Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Yang dimaksud ustaz Rifa’i dalam tulisan ini adalah Al-Ustaz Drs. Moh. Rifa’i. pengarang buku “Risalah Tuntunan Shalat Lengkap” yang melegenda di Indonesia. Semenjak dicetak pertama kali tahun 1976, buku ini telah dicetak ratusan kali. Tahun 2013 saja penerbit P.T. Karya Toha Putra Semarang telah mencetaknya untuk cetakan ke 471 kali! Barangkali keikhlasan penulisnya yang membuat buku ini demikian berkah, bermanfaat, mengisi banyak rumah, musholla, masjid dan perpustakaan-perpustakaan kaum muslimin di indoensia. Entah sudah berapa juta orang yang belajar salat dari buku ini.
Cara Ustaz Rifa’i dalam mengajarkan fikih salat adalah menjelaskan dalam bentuk keismpulan-kesimpulan ringkas tanpa disertai dalil. Contohnya saat beliau menerangkan macam-macam air. Beliau menulis,
“1. Macam-macam Air
Air yang dapat dipakai bersuci adalah air yang bersih (suci dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
Air yang suci dan mensucikan ialah,
- Air hujan
- Air sumur
- Air laut
- Air sungai
- Air salju
- Air telaga
- Air embun”
Cara penulisan semacam ini sebenarnya biasa dalam kitab-kitab fikih. Gaya seperti ini adalah gaya penulisan kitab-kitab “matan” dan “mukhtashor” seperti “Mukhtashor Al-Quduri”, “Matan Ar-Risalah”, “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib”, “Mukhtashor Al-Khiroqi” “Al-Furu’ karya Ibnu Muflih, “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi dan lain-lain.
Hanya saja, karena keterbatasan pengetahuan, ada sebagian orang yang lekas suuzon dan mengira kitab fikih seperti ini mengandung ajaran yang tidak berdasarkan dalil dan mungkin saja hal-hal bid’ah. Pada kasus buku tulisan ustaz Rifa’i di atas, ada yang langsung menuduh di dalamnya penuh kesalahan, bahkan secara implisit menuduh bid’ah pada sebagian isinya, lalu mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan buku tersebut.
Benarkah buku karya ustaz Rifa’i di atas tidak berdalil?
Tentu tidak tepat. Memvonis buku ini tidak berdalil malah lebih mencerminkan suuzon dan keterbatasan pengetahuan terhadap fikih, kitab fikih dan gaya penulisan fikih.
Buku ustaz Rifa’i di atas sesungguhnya ditulis dengan gaya “muktashor”. Adalah hal biasa jika kitab “mukhtashor” ditulis tanpa penjelasan dalil, karena maksud disusunnya “mukhtashor” adalah agar lekas dipahami, dipraktekkan, dan bahkan dihafalkan. Semua kitab “mukhtashor” ditulis dengan pembuangan dalil. Apapun mazhabnya.
Lagi pula, ustaz Rifa’i juga tidak mengarang sendiri. Siapapun yang pernah membaca “Matan Abu Syuja’” dalam fikih Asy-Syafi’i pasti akan segera mengenali bahwa penjelasan macam-macam air yang ditulis dalam buku ustaz Rifa’i itu seakan-akan hanya memindah-tuliskan apa yang tercantum dalam matan Abu Syuja. Pada bab “Thoharoh” (bersuci) dalam salah satu paragrafnya Abu Syuja’ menulis,
“Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam yaitu, air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju dan air es” (Al-Ghoyah Wa At-Taqrib, hlm 3).
Lalu apakah kitab Abu Syuja’ itu tidak ada dalilnya?
Blunder besar jika disimpulkan demikian.
Semua kesimpulan fikih yang ditulis Abu Syuja’ sesungguhnya penuh dan sarat dengan dalil andaikan mau ditulis. Kita bisa mengetahui dalil-dalil detail dari tiap poin fikih yang ditulis beliau dalam kitab-kitab Asy-Syafi’iyyah yang muthowwal seperti “Al-Umm”, “Nihayatu Al-Mathlab”, “Al-Hawi Al-Kabir”, “Al-Bayan”, “At-Tahdzib”, “Bahru Al-Madzhab” dan lain-lain. Untuk versi menengah, kita bisa menelaah kitab “Kifayatu Al-Akhyar” karya Al-Hishni (w. 829 H).
Kalau ingin versi ringkas untuk penjelasan dalil dari “Matan Abu Syuja’”, kita bisa memakai kitab “At-Tadzhib fi Adillati Matni Al-Ghoyah wa At-Taqrib” karya Mushthofa Dib Al-Bugho.
Dalam kitab tersebut, untuk bahasan macam-macam air misalnya, Al-Bugho menjelaskan dalilnya secara ringkas sebagai berikut.
Tujuh macam air yang telah disebutkan di atas semuanya bisa digunakan untuk bersuci dengan dalil ayat Al-Qur’an sebagai berikut,
“Dialah (Allah) yang menurunkan kepada kalian air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya” (Al-Anfal;11).
Jadi, air yang turun dari langit itu sah untuk bersuci. Air hujan secara fakta turun ke bumi kemudian menjadi mata air, air sumur, air sungai, termasuk ada yang menjadi air salju dan air es. Semuanya ini disebut air (الماء) dalam bhs Arab. Karena itu pengertiannya masuk dalam ayat di atas, sehingga boleh digunakan untuk bersuci.
Adapun air laut, dalil yang menunjukkan air tersebut boleh digunakan untuk bersuci adalah hadis ini,
“(Air laut itu) Dia bisa menyucikan dan halal bangkainya” (H.R.At-Tirmidzi).
Rasulullah ﷺ menyebut air laut itu menyucikan, jadi sabda Nabi ﷺ ini jelas menunjukkan air laut sifatnya suci dan menyucikan (At-Tadzhib Fi Adillati Matni Al-Ghoyah Wa At-Taqrib, hlm 10).
Asy-Syafi’i dalam ‘Al-Umm’ malah menyebut bahwa air laut sesungguhnya masih tercakup dalam pengertian “ma-un” dalam Surah Al-Anfal; 11 tadi sehingga seandainya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan kesucian air laut, maka pengertian umum dari Surah Al-Anfal; 11 tadi sudah mencukupi.
Kalau kita lihat “Kifayatu Al-Akhyar” untuk meneliti dalil-dalilnya, maka kita bisa mendapatkan data dalil lebih banyak lagi yang semakin mempertajam dan memperkuat ringkasan fikih Abu Syuja’. Di sana dikutip hadis sumur Budho’ah yang memperkuat sucinya air sumur, juga dikutip hadis tentang doa iftitah Nabi ﷺ yang menyinggung bahwa air salju dan air es bisa digunakan untuk menyucikan. Semuanya saling mendukung dan saling menguatkan yang mempertegas bahwa isi mukhtasor Abu Syuja’ bukan tulisan fikih sembarangan, tetapi tulisan fikih yang lahir dari pemahaman mendalam terhadap dalil, istinbath, dan istidlal. Dengan demikian, buku Ustaz Rifa’i yang hakikatnya sesungguhnya hanyalah berusaha membahasa Indonesiakan mukhtshor fikih mazhab Asy-Syafi’i dengan sedikit “aransemen”, tentu saja tidak boleh dituduh buku tanpa dalil, apalagi dituduh lebih keji dari itu, yakni mengandung bid’ah!
Atas dasar ini, sungguh akhlak yang buruk jika menghina dan menjelek-jelekkan karya salah satu dai yang berjuang menyebarkan Islam di negeri ini. Apalagi jika yang menjelek-jelekkan itu pernah mengambil manfaat dari buku tersebut. Itu adalah kufur nikmat, dan tidak ada balasan kufur nikmat melainkan neraka jika tidak bertaubat. Semua karya manusia pasti punya kelemahan.Tidak sepakat dengan karya manusia, apapun bentuk karyanya juga boleh. Kritikan tidak dilarang, asalkan penuh adab dan ilmu. Di antara adab mengkritik kitab ulama adalah mengakui terlebih dahulu jasa yang dikritik, kemudian fokus ke kritikan pemikiran, tanpa menafikan jasanya apalagi sampai menghina dan menjelek-jelekkannya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين