oleh Ust. Muafa
Dalam kitab-kitab fikih, terkadang kita menemukan ungkapan “bil jumlah” (بالجملة) dan “fil jumlah” (في الجملة).
Contoh ungkapan “bil jumlah” bisa kita temukan dalam tulisan An-Nawawi berikut ini,
“Seyogyanya, aktivitas memukul (istri untuk kepentingan mendidik itu dilakukan) dengan sapu tangan dan tangan, tidak memukul dengan cambuk atau tongkat. ‘Bil jumlah’ meringankan (pukulan) dengan cara semaksimal mungkin adalah yang paling utama dalam persoalan ini” (Al-Majmu’, juz 16, hlm 450)
Contoh ungkapan “fil jumlah” juga ada dalam kalimat An-Nawawi yang lain, masih dalam Al-Majmu’ berikut ini,
“Berperang itu boleh bagi wanita ‘fil jumlah’” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 444)
Ungkapan “bil jumlah”, kadang-kadang diungkapkan dengan lafaz “jumlatul qoul” (جملة القول) atau “jumlatu dzalika” (جملة ذلك) sebagaimana sering dipakai dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Hanbali (w. 620 H) atau ungkapan-ungkapan lain yang semakna.
Sebenarnya apa makna “bil jumlah” dan “fil jumlah”? Sama ataukah berbeda?
Secara bahasa kata “jumlah’ (الجملة) sebenarnya adalah bentuk “isim mashdar” yang dimaknai “isim maf’ul” dari kata “ajmala” (أجمل). Lafaz “ajmala” sendiri bisa bermakna dua, yakni bermakna “jama’a” ( mengumpulkan/menghimpun) atau bermakna “dzakaro min ghoiri tafshil” (menyebut secara global).
Adapun dalam konteks yang kita bicarakan, maka “ajmala” yang dimaksud adalah bermakna “mengumpulkan”. Dengan analisis ini berarti makna “jumlah” secara bahasa adalah “sesuatu yang dikumpulkan”.
Adapun huruf “ba’” pada kata “bil jumlah” maka “ba’” di sana bermakna “isti’abiyyah”, artinya “mencakup keseluruhan”. Jadi lafaz “bil jumlah” secara bahasa bisa dimaknai “dengan keseluruhan sesuatu yang telah dikumpulkan”.
Adapun huruf “fi’” pada kata “fil jumlah” maka “fi” di sana bermakna “zhorfiyyah”, artinya mencakup tidak secara total. Jadi lafaz “fil jumlah” secara bahasa bisa dimaknai “pada (sebagian) keseluruhan sesuatu yang telah dikumpulkan ”.
Ini adalah analisis bahasa.
Hanya saja, makna “bil jumlah” dan “fil jumlah” dalam pembicaraan kitab-kitab fikih telah “dipindah” dari makna bahasa menuju makna istilah khas fikih. Hal ini sama seperti pemindahan makna bahasa “dhomir” menjadi makna khas dalam ilmu nahwu atau seperti pemindaahan makna bahasa “muqoyyad’ menjadi makna khas dalam ilmu ushul fikih.
Kalau begitu, apa makna istilah fikih “bil jumlah” dan “fil jumlah”?
Makna “bil jumlah” dalam istilah fikih adalah untuk menunjukkan “hasil dari sebuah perincian”, sementara “fil jumlah” digunakan untuk menunjukkan makna “secara global”. Abu Al-Baqo’ berkata,
“ Lafaz “fil jumlah” digunakan untuk konteks penyebutan secara global, sementara “bil jumlah” digunakan untuk menunjukkan makna hasil dari sebuah perincian” (Al-Kulliyyat, hlm 288)
Dalam bahasa Indonesia terjemahan yang dekat dengan “bil jumlah” adalah RINGKASNYA. Dalam konteks tertentu bisa juga diterjemahkan “secara keseluruhan/on the whole”.
Adapun ungkapan “fil jumlah” , terjemahan yang dekat adalah SECARA UMUM/IN GENERAL.
Dengan demikian, dua ungkapan An-Nawawi di atas bisa kita maknai sebagai berikut,
“Seyogyanya, aktivitas memukul (istri untuk kepentingan mendidik itu dilakukan) dengan saputangan dan tangan, tidak memukul dengan cambuk atau tongkat. Ringkasnya, meringankan (pukulan) dengan cara semaksimal mungkin adalah yang paling utama dalam persoalan ini” (Al-Majmu’, juz 16, hlm 450)
Dikatakan ringkasnya, karena itu adalah kesimpulan umum dari perincian fikih yang disebutkan sebelumnya atau akan diterangkan sesudahnya.
“Berperang itu boleh bagi wanita secara umum/ in general” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 444)
Dikatakan secara umum karena ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat kebolehan wanita berjihad itu menjadi haram, seperti karena dilarang oleh ayah, suami, dan sebab-sebab semisalnya. Wallahua’lam.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
Dutch Wife
Terimakasih atas pelajaran dari Anda.
Tapi bila menilik dari penjelasan Anda, seperti ada sesuatu yang kurang pas (mohon maaf)…
Yang saya maksud adalah frasa “bil jumlah”. Coba kita lihat kembali perkataan dari Abul Baqa yang Anda tuliskan tadi. Kalau memang (benar yang tertulis) bahwa “bil jumlah” digunakan untuk “fi natijah at-tafshil” maka padanan dalam bahasa Indonesia, yaitu “ringkasnya”, kurang atau malah tidak tepat sama sekali.
Sebab, pengertian “yusta’malu fi natijah at-tafshil” memiliki arti bahwa ‘pemerincian’ sudah dilakukan sebelumnya yang kemudian diikuti ‘hasil’ atau ‘kesimpulan’ (benar tidak ya?). Ini bisa dilihat pada perkataan An-Nawawi terkait cara-cara memukul tadi. Beliau memerinci cara-cara memukul, dari mulai pakai sapu tangan dan tangan atau (pertentangannya) pakai cambuk dan tongkat, kemudian beliau menyimpulkan semua itu dengan memberi tambahan penekanan pada pendapat yang beliau pilih, yaitu “at-takhfif”: yang ringan. Ini kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia tingkat sekolah menengah pertama disebut sebagai kalimat induktif, yaitu pemerincian di awal dengan ‘kesimpulan’ yang lebih umum di akhir. Tapi harus diingat, yang tertera itu adalah ‘kesimpulan’ bukan ‘ringkasan’.
Jadi, (kalau boleh berpendapat) sebenarnya padanan frasa “bil jumlah” dalam bahasa Indonesia yang lebih pas adalah: “secara keseluruhan”. Pun, yang perlu diingat bahwa pendapat saya ini tidak mutlak benar. Bisa jadi ada pendapat lain yang lebih meyakinkan (yang tentunya) lengkap dengan dalil argumentasi yang lebih kuat.
Terimakasih
Admin
Terima kasih tanggapannya.
Terjemahan dalam batas tertentu beririsan dengan seni. Tata bahasanya adalah ilmu, tetapi bagaimana mengolah terjemahan sedekat mungkin dengan makna asal atau sampai taraf tathobuq/kongruen, banyak bersifat seni karena tergantung cita rasa sastra dan pendalaman makna kata.
Usulan terjemahan “secara keseluruhan” untuk kata “bil jumlah” dalam pandangan saya masih terasa kurang akurat bahkan mengancam ambigu karena tidak kena ke tekanan makna “natijah”. Buktinya, dalam penggunaan bahasa Indonesia frase ‘”secara keseluruhan” ini tidak digunakan dalam konteks memerinci sesuatu baik sebelum maupun sesudahnya, meskipun bisa digunakan untuk laporn singkat kondisi sesuatu.
Adapun soal frase “natijatut tafshil”, tidak maslaah perincian itu diletakkan sebelum atau sesudah frase “bil jumlah” karena Abu Al-Baqo’ tidak menyertakan zhorf pada definisinya.