Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin / M.R Rozikin)
Meskipun telah jamak diketahui bahwa An-Nawawi adalah “muharrir” dan “munaqqih” mazhab Asy-Syafi’i yang hasil penelitiannya dijadikan tumpuan untuk mengetahui pendapat mu’tamad, bahkan diunggulkan daripada pendahulunya; Ar-Rofi’i, hanya saja hal tersebut tidak berarti An-Nawawi maksum dan terjaga dari kesalahan. Beliau tetap manusia biasa. Jasa dan ketelitiannya yang luar biasa tidak ada yang mengingkari. Tetapi memang hikmah Allah berkehendak tidak ada yang sempurna kecuali hanya Dia, dan hanya Nabi serta Rasul saja-lah yang dijaga Allah dari kesalahan dalam dien. Oleh karena itu wajar jika dalam kitab-kitab hasil tahrir mazhab yang dilakukan An-Nawawi ditemukan sejumlah kontradiksi. Adanya kontradiksi ini ditemukan oleh ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah setelah masa An-Nawawi. Berdasarkan hal itulah mereka meneliti sejarah penulisan kitab-kitab An-Nawawi agar diketahui mana yang terdahulu dan mana yang kemudian sehingga bisa diketahui mana hasil penelitian yang paling matang dan mana yang masih dalam tahap “perkembangan”, selanjutnya mereka membuat daftar urutan kitab-kitab An-Nawawi dari yang paling “kuat” sampai yang paling lemah.
Dalam catatan saya terdahulu telah saya uraikan bahwa kitab An-Nawawi yang paling kuat adalah “At-Tahqiq”, lalu disusul “Al-Majmu’”, “At-Tanqih”, “Roudhotu Ath-Tholibin”, “Minhaj Ath-Tholibin”, “Al-Masa-il Al-Mantsuroh”, “Al-Minhaj”, “Tash-hihu At-Tanbih” dan yang terakhir “Nukatu At-Tanbih”. Lihat lebih dalam pada catatan saya yang berjudul “Urutan “Kekuatan” Kitab-Kitab An-Nawawi”. Urutan ini perlu diperhatikan dengan seksama. Tujuannya, jika dalam kajian kitab-kitab An-Nawawi ditemukan kontradiksi, maka yang paling kuat harus didahulukan daripada yang lemah. Keterangan dalam kitab yang paling kuat itulah yang bisa dipegang sebagai pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i.
Berikut ini disajikan sejumlah contoh kontradiksi dalam kitab-kitab An-Nawawi dan cara mentarjihnya.
HUKUM MEMBUNUH ANJING
Dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin”, An-Nawawi mengatakan bahwa hukum membunuh anjing biasa (bukan anjing buas yang suka menggigit/kalbun ‘aqur) adalah makruh. An-Nawawi berkata,
“Sesungguhnya anjing yang tidak termasuk anjing buas makruh membunuhnya, maksudnya makruh tanzih (“Roudhotu Ath-Tholibin”, juz 3 hlm 146)
Informasi ini bertentangan dengan keterangan An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’”. Beliau mengatakan bahwa membunuh anjing yang tidak buas itu hukumnya haram tanpa membedakan apakah anjing tersebut ada manfaatnya ataukah tidak ada manfaatnya. An-Nawawi berkata,
“Adapun anjing yang tidak termasuk anjing buas yang suka menggigit, maka jika anjing tersebut punya manfaat mubah maka membunuhnya adalah haram tanpa ada perselisihan. Jika tidak ada manfaat mubah padanya maka pendapat terkuat juga haram membunuhnya (“Al-Majmu’”, juz 7 hlm 316)
Mana yang benar dan menjadi pedapat mu’tamad?
Oleh karena “Al-Majmu’” lebih kuat daripada “Roudhotu Ath-Tholibin”, maka keterangan dalam “Al-Majmu’” harus didahulukan. Jadi pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i adalah haram membunuh anjing biasa yang bukan anjing buas yang suka menggigit.
HUKUM MENGERINGKAN AIR SETELAH BERWUDHU
Dalam kitab “Al-Majmu’” An-Nawawi mengatakan bahwa hukum mengeringkan air setelah berwudhu itu mubah. An-Nawawi berkata,
“(hukum mengibaskan air setelah berwudhu adalah) Mubah, yakni sama saja dilakukan atau tidak dilakukan. Inilah pendapat terkuat (“Al-Majmu’”, juz 1 hlm 458)
Tetapi, dalam kitrab “At-Tahqiq” An-Nawawi mengatakan hukumnya “khilaful aula”. An-Nawawi berkata,
“Disunnahkan untuk tidak mengeringkan (air wudhu) dan mengibaskan tangan (At-Tahqiq, hlm 66)
Mana yang termasuk pendapat mu’tamad?
Oleh karena “At-Tahqiq” lebih kuat daripada “Al-Majmu’”, maka pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i dalam hal hukum mengeringkan air setelah berwudhu adalah “khilaful aula”.
JUMLAH ROKAAT MAKSIMAL SALAT DHUHA
Dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin”, An-Nawawi mengatakan bahwa jumlah maksimal rokaat salah dhuha adalah 12 rakaat. An-Nawawi berkata,
“Salat Dhuha, minimal dua rakaat, afdholnya delapan rakaat dan maksimal duabelas rakaat” (“Roudhotu Ath-Tholibin”, juz 1 hlm 332)
Akan tetapi dalam kitab “Al-Majmu’”, An-Nawawi mengatakan jumlah maksimal rakaat salat dhuha adalah 8 rakaat. An-Nawawi berkata,
“(Salat Dhuha itu) minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat (“Al-Majmu’”, juz 4 hlm 36)
Mana yang benar?
Oleh karena “Al-Majmu’” lebih kuat daripada “Roudhotu Ath-Tholibin”, maka keterangan dalam “Al-Majmu’” yang harus diambil. Jadi pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i terkait jumlah maksimal rakaat salat dhuha adalah 8 rakaat.
MASUK MEKAH TANPA NIAT “NUSUK” APAKAH WAJIB IHRAM?
Jika ada muslim yang datang ke Mekah untuk keperluan duniawi dan tidak ada niat melakukan “nusuk” (haji atau berkurban) apakah dia wajib berihram?
Menurut An-Nawawi dalam “Nukatu At-Tanbih”, dia wajib berihram. Asy-Syirbini menukil An-Nawawi dari “Nukatu At-Tanbih” sebagai berikut,
“(Dalam satu pendapat hukumnya (ihram tersebut) wajib….ini yang dikuatkan oleh sejumlah ulama, diantaranya adalah pengarang (yakni An-Nawawi) dalam kitab ‘Nukatu At-Tanbih’” (Mughni Al-Muhtaj, juz 2 hlm 243)
Tetapi dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin”, hukum berihramnya hanya sunnah tidak wajib. An-Nawawi berkata,
“Saya berkata, ringkasnya yang paling kuat adalah sunah. Ar-Rofi’i juga menguatkannya dalam Al-Muharror” (“Roudhotu Ath-Tholibin”, juz 3 hlm 77)
Mana yang menjadi pendapat mu’tamad?
Oleh karena “Roudhotu Ath-Tholibin” lebih kuat daripada “Nukatu At-Tanbih”, maka keterangan dalam “Roudhotu Ath-Tholibin” harus didahulukan. Jadi orang yang datang ke Mekah dengan kepentingan apapun selain haji atau berkurban, maka disunnahkan (bukan diwajibkan) untuk sekalian berihram tanpa membedakan apakah ihram niat haji (jika berada di bulan-bulan haji) atau berniat umroh.
SALAT ORANG YANG TERLUKA DAN BERDARAH APAKAH WAJIB MENGQODHO?
Jika orang dalam kondisi perang, lalu dia terluka, kemudian salat sambil memegang senjata dalam keadaan berdarah, apakah setelah sembuh nanti dia wajib mengqodho?
An-Nawawi mengatakan dalam “Roudhotu Ath-Tholibin” bahwa dia tidak wajib mengqodho. An-Nawawi berkata,
“ …Hendaknya dia melemparkan senjata jika berdarah. Jika tidak sanggup (karena musuh mengepung di mana-mana), dia boleh memanggul senjata dan tidak ada kewajiban qodho dalam pendapat yang paling kuat” (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 51)
Tapi dalam “Al-Majmu’” An-Nawawi mengatakan dia wajib mengulangi/mengqodho. An-Nawawi menulis,
“Jika dia merasa perlu memanggul senjata maka dia boleh memanggul senjata karena darurat. Kemudian zhohirnya pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin adalah penegasan wajibnya mengulang/mengqodho salat” (“Al-Majmu’”, juz 4 hlm 428)
Mana yang benar?
Oleh karena “Al-Majmu’” lebih kuat daripada “Roudhotu Ath-Tholibin”, maka keterangan dalam “Al-Majmu’” harus didahulukan. Jadi, pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i jika orang salat dalam keadaan berdarah sambil memanggul senjata maka setelah sembuh dia wajib mengqodho’.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين