Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Lafaz ‘Arobun (العَرَبُونُ) kadang disebut ‘Urbun (العُرْبُون) atau ‘Urban (العُرْبانُ). Huruf ‘ain para variasi pelafalan ini kadang-kadang diganti hamzah sehingga lafaz ini memiliki enam variasi cara baca. Dari keenam variasi cara baca itu, pelafalan yang paling fasih adalah ‘Arobun (العَرَبُونُ).
Makna ‘arobun mudahnya adalah “uang muka/persekot/uang panjar/ Down Payment (DP)”.
Jadi, jual beli ‘arobun maknanya adalah jual beli yang melibatkan pembayaran uang muka dalam transaksinya. Uang muka dalam transaksi jual beli biasanya dipakai sebagai tanda jadi. Perjanjiannya, jika akad jual beli berlanjut maka uang muka dihitung sebagai bagian harga dan pembeli tinggal melunasi sisanya, jika jual beli batal maka uang muka dianggap hangus dan dimiliki penjual.
Secara prinsip, gagasan uang muka dipakai untuk melindungi penjual. Jika tidak ada uang muka, pembeli bisa saja seenaknya menggantung penjual sampai kapanpun tanpa kejelasan apakah melanjutkan pembelian ataukah tidak. Padahal, di masa menunggu bisa jadi ada pembeli lain yang sanggup membayar secara kontan. Agar tidak merugikan penjual, maka diberlakukan ide uang muka, sehingga pembeli lebih serius bertransaksi dan sudah memikirkan akibatnya jika dia membatalkan transaksi.
Jual beli ‘arobun mubah berdasarkan keumuman ayat yang menghalalkan jual beli.
Lagipula, akad jual beli adalah akad lazim, sehingga penjual berhak ‘iwadh sesudah sah ijab kabul tanpa membedakan iwadh tersebut didapatkan karena akad berlanjut maupun dibatalkan.
Lagipula, ada atsar yang menunjukkan jual beli ’arobun dipraktekkan di zaman Umar bin Al-Khotthob. Adanya praktek ini tanpa adanya pengingkaran dari shahabat lain menunjukkan akad tersebut tidak terlarang. Nafi’ bin Abdul Harits (pejabat Umar setingkat “bupati” yang berkuasa di Mekah) pernah melakukan transaksi memakai uang persekot. Suatu saat, beliau membeli rumah milik Shofwan bin Umayyah yang rencananya akan digunakan sebagai penjara. Perjanjiannya, Nafi’ menyerahkan uang sebanyak 400 dirham kepada Shofwan sebagai uang muka. Jika Umar nanti telah menginspeksi rumah tersebut kemudian merasa cocok dan setuju maka akad jual beli dilanjutkan sehingga Nafi’ akan melunasi harga utuhnya yaitu 4000 dirham. Tetapi jika Umar ternyata tidak cocok dan memandang rumah tersebut tidak layak jadi penjara, maka akad jual beli dibatalkan. Uang muka yang telah dibayarkan Nafi’ sebesar 400 dirham dianggap “hangus” sehingga Shofwan berhak memiliki uang muka 400 dirham tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan,
“Dari Abdurrahman bin Farrukh Maula Nafi’ bin Abdul Harits, ia berkata, ‘Nafi’ bin Abdul Harits membeli rumah Shofwan bin Umayyah dengan harga (uang muka) 400 (dirham). (Rumah itu hendak digunakan sebagai) penjara (atas perintah) Umar bin Al-Khotthob. Jika Umar cocok (maka transaksi berlanjut dan harga 4000 dirham dilunasi), jika Umar tidak cocok maka Nafi’ memberikan (menghalalkan) uang 400 (dinar itu) untuk Shofwan bin Umayyah (As-Sunan Al-Kubro lil Baihaqi, juz 6 hlm 57)
Kebolehan jual beli ‘arobun diriwayatkan adalah pendapat Umar bin Al-Khotthob, Ibnu Umar, Ibnu Sirin, Sa’id bin Al-Musayyab, Ahmad, dan umumnya ulama Hanabilah. Pada zaman sekarang, ulama Asy-Syafi’iyyah yang membolehkannya adalah Wahbah Az-Zuhaili. Di Saudi Arabia, Ibnu Baz dan Ibnu Al-‘Utsaimin juga membolehkannya. Lembaga fatwa populer seperti “Al-Lajnah Ad-Da-imah” dan “Al-Majma’ Al-Fiqhi” juga menegaskan kemubahannya.
Adapun pendapat yang mengharamkannya, terutama sekali dasarnya adalah riwayat Malik dalam Al-Muwattho berikut ini,
“dari orang yang bisa dipercaya Malik dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang jual beli ‘urban” (H.R.Malik, juz 4 hlm 276)
Hanya saja, riwayat di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah karena di dalam sanadnya mengandung perawi mubham. Penyebutan nama perawi mubham dalam riwayat lain juga tidak menolong karena nama-nama itu juga dhoif. Hadis ini didhoifkan oleh Ahmad, Ibnu Al-Mulaqqin, Al-Haitsami, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, Al-Albani, Al-Khudhoir, dan lain-lain.
Di antara ulama yang diriwayatkan mengharamkan jual beli ‘arobun adalah Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, Abu Al-Khotthob, Malik, Asy-Syafi’i, Ash-habur ro’yi, Al-Qurthubi, dan lain-lain. Para ulama yang mengharamkan ini ada yang menilainya sebagai akad fasid seperti pendapat Hanafiyyah dan ada pula yang menilainya akad bathil.
Di kalangan ulama Asy-Syafi’iyyah yang mengharamkan, solusi untuk jual beli ‘Arobun agar sah dan tidak haram adalah tidak menjadikan uang muka sebagai syarat akad. Misalnya pembeli mengatakan begini, “Jangan jual laptopmu ini kepada orang selain aku. Kalau aku jadi membeli laptop itu, maka uang yang kuserahkan padamu ini (misalnya sejumlah Rp.250. 000,-) adalah sebagian dari harganya”. Seminggu kemudian, pembeli tersebut membuat akad jual beli baru dengan menjadikan uang 250rb itu sebagai bagian harga laptop. Akad semacam ini menurut ulama Asy-Syafi’iyyah mubah, karena tidak termasuk jual beli ‘arobun. Intinya, ulama Asy-Syafi’iyyah membuat rambu-rambu bahwa syarat dalam transaksi ‘arobun itu tidak boleh diucapkan saat akad jual beli.
Atas dasar ini, jual beli ‘arobun hukumnya mubah. Memberi uang muka/DP tidak masalah dalam transaksi jual beli. Demikian pula dalam transaksi ijaroh (perkontrakan), karena ijaroh itu semakna dengan jual beli. Amr bin Dinar berkata,
“Penyewaan itu seperti jual beli” (As-Sunan Al-Kubro lil Baihaqi, juz 6 hlm 57)