Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)
Jual beli ‘inah (بَيْعُ العِيْنَة) bisa diilustrasikan sebagai berikut:
Andi :“Aku membeli kursi darimu seharga satu juta yang akan kubayar dua bulan lagi. Sepakat?”
Bambang : “Oke, deal”
Andi : “Nah, karena saat ini kursi itu sudah jadi milikku, sekarang aku menjualnya secara kontan kepadamu wahai Bambang seharga 750.000,00”.
Bambang : “Baik, saya setuju”
Saat itu juga Bambang menyerahkan uang sebesar Rp.750.000,00 kepada Andi. Dengan demikian, kursi tetap di tangan Bambang sementara Andi masih harus membayar utang sebesar Rp.1.000.000,00 kepada Bambang yang harus dilunasi maksimal dua bulan ke depan.
Di tangan Andi, telah terpegang uang riil sebesar Rp.750.000,00 yang ia dapatkan dari Bambang. Akan tetapi, dia punya tanggungan Rp.1.000.000,00. Jadi dalam kasus ini, Andi seolah-olah “meminjam” uang Rp.750.000,00 kepada Bambang, tetapi dia harus mengembalikan Rp.1.000.000,00. Ada selisih Rp 250.000,00 di situ yang akan dinikmati Bambang.
Jual beli seperti ini hakikatnya tidak menginginkan barang, tetapi menginginkan uangnya. Andi tidak butuh kursi. Ia hanya butuh uang dari Bambang. Seandainya Andi langsung bilang utang Rp.750.000,00 dan siap mengembalikan Rp.1.000.000,00 maka bisa jadi Bambang menolak. Tetapi jika diatasnamakan jual beli, maka dengan senang hati bambang menerima transaksi itu.
Jadi, transaksi seperti ini hakikatnya Andi seakan-akan meminjam uang saja kepada Bambang tetapi DIATASNAMAKAN JUAL BELI dan rela membayar bunganya.
Jual beli seperti ini dilarang untuk memblokir “hilah” (الحيلة)/siasat yang mengatasnamakan jual beli sementara hakikatnya adalah qordh ribawi (utang piutang ribawi).
Cara jual beli di atas variasinya bisa saja beragam. Inisiatif transaksi bisa juga dari penjual, tidak harus dari pembeli.
“’Inah” sendiri secara bahasa bermakna “salaf” (السلف), yakni pinjaman. Jadi jual beli “‘inah” maknanya adalah transaksi yang lahirnya seolah-olah jual beli, tetapi hakikatnya adalah utang-piutang.
Jual beli “’inah” dilarang berdasarkan hadis berikut,
“Dari Ibnu ‘Umar r.a., dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda”: Apabila kamu sekalian berjual-beli dengan cara ‘inah, mengambil ekor-ekor sapi (sibuk mengurus ternak peliharaan), senang dengan tanaman (puas dengan hasil panen) dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasaimu, dan tidak akan pernah mencabutnya (kehinaan) sehingga kamu sekalian kembali kepada agamamu.” (H.R. Abu Dawud)