Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa istilah “pendapat Asy-Syafi’i” ( قول الشافعي ) itu sama saja dengan istilah “mazhab Asy-Syafi’i” (مذهب الشافعي). Lebih parah dari itu adalah ketika ada yang menyangka bahwa kitab fikih yang ditulis oleh ulama Asy-Syafi’iyyah dipahami secara otomatis mencerminkan pendapat Asy-Syafi’i atau mazhab Asy-Syafi’i. Penyamaan dan penyimpulan semacam ini kurang akurat sekaligus kurang cermat. Dalam sejumlah kasus bahkan menyeret pada konklusi yang keliru secara fatal. Oleh karena itu, menjadi penting untuk membahas apa sebenarnya perbedaan istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” dan “Mazhab Asy-Syafi’i”. Berikut ini ulasan singkatnya.
Istilah “pendapat Asy-Syafi’i” (قول الشافعي) adalah sebutan yang digunakan untuk menyebut ijtihad yang DINYATAKAN LANGSUNG (manshush) oleh imam Asy-Syafi’i. Artinya, ada teks dan pernyataan langsung Asy-Syafi’i yang diriwayatkan oleh muridnya. Contohnya seperti yang ditulis Ar-Robi’ dalam kitab “Al-Umm” saat membahas hadis tentang siwak. Setelah menyebut beberapa dalil tentang siwak, Asy-Syafi’i berkata sebagaimana ditulis oleh Ar-Robi’ sebagai berikut,
“Asy-Syafi’i berkata, dalam (riwayat-riwayat) ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa siwak itu tidak wajib dan bahwasanya itu pilihan” (Al-Umm, juz 1hlm 39)
Jadi, berdasarkan teks di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat Asy-Syafi’i terkait bersiwak adalah tidak wajib.
Adapun istilah “Mazhab Asy-Syafi’i”, istilah ini digunakan untuk menyebut ijtihad yang dinyatakan langsung oleh imam Asy-Syafi’i atau yang diturunkan dari pernyataan Asy-Syafi’i dan kaidah-kaidah ushul fikihnya. Jadi istilah “Mazhab Asy-Syafi’i” itu lebih luas daripada istilah “Pendapat Asy-Syafi’i”. Jika istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” itu hanya dibatasi pada ijtihad Asy-Syafi’i yang dinyatakan langsung (منصوص) oleh Asy-Syafi’i, maka istilah “Mazhab Asy-Syafi’i” mencakup ucapan langsung Asy-Syafi’i dan ucapan mujtahid mazhab Asy-Syafi’i yang berijtihad memakai kaidah dan ushul fikih Asy-Syafi’i.
Contohnya bisa kita ambil dari pernyataan An-Nawawi terkait hukum pria yang berpoligami, lalu ingin memulai pembagian bermalam di antara istri-istrinya. Hukum yang dibahas adalah, “Bagaimanakah cara menentukan istri pertama yang mendapatkan giliran bermalam?” “Bolehkan dengan kesepakatan dengan para istri, ataukah penentuan itu harus dengan cara undian?”
Jika dicari pernyataan lugas Asy-Syafi’i yang membahas soal ini, maka hal itu tidak akan didapati. Akan tetapi masalah ini telah dibahas oleh para ulama Asy-Syafi’iyyah dan mereka berbeda pendapat dalam hal itu. Melalui kajian mendalam dan penelitian serius, maka An-Nawawi menyimpulkan pendapat yang sesuai dengan kaidah dan ushul fikih As-Syafi’i adalah sebagai berikut,
“Yang terkuat (dalam mazhab Asy-Syafi’i) adalah wajibnya mengundi untuk memulai -pembagian jatah bermalam di antara para istri- (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 224)
Lafaz “ash-shohih” dalam pernyataan di atas menunjukkan tidak ditemukan riwayat “qoul/aqwal” yang memberitakan pernyataan lugas Asy-Syafi’i. Yang ada hanyalah ragam “wujuh” (ijtihad ulama mazhab Asy-Syafi’i). Jadi, dalam kasus ini tidak ada riwayat lugas pendapat Asy-Syafi’i, tetapi yang ada adalah pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah yang berijtihad memakai ushul fikih Asy-Syafi’i. Dari sekian ragam pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah itu, yang paling sesuai dengan kaidah Asy-Syafi’i adalah pendapat yang mewajibkan undian untuk memulai giliran bermalam pada istri-istri yang dipoligami. Nah, hukum seperti inilah yang boleh disebut dengan istilah “Mazhab Asy-Syafi’i, dan tidak boleh disebut dengan istilah “Pendapat Asy-Syafi’i”.
Bisa ditekankan di sini sebagai kesimpulan, ‘Pendapat Asy-Syafi’i” secara umum adalah pasti “Mazhab Asy-Syafi’i”, tetapi untuk “Mazhab Asy-Syafi’i” bisa saja berupa pendapat Asy-Syafi’i dan bisa juga ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah yang didasarkan pada ushul fikih Asy-Syafi’i.
Inilah perbedaan penting antara istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” dan “Mazhab Asy-Syafi’i”. Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
“Tidak boleh sebuah hukum diklaim sebagai mazhab Asy-Syafi’i kecuali jika diketahui hukum tersebut dinyatakan secara khusus (oleh Asy-Syafi’i) atau diketahui diturunkan dari pernyataan-pernyataannya” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz 4 hlm 300)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين