Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Bayangkan, apa jadinya jika ada orang awam yang meyakini bahwa beragama itu harus mengambil langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu suatu hari dia membaca hadis ini,
“(Ibnu Mas’ud berkata) Kami berperang bersama Nabi ﷺ tanpa ditemani para wanita. Kami bertanya (kepada beliau), ‘Tidakkah kami mengkebiri diri saja?’ ternyata Rasulullah ﷺ melarang kami melakukan hal tersebut. Kemudian beliau memberikan rukhshoh kepada kami untuk menikahi wanita dengan (imbalan) kain sampai jangka waktu tertentu” (H.R. Muslim)
Begitu dia membaca (terjemahan) hadis ini, langsung saja dia menyimpulkan bahwa boleh hukumnya seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu seperti seminggu, sebulan atau dua bulan asalkan dibayarkan imbalan (maharnya). Setelah selesai durasi pernikahannya, maka bubarlah pernikahan itu dengan sendirinya. Dia meyakini bahwa perbuatan itu halal bahkan sesuai sunnah! Alasannya karena para shahabat melakukannya atas seizin Nabi ﷺ dan hadisnyapun diriwayatkan oleh imam Muslim!
Bayangkan betapa bahayanya doktrin “memahami sendiri sebuah hadis” jika diserukan kepada orang awam. Si awam ini merasa sedang mengamalkan sunnah, padahal hakikatnya dia tengah melakukan nikah mut’ah yang disepakati keharamannya oleh para ulama baik salaf maupun kholaf sampai hari kiamat. Kalau sampai dia menemukan riwayat bahwa ada sebagian shahabat yang melakukan nikah mut’ah sampai zaman Abu Bakar dan Umar, bisa jadi dia semakin mantap, yakin dan kokoh dengan pendiriannya. Dia bisa menjadi orang yang merasa paling “nyunnah” sementara dia akan menganggap orang yang mengharamkan nikah mut’ah sebagai ahlul bid’ah!
Inilah yang kira-kira terjadi jika si awam dibiarkan memahami sendiri sebuah hadis.
Jika si awam ini ragu dengan pemahamannya sendiri lalu memutuskan untuk bertanya kepada seseorang yang dianggap berilmu, lalu orang alim tersebut menjelaskan bahwa nikah mut’ah itu awalnya dimubahkan dua kali tapi kemudian diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat, maka dalam kondisi ini si awam tadi sebenarnya sudah BERTAKLID kepada orang lain, bukan memahami sendiri sebuah hadis. Jadi percuma jika si awam ini mengklaim mengkuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara dalam memahami sebuah hadis dia masih merasa perlu bertanya kepada orang lain, karena hakikatnya dia sebenarnya bertaklid juga, bukan mengikuti langsung Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahamannya sendiri.
Bertanya kepada ulama tentang makna hadis sebenarnya tidak masalah bagi orang awam, dan justru itulah jalan satu-satunya yang syar’i. Malah berbahaya jika si awam ini memahami hadis sendiri karena dia tidak tahu bagaimana kaidah berinteraksi dan tatacara memahami hadis. Jika si awam tidak boleh dicela ketika bertanya makna hadis kepada ulama yang dipercayainya, maka sebenarnya juga tidak boleh dicela orang yang memutuskan untuk bermazhab. Hal itu dikarenakan hakikat bermazhab adalah “bertanya” kepada mujtahid mazhab terkait hukum tertentu atau makna dalil tertentu. Jadi malah menjadi aneh dan inkonsisten jika ada orang yang menyerukan langsung bertumpu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sementara pada prakteknya untuk memahami maknanya dia masih butuh ulama untuk menjelaskan.
Seruan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah seruan haqq. Tetapi harus diimbangi dengan kajian tentang tatacara mengambil ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kajian terkait hal tersebut secara alami akan membuat orang belajar tentang ijtihad, taklid, fatwa, istifta’, mazhab, sejarah mazhab, kitab-kitab fikih, ushul fikih, ikhtilaf, ijma’, adab munazhoroh dan sebagainya. Dengan demikian orang akan bisa tahu diri dan bisa menempatkan diri sesuai dengan kadarnya. Dia bisa menjadi orang yang kritis dalam hal hujjah, tidak bersedia taklid secara membuta, tapi pada saat yang sama bisa menghargai jerih payah ulama mazhab yang bekerja keras memapankan dan menstabilkan ijtihad-ijtihad mazhab. Jika tidak dilakukan hal ini, maka seruan tersebut malah akan terlihat lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Dalam kasus memahami hadis-hadis tentang nikah mut’ah, agar pemahaman yang dimiliki komprehensif dan tidak menyimpang, maka orang harus tahu betul semua hadis sahih terkait nikah mut’ah, mengerti asbabul wurudnya, mengerti kaidah nasikh-mansukh, mengerti kaidah ijma’ sebagai sumber hukum syara’, dan mengerti seluruh aturan Islam terkait pernikahan. Semua ini hanya mungkin dilakukan mujtahid fuqoha’, bukan orang awam yang baru bisa terjemahan, atau baru awal-awal merangkak belajar bahasa Arab.
Kasus bahaya memahami sendiri sebuah hadis ini bisa berlaku pada banyak topik yang disingung oleh dalil seperti memahami perintah membunuh orang musyrik di manapun dia berada, perintah membunuh orang yang tidak bersyahadat, perintah membunuh orang yang murtad, makna membaiat imam, makna mati jahiliyyah, makna mencintai ahlul bait dan semisalnya. Benarlah Sufyan bin Uyainah ketika berkata,
“Hadis itu (bisa) menyesatkan, kecuali bagi para fuqoha’” (Al-Jami’ Fi As-Sunan Wa Al-Adab Wa Al-Maghozi wa At-Tarikh, hlm 118)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين