu Abdil Barr sebagaimana dinukil Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan Al-Itsyubi dalam kitab “Dzakhirotu Al-‘Uqba”. Di antara yang setuju dengan pendapat ini di kalangan kontemporer adalah Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Bijadi.
Hukum terhadap ahlul fatroh ini sama statusnya dengan orang-orang yang masuk usia taklif tapi risalah Islam tidak sampai pada mereka karena udzur-udzur syar’i seperti orang tuli (dan tidak ada yang mengajarinya tentang Islam), orang pikun, orang gila dan orang idiot. Wallahua’lam.