Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dalam kitab-kitab An-Nawawi, istilah “shohih”, “ashohh” dan “showab” adalah tiga istilah yang bermakna hasil tarjih terhadap variasi ikhtilaf ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin yang tergolong “ash-habul wujuh”. Dengan kata lain, tiga istilah itu mencerminkan tarjih terhadap variasi ikhilaf “wujuh”/”aujuh”. Inilah perbedaan antara tiga istilah ini dengan tiga istilah yang dibahas dalam artikel sebelumnya. Jika istilah “zhohir”, “azh-har” dan “masyhur” mencerminkan tarjih terhadap “aqwal” Asy-Syafi’i (yakni ijtihad-ijtihadnya) maka tiga istilah ini, yakni “shohih”, “ashohh” dan “showab” adalah istilah yang mencerminkan tarjih terhadap “wujuh” , yakni ijtihad-ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin yang menghukumi realita berdasarkan kaidah-kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i atau mengqiyaskan dengan “manshushot” Asy-Syafi’i.
Ulama Asy-Syafi’iyyah yang memperoduksi wujuh ini umumnya disebut dengan istilah “ash-hab” (الأصحاب) atau lebih spesifik lagi disebut dengan istilah “as-habu al-wujuh” (أصحاب الوجوه). Istilah “al-ash-hab” dalam mazhab Asy-Syafi’i menunjuk makna ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin yang mencapai derajat mujtahid mazhab, yang masanya membentang panjang mulai zaman murid-murid Asy-Syafi’i sampai abad ke 4 H. Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah setelah abad ke 4 H tidak disebut dengan istilah “al-ash-hab”.
“Wujuh” yang di-tarjih menggunakan tiga istilah di atas tidak dibedakan apakah berjumlah dua ataukah lebih dari dua, juga tidak membedakan apakah “wujuh” itu lahir dari istinbath berdasarkan ushul fikih Asy-Syafi’i ataukah lahir dari “takhrij” terhadap “manshushot” Asy-Syafi’i, juga tidak membedakan apakah “wujuh” itu diproduksi satu orang ataukah orang yang berbeda-beda. Tarjih dari semua bentuk “wujuh” ini tetap memakai tiga istilah tadi.
Hanya saja ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Penjelasan ringkasnya adalah sebagai berikut.
Kalau ikhtilaf-nya kuat (قوي) maka hasil tarjih-nya disebut “ashohh”
Kalau ikhtilafnya lemah (ضعف وتماسك) maka hasil tarjih-nya disebut “shohih”
Kalau ikhtilaf-nya lemah sekali (وهى) maka hasil tarjih-nya disebut “showab”
Ijtihad yang di-marjuhkan disebut dengan istilah khusus, yaitu,
Jika hasil tarjih-nya disebut “ashohh”, maka ijtihad yang dilemahkan disebut dengan ungkapan “wa qila” (وقيل)
Jika hasil tarjih-nya disebut “shohih”, maka ijtihad yang dilemahkan disebut dengan ungkapan “wa hukiya” (وحكي)
Jika hasil tarjih-nya disebut “showab”, maka ijtihad yang dilemahkan disebut dengan ungkapan “wa yuqolu” (ويقال)
Contohnya terkait keabsahan salat orang yang bermakmum kepada imam yang rusak bacaan fatihahnya.
Telah diketahui dalam mazhab Asy-Syafi’i, jika ada orang yang bacaan fatihahnya bagus (القارئ) bermakmum kepada orang yang bacaan fatihahnya rusak (الأمي), maka salat makmum tersebut tidak sah. Hanya salat imam (yang bacaannya rusak itu) saja yang sah.
Pertanyaannya, bagaimana jika orang yang bacaannya fasih itu belum tahu kualitas imamnya pada saat memulai salat berjamaah dan baru tahu kualitas bacaan sang imam setelah masuk dalam salat? Misalnya dia bermakmum di mushola kampung yang disinggahinya dan berhusnuzhon bahwa bacaan sang imam bagus. Ternyata, setelah mendengar bacaan fatihahnya, dia baru tahu jika bacaannya rusak.
Dalam kondisi ini apakah salatnya sah ataukah tidak sah sehingga harus mengulang?
Ternyata ulama Asy-Syafi’iyyah “ash-habul wujuh” berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang berpendapat salatnya sah dan ada pula yang berpendapat salatnya tidak sah sehingga harus mengulang.
Manakah dari dua pendapat ini yang paling sesuai dengan ushul fikih, kaidah istinbath dan ijtihad Asy-Syafi’i?
Dalam penelitian An-Nawawi, pendapat yang mengatakan batal dan harus mengulang itulah yang paling benar. An-Nawawi berkata,
“Jika (setelah itu) menjadi jelas (bahwa imam ternyata) dia rusak bacaannya, maka dia mengulang (salat) ‘fil ashohh’ -dalam pendapat yang paling kuat-“ (At-Tahqiq, hlm 272)
Keterangan An-Nawawi yang menyebut “fil ashohh” ini sekaligus menginformasikan bahwa dalam kasus tersebut ada dua ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah “ash-habul wujuh” yang bertentangan dengan ikhtilaf yang kuat, hanya saja yang paling kuat setelah diteliti adalah yang mengatakan salatnya tidak sah dan harus mengulang.
Seperti inilah kira-kira proses yang juga terjadi ketika An-Nawawi mengatakan “wash-shohih” dan “wash-showab”.
Dengan demikian, dari artikel ini dan artikel sebelumnya bisa disimpulkan bahwa istilah “zhohir”, “azh-har”, “masyhur”, “shohih”, “ashohh”, dan “showab”, semuanya bisa diterjemahkan PENDAPAT YANG PALING KUAT. Perbedaannya hanya pada obyek yang di-tarjih dan level kekuatan ikhtilaf-nya. Istilah “zhohir”, “azh-har”, dan “masyhur” adalah untuk menunjuk pendapat terkuat dari variasi ijtihad Asy-Syafi’i yang kontradiktif, sementara istilah “shohih”, “ashohh”, dan “showab” adalah untuk menunjuk pendapat terkuat dari variasi ijtihad “ash-habul wujuh”.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين