Sebagai akibat kelemahan memahami bahasa Arab dan kejahilan terhadap istilah para fuqoha, salah satu fitnah yang menimpa orang awam adalah kekeliruan fatal saat memahami istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” yang dalam bahasa Arab biasa diungkapkan dengan istilah “qoulu Asy-Syafi’i” (قول الشافعي) atau “aqwal Asy-Syafi’i” (أقوال الشافعي).
Para awam ini menyangka, jika suatu hukum diberi keterangan sebagai “pendapat Asy-Syafi’i” maka hal itu bermakna bahwa hukum tersebut adalah semata-mata pendapat pribadi Asy-Syafi’i, tidak ada dasarnya, dan tidak bertumpu pada dalil. Secara implisit, pemahaman seperti ini mengandung tuduhan yang sangat serius dan keji terhadap Asy-Syafi’i, yakni menganggap beliau berpendapat semata-mata karena akal pikiran dan hawa nafsu belaka!
Kezaliman ini kadang dilanjutkan dengan perilaku yang lebih parah lagi. Ketika si awam ini karena keterbatasan wawasannya mendengar ustaz idolanya menjelaskan suatu hukum kemudian menyebutkan dalilnya, lalu mendengar ungkapan ustaz lain yang memberi penjelasan yang berbeda dengan menyebut “pendapat Asy-Syafi’i” tanpa penjelasan detail dalilnya, serta merta si awam tersebut menyimpulkan bahwa penjelasan ustaznya-lah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan itulah ittiba’ yang sejati, sementara yang mengikuti Asy-Syafi’i adalah taklid buta karena hanya mengikuti pendapat manusia yang tidak berdalil!
Kalau begitu, apa sebenarnya makna istilah fikih yang berbunyi “Pendapat Asy-Syafi’i’, atau “Pendapat Ahmad”, atau “Pendapat Malik, atau “Pendapat Abu Hanifah” atau imam-imam madzhab manapun yang dinisbatkan kepadanya istilah “pendapat”?
Kata “pendapat” yang berasal dari terjemahan kata “qoul” itu jangan dibayangkan sebagai pendapat yang lahir dari PIKIRAN dan HAWA NAFSU Asy-Syafi’i. Ini jelas persepsi keliru, dan kekeliruannya sangat fatal karena menuduh sangat keji para imam yang memiliki reputasi tinggi dalam hal ilmu dan ketakwaan.
Istilah “pendapat Asy-Syafi’i” (قول الشافعي) itu bermakna ijtihad Asy-Syafi’i yang beliau pahami dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil lain yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama sekali bukan dari akal pikiran dan hawa nafsu beliau. Sudah diketahui para ulama bahwa lafaz “qoul” secara majasi bermakna “ro’yu” dan “i’tiqod“. Dalam konteks fikih, maksudnya adalah ijtihad. Pemilihan istilah “pendapat” ini justru bentuk kehati-hatian dan sikap wara’ para fuqoha’ agar tidak mengatasnamakan Allah pada suatu hukum yang lahir dari pemahaman manusia yang lemah, padahal dalil atau “dalalah” yang dijadikan dasar bersifat zhonni.
Jika dalam kitab fikih mazhab Asy-Syafi’i disebut “Pendapat Asy-Syafi’i” dan tidak ada keterangan dalilnya, maka jangan lekas buruk sangka bahwa kitab itu adalah kumpulan pendapat-pendapat pribadi Asy-Syafi’i yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Semua pendapat Asy-Syafi’i ada dasar dan dalilnya. Hanya saja, para ulama Asy-Syafi’iyyah mengarang kitab fikih dengan berbagai macam pendekatan. Kitab fikih yang ditujukan untuk para ulama akan disusun dengan penjelasan dalil yang komplit, penjelasan istidlal, wajhul istidlal, bahkan munaqosyah dengan mazhab yang lain. Adapun kitab fikih yang ditulis untuk para awam atau pemula, maka pendekatannya adalah ditulis dengan cara ringkasan/mukhtashor/matan. Tujuannya agar lekas difahami dan dihafalkan.
Jadi, kalau ingin mengetahui dalil-dalil dari setiap pendapat imam Asy-Syafi’i, adalah sebuah kesalahan jika mencarinya di kitab-kitab mukhtashor seperti “Matan Abu Syuja’, “Mukhtashor Al-Muzani”, “Al-Lubab”, “At-Tanbih”, “Shofwatu Az-Zubad”, “Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah”, Qurrotu Al-‘Ain, “Umdatu As-Salik”, “Al-Yaqut An-Nafis” dan semisalnya. Jika ingin penjelasan dalil lengkap, maka silakan dibaca kitab-kitab muthowwal semisal “Nihayatu Al-Mathlab” , “Al-Bayan”, “At-Tahdzib”, Al-Hawi Al-Kabir”, “Bahru Al-Madzhab”, “Kifatayu An-Nabih”, “Irsyadu Al-Faqih”, “Al-Majmu’” dan semisalnya.
Sudah terkenal sebuah hadis yang mengatakan bahwa ijtihad yang benar itu pahalanya dua sementara ijtihad yang salah itu pahalanya satu. Hadis itu menunjukkan bahwa dalam perkara yang sifatnya ijtihadi/zhonni itu ada peluang salah. Memastikan bahwa suatu hukum yang digali dari dalil/”dalalah” zhonni adalah kehendak Allah dan menyebutnya langsung “hukum Allah” padahal ada kemungkinan salah justru sikap yang tidak hati-hati dan merupakan “jur-ah” (kesemberonoan) terhadap dinullah. Penisbatan hukum/ajaran secara langsung kepada Allah lazimnya hanya dilakukan pada perkara-perkata qoth’i, seperti wajibnya salat, wajibnya zakat, wajibnya puasa, wajibnya haji, wajibnya beriman pada hari akhir,wajibnya bertauhid dan semisalnya. Adapun pada perkara zhonni, para fuqoha’ tidak menyebutnya langsung dengan istilah “hukum Allah” tetapi menisbatkannya kepada pendapat imam tertentu.
Pesan utamanya, jangan pernah berani mengatakan “ini hukum Allah” pada perkara yang zhonni. Tapi katakanlah “ini ijtihad fulan”, “ini pendapat fulan”, “ ini hukum syara’ yang dipahami fulan”, “ini yang saya duga sebagai hukum Allah untuk saya” atau kalimat-kalimat yang semakna. Sikap hati-hati semacam inilah yang dipraketekkan para fuqoha’ sehingga semua produk ijtihad para imam disebut dengan istilah “qoul/aqwal” imam tersebut, bukan langsung kepada Allah.
Sikap berhati-hati seperti ini adalah sikap yang paling dekat dengan perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang mewanti-wanti salah satu panglima perang beliau agar jangan memakai istilah “Hukum Allah” saat memutuskan sesuatu dengan ijtihad. Ada hadis lugas Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang menceritakan kisah bagaimana beliau memberi amanat salah satu amir “sariyyah” sebelum berjihad agar jangan sampai memakai istilah ‘Hukum Allah’ jika diminta musuhnya untuk menghukumi memakai hukum Allah. Muslim meriwayatkan,
“Apabila kamu mengepung suatu benteng lalu mereka ingin agar engkau menerapkan hukum Allah kepada mereka, maka janganlah engkau menerapkan hukum Allah kepada mereka. Tetapi, terapkanlah kepada mereka hukum dari kamu sendiri; karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar telah menerapkan hukum Allah kepada mereka atau belum” (H.R. Muslim)
Jadi orang yang sering mengatakan dengan percaya diri “inilah hukum Allah”, “inilah yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah” dan semakna dengannya pada perkara-perkara zhonni dan ijtihadi sesungguhnya justru adalah orang yang semberono (jari’), jauh dari sikap wara’, dan jauh dari sikap ketakwaan. Sikap semacam itu melanggar perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadis di atas.
Atas dasar ini bisa disimpulkan, istilah “Pendapat Asy-Syafi’i” maknanya adalah ijtihad beliau yang didasarkan pada dalil. Bukan pendapat pribadi yang tidak ada dasarnya apalagi didasarkan akal dan hawa nafsu.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين