Oleh : Ust. Muafa
Sombong, secara syar’i diizinkan dalam tiga kondisi yaitu saat JIHAD/PERANG FISABILILLAH, saat BERSEDEKAH, dan untuk MEMATAHKAN KESOMBONGAN ORANG SOMBONG. Hanya saja, sombong pada tiga kondisi ini adalah jenis kesombongan shury (الصوري), yakni kesombongan dalam penampakan lahir, bukan kesombongan hakiki yang benar-benar meresap dalam hati dan jiwa. Selain dalam tiga kondisi itu, sombong hukumnya haram secara mutlak berdasarkan banyak dalil, bahkan termasuk salah satu kaba-ir (dosa-dosa besar).
Kesombongan dalam bahasa Arab biasanya diungkapkan dengan tiga lafaz yaitu “kibr” (الكبر), “takabbur” (التكبر) dan “istikbar” (الاستكبار). Hanya saja ada sedikit perbedaan tekanan makna pada tiga lafaz ini. “Kibr” digunakan untuk menyebut kesombongan/merasa diri lebih besar daripada yang lain yang masih dirasakan dalam hati. “Takabbur” digunakan untuk menyebut kesombongan yang sudah mulai ditampakkan sehingga tanda-tandanya bisa disaksikan oleh orang lain. Istilah takabbur ini bisa digunakan untuk kesombongan haqq maupun batil. Sedangkan “Istikbar” digunakan khusus untuk menyebut kesombongan yang batil saja.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ada “jenis” kesombongan yang diizinkan, maka hal ini didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Kesombongan yang diizinkan itu memang ada dan tidak perlu diingkari. Ayat yang menunjukkan bahwa ada kesombongan yang haqq adalah ayat berikut ini,
Artinya:
“Aku (Allah) akan memalingkan ayat-ayat-Ku dari orang-orang yang sombong di muka bumi tanpa haqq” (Al-A’rof; 146)
Dalam ayat di atas, Allah menyebut sombong tanpa haqq. Hal ini menunjukkan ada kesombongan yang haqq/bisa dibenarkan.
Tafsir semacam ini dikemukakan Ar-Rozi dalam Mafatih Al-Ghoib,
Artinya:
“Ketahuilah, bahwasanya Allah ta’ala menyebutkan firman-Nya dalam ayat ini ‘bighoiril haqq’ -tanpa haqq- karena menampakkan kesombongan kepada orang lain bisa jadi dengan haqq. Orang yang berada dalam kebenaran boleh sombong terhadap orang yang berada dalam kebatilan.” (Mafatih Al-Ghoib, juz 15 hlm 266)
Tafsir yang sama juga dikemukakan Al-Khothib Asy-Syirbini dalam “As-Siroj Al-Munir” dan An-Naisaburi dalam “Ghoro-ib Al-Qur’an”.
Adapaun dasar hadisnya, maka hal itu sangat lugas ditunjukkan pada hadis riwayat Abu Dawud yang membolehkan sombong pada saat perang dan sedekah yang akan diterangkan sebentar lagi.
Dengan demikian, sombong dalam kondisi tertentu diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan bahkan menjadi amal salih ketika penerapannya benar.
Adapun dalil yang menunjukkan sombong diizinkan saat perang, hal itu didasarkan pada riwayat hadis yang menerangkan Shahabat Nabi yang bernama Abu Dujanah yang berjalan dengan angkuh, melagak nan sombong pada saat perang Uhud sambil memakai ikat kepala merah. Rasulullah ﷺ berkomentar,
Artinya:
“..cara berjalan seperti itu dibenci Allah kecuali dalam situasi semacam ini (jihad)..” (H.R.Ath-Thobaroni)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah mengizinkan berjalan dengan gaya melagak. Ini adalah lafaz lugas yang menunjukkan bolehnya sombong saat perang.
Hadis lain juga menegaskan bahwa Allah bukan hanya mengizinkan kesombongan saat jihad, tapi bahkan disebut Nabi sebagai kesombongan yang dicintai Allah. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya :
“Adapun kesombongan yang dicintai Allah adalah kesombongan seorang lelaki pada saat perang…” (H.R. Abu Dawud)
Al-Qorofi dalam “Anwar Al-Buruq” bahkan menegaskan bahwa sombong dalam perang hukumnya bukan hanya boleh atau dianjurkan tetapi wajib.
Memang, sombong dalam perang itu justru bermanfaat untuk jihad, Islam dan kaum muslimin. Menyombongi orang kafir dalam medan jihad akan membuat Islam menjadi mulia, memompa semangat mujahidin, mematahkan semangat orang-orang kafir dan menimbulkan ketakutan serta kegentaran pada hati mereka.
Adapun kebolehan sombong saat sedekah, dasarnya adalah hadis berikut ini,
Artinya:
“(Adapun kesombongan yang dicintai Allah adalah kesombongan seorang lelaki pada saat perang) dan kesombongannya saat bersedekah…” (H.R. Abu Dawud)
Hanya saja sombong pada saat bersedekah ini jangan disalahpahami. Maksud sombong pada saat bersedekah bukan berbangga-bangga dan pamer kepada manusia karena sedekahnya, tetapi maksudnya adalah sombong terhadap harta yang dikeluarkan itu. Dia meremehkan sekali harta yang dia sedekahkan, merasa tidak butuh kepadanya dan menghinakannya sehingga dia sama sekali tidak sayang ketika mengeluarkannya. Pada saat dia mengeluarkan dengan jumlah banyak sekalipun rasanya masih terlihat sedikit saja. Dalam batinnya seakan-akan dia berkata, “kalaupun aku memberi banyak, yang diberikan Allah kepadaku masih jauh lebih banyak, dan aku yakin yang disimpankan Allah untukku jauh lebih banyak lagi”. Sombong saat sedekah ini jika dilaksanakan dengan baik akan memberi efek “plong”nya hati orang yang diberi sedekah. Mereka akan mengambil sedekah itu tanpa beban, tidak takut diungkit-ungkit atau disakiti gara-gara pernah mendapatkan jasa dari yang memberi.
Adapun sombong terhadap orang sombong, maka hal itu bukan dalam rangka menunjukkan/memamerkan kelebihan diri dan membesarkan diri, tapi dalam rangka nasihat, menyadarkan si sombong, amar makruf nahi mungkar dan menjalankan perintah iffah dalam Islam. Jadi menyombongi orang sombong dalam konteks ini lebih menonjol unsur ta’dib (mendidik) nya, karena tujuannya adalah meyadarkannya dari kesesatan/kekeliruannya.
Mengubah kemungkaran sombong prinsipnya adalah amar makruf nahi mungkar. Uslub/wasilah/teknisnya bisa dengan nasihat lisan, takhwif, keteladanan, termasuk menyombonginya secara shury.
Memang benar, secara prinsip orang mukmin itu adzillah (rendah hati) pada sesama mukmin dan a’izzah (menampakkan keluhuran) pada orang kafir. Hanya saja, jika ada sesama mukmin yang melakukan kemungkaran berupa kesombongan, maka kaum muslimin yang lain diperintahkan untuk amar makruf nahi mungkar. Di antara teknik yang bisa digunakan adalah tidak bersikap tawadhu’ kepada si sombong itu, karena hal itu justru malah akan membuatnya semakin menjadi-jadi.
Menyombongi orang sombong justru akhlak islami, karena Islam memerintahkan untuk mengubah kemungkaran kesombongan, menasihati orang sombong, dan tidak memuliakan orang sombong. Menampakkan sikap tidak memuliakan orang sombong pada orang-orang tertentu adalah di antara teknik manjur untuk membuat si sombong sadar.
Menyombongi orang sombong pada hakikatnya adalah bentuk marah karena Allah, sebab Allah membenci orang yang sombong. Menyombongi orang sombong bukan untuk membesarkan diri, tapi membesarkan Allah, mengagungkan ajaran-Nya, menampakkan izzah syariat-Nya, memenangkan izzah iman, dan bagian ikhtiyar mengubah kemungkaran. Tawadhu’ pada orang sombong malah tergolong kezaliman yang sangat karena menghinakan jiwa mukmin yang terhormat dan memuliakan orang sombong yang dihinakan Allah.
Tawadhu’ pada orang yang sombong malah salah, karena bukan seperti itu perintah tawadhu yang diajarkan oleh Islam. Tawadhu’ sejati terbit dari ilmu ma’rifatullah yang tinggi dan ma’rifatun nafsi yang dalam. Tahu bahwa Allah Maha Sempurna dan tahu bahwa diri penuh kekurangan, kelemahan, dan aib-aib. Tawadhu sejati juga tidak melempangkan jalan kemungkaran pada hamba Allah yang lain, tapi malah menjadi teladan akhlak mulia. Jika ada tawadhu yang malah menyeret orang lain bermaksiat, misalnya membuatnya sombong, menjadi-jadi dalam kesombongannya dan merasa dalam kebenaran padahal hakikatnya dalam kebatilan, maka itu tawadhu’ yang keliru. Tawadhu berlebihan yang melampaui batas buahnya adalah menghinakan diri dan ini salah. Al-Khodimi berkata,
Artinya:
“Tawadhu kepada orang sombong itu tidak boleh” (Bariqoh Mahmudiyyah, juz 2 hlm 186)
Oleh karena itu, ada orang-orang tertentu yang justru tidak boleh kita tawadhu kepadanya tapi kita diharuskan mengubah kemungkaran kesombongannya dengan segala cara halal yang mungkin, termasuk dengan menyombonginya secara shury. Di antara orang yang kita tidak boleh tawadhu kepadanya, yakni semisal orang yang menghina Allah dan Rasul-Nya, yang mengingkari dan memusuhi Rasulullah, ahlul bid’ah, juhala’ yang sok tahu, muqollid yang bergaya mujtahid, orang zholim yang tidak merasa zholim, pejabat yang sombong, orang kaya yang sombong, ahlud dunya yang sombong, dan semisalnya. Orang fakir yang menyombongi orang kaya dengan menampakkan ketidakbutuhan pada mereka justru menerapkan ajaran Islam dalam hal tawakkal penuh kepada Allah, menghinakan dunia, tidak menghormati manusia karena kekayaannya.
Menyombongi orang sombong itu seperti ketika kaum muslimin kalah dalam perang Uhud lalu Abu Sufyan dengan sombong mengatakan “Kami punya Al-Uzza, kalian tidak punya”. Bayangkan jika kaum muslimin waktu itu diam dengan alasan tawadhu’. Bisa-bisa Abu Sufyan semakin terfitnah dengan kesesatannya dan merasa berada dalam kebenaran. Apalagi konteksnya waktu itu tentara kafir Quraisy bisa mengalahkan tentara Islam yang memberi kesan mereka lebih dimuliakan Allah daripada kaum muslimin. Karena itulah Rasulullah memerintahkan menjawab “Allah menjadi pelindung kami, kalian tidak punya pelindung”.
Makna-makna seperti ini cukup banyak dalam Al-Qur’an dan hadis. Misalnya seperti perintah Allah agar memberikan kata-kata pedas kepada orang kafir “Matilah kalian dengan membawa amarah kalian”, “Jadilah kalian batu atau besi”, “Kalian hina”, “Kalian bahan bakar Jahannam”, dan sebagainya. Saat peritiwa perjainjian Hudaibiyah, kita juga tahu betapa kerasnya Abu Bakar berbicara kepada Suhail bin ‘Amr, utusan kafir Quraisy dengan mengatakan “hisaplah clitoris Al-Lata!”.
Oleh karena menyombongi orang sombong adalah sikap syar’i, maka tidak heran ditemukan sejumlah ucapan ulama yang menegaskan prinsip ini. Di antaranya adalah Asy-Syafi’i. beliau berkata,
“Tidak pernah ada orang sombong yang menyombongiku dua kali” (Takhrij Ahadits Ihya ‘Ulumiddin, juz 5 hlm 2032)
Termasuk juga Ibnu Al-Mubarok. Ketika beliau ditanya tentang tawadhu’ beliau menjawab,
“(tawadhu’ adalah) takabbur pada orang-orang kaya…” (Syu’abu Al-Iman, juz 10 hlm 504)
Termasuk juga Az-Zuhri. Beliau berkata,
“Sombong terhadap pecinta dunia adalah simpul Islam yang paling kuat” (Takhrij Ahadits Ihya ‘Ulumiddin, juz 5 hlm 2032)
Termasuk juga Abu Hanifah. Beliau berkata,
“Orang yang paling zalim adalah orang yang bertawadhu kepada orang yang sombong kepadanya” (Bariqoh Mahmudiyyah, juz 2 hlm 186)
Termasuk pula Yahya bin Mu’adz. Beliau berkata,
“Takabbur kepada orang yang menyombongimu dengan hartanya adalah bentuk tawadhu” (Bariqoh Mahmudiyyah, juz 2 hlm 186)
Termasuk juga Al-Hasan. Pada saat beliau ditanya apa itu tawadhu’, beliau menjawab,
“Tawadhu adalah menyombongi orang-orang kaya” (Muhadhorot Al-Udaba’, juz 1 hlm 325)
Termasuk juga Bisyr Al-Hafi. Beliau berkata,
“Menyombongi orang sombong termasuk tawadhu’” (Thobaqot Al-Auliya’, hlm 18)
Termasuk juga Ibnu Al-‘Arobi. Beliau berkata,
“Tidak ada seorangpun yang menyombongiku lebih dari satu kali” (Al-Adab An-Nafi’ah hlm 10)
Termasuk juga Ibnu Al-Mu’tazz. Beliau berkata,
“Sombong terhadap orang sombong adalah tawadhu” (Al-Adab An-Nafi’ah hlm 10)
Sulaiman bin Abdul Malik pernah mendatangi Thowus, tapi Thowus tidak mau mengajaknya bicara. Hal itu ditanyakan kepada Thowus, maka beliau menjawab,
“Aku ingin dia tahu bahwa di antara hamba Allah ada orang yang menganggap kecil apa yang dianggapnya besar pada dirinya” (Muhadhorot Al-Udaba’, juz 1 hlm 325)
Al-Khofaji menegaskan bahwa menyombongi orang yang tidak takut kepada Allah adalah terpuji. Beliau berkata,
“Sombong terhadap orang yang tidak takut kepada Allah adalah terpuji” (Hasyiyah Asy-Syihab, juz 6 hlm 366)
Al-Munawi dalam Faidu Al-Qodir juga menagaskan bahwa takabbur pada orang sombong adalah di antar akhlak baik. Al-Munawi menulis,
“(di antara akhlak mulia adalah)…sombong terhadap orang sombong..”(Faidhu Al-Qodir, juz 3 hlm 386)
Al-Mulla ‘Ali Al-Qori menegaskan bahwa menyombongi orang sombong itu adalah bisa dibenarkan secara makna. Beliau berkata,
“(ucapan menyombongi orang sombong adalah sedekah) menurut perawi adalah ucapan yang masyhur. Aku (Al-Qori) berkata, ‘tetapi maknanya benar” (Al-Asror Al-marfu’ah, hlm 163)
Prinsip ini cukup populer di masa Utsamniyyah sehingga Ibnu Khotslan bersaksi bahwa beliau sempat melihat papan nama di zaman Utsmaniyyah yang bertuliskan,
“Kesombongan terhadap orang sombong adalah sedekah”
Hanya saja harus ditegaskan, syarat takabbur yang dibolehkan jenis ini adalah takabbur dalam penampakan lahir, tidak boleh dalam hati yang merasa diri lebih baik daripada muslim yang lainnya di sisi Allah. Jadi sombong jenis ini hakikat sebenarnya adalah sombong jenis ta’dib (mendidik), bukan sombong secara hakiki.
Hal lain yang perlu diperhatikan, oleh karena menyombongi orang sombong adalah salah satu wasilah/teknik mengubah kemungkaran maka prakteknya harus disesuaikan dengan kondisi orang yang dinasihati. Cara ini TIDAK HARUS selalu dipakai. Jika sikap sombong padanya tidak mengubah, tapi malah memperparah maka harus dipakai cara lain.
Adapun cara menyombonginya, oleh karena sombong jenis ini adalah bagian dari dakwah, nasihat, ta’dib dan amar makruf nahi mungkar maka caranya tidak boleh dengan cara yang malah membuat mereka semakin menjadi-jadi dalam kesombongan, misalnya menyombongi orang kaya dengan pamer harta. Caranya harus memakai teknik yang membuat sadar, misalnya sama sekali tidak menampakkan kekaguman dengan kemewahan mereka, bahkan menampakkan mimik mencibir pada saat mereka membanggakan hartanya.
Cara menyombongi orang sombong bisa dengan ucapan, bisa dengan sikap. Dengan ucapan misalnya pada kasus orang bodoh yang tak tahu diri kemudian langsung saja dinasihati dengan kata-kata lugas bahwa dia bodoh, dia tidak tahu diri dan lain-lain. Menyombongi dengan sikap misalnya orang miskin yang dipameri harta oleh orang kaya, kemudian dia menampakkan sikap sama sekali tidak butuh terhadap harta orang kaya itu, tidak mendekatinya dan tidak berminat diajak berbicara tentang kesuksesan materinya. Menyombongi orang zalim bisa dilakukan dengan cara tidak mengawali minta damai sampai dia sadar kezalimannya. Menyombongi kawan yang sudah mulai sombong karena mendapatkan jabatan misalnya dengan cara menjauhinya dan tidak mengkontaknya yang memberi kesan bahwa kita sama sekali tidak minat dan tidak bangga dengan jabatan kawan kita itu. Dll
Namun, menyombongi orang sombong ini harus ekstra hati-hati dalam pelaksanaannya. Karena sombong itu urusan hati. Tidak mudah menentukan dan memastikan apakah orang lain sombong. Menilai bahwa seseorang sombong atau tidak, bisa diketahui dengan qorinah (indikasi) baik ucapan, gerak-gerik, lagak dan seterusnya (sementara tidak ada udzur yang mungkin diberikan terhadap zhohirnya maksiat tersebut). Kesombongan bisa diketahui dengan qorinah urf sebagaimana Rasulullah tahu bahwa orang yang makan dengan tangan kirinya adalah sombong, orang yang menyeret pakaiannya karena sombong dan seterusnya.
Perlu ketakwaan tinggi dan sikap tanggung jawab di hadapan Allah untuk menerapkan syariat ini agar ketentuan ini tidak disalahgunakan untuk memuaskan hawa nafsu atas nama agama, membela kepentingan pribadi atas nama agama, memuaskan syahwat ashobiyyah dan semisalnya.
Adapun menunjukkan dunia yang dimiliki pada orang lain yang suka pamer tapi tanpa disertai dengan hati sombong maka ini tidak disyariatkan. Orang yang suka pamer tidak dibalas dengan pamer yang semisal, meskipun di hati tidak ada rasa sombong, karena ini justru malah memicu tanafus (persaingan) dan takatsur (jor-joran) dalam dunia, tidak ada efek zajr (pencegahan) terhadap kemaksiatan.
Kesombongan selain ini maka haram secara mutlak, yakni kesombongan menolak kebenaran dan meremehkan/menghinakan manusia karena merasa diri lebih unggul daripada manusia yang lain sebagaimana diajarkan dalam hadis Nabi.
اللهم إنا نسألك العافية في الدنيا والآخرة