Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Menyebut “ini hukum Allah” hanya boleh pada perkara-perkara hukum yang bersifat “qoth’i” (pasti, absolut), yakni perkara-perkara hukum yang termasuk “ma’lum minaddin bidh dhoruroh” (perkara agama yang telah diketahui hukumnya secara pasti oleh semua orang Islam tanpa ada perselisihan, kesamaran, dan perdebatan). Contoh hukum-hukum “qoth’i” adalah wajibnya salat, wajibnya puasa Ramadan, wajibnya membayar zakat, wajibnya haji, haramnya berzina, haramnya homoseksual, haramnya membunuh, haramnya khomr, haramnya daging babi, dan semisalnya. Adapun perkara-perkara yang sifatnya “zhonni” (tidak pasti, spekulatif), yakni perkara-perkara ijtihad yang memungkinkan adanya ikhtilaf dan perbedaan pendapat lebih dari satu, maka tidak boleh disebut “ini hukum Allah”, tetapi hanya boleh disebut “ini ijtihad fulan” atau ungkapan-ungkapan yang semakna dengannya. Dasar ketentuan ini adalah ayat berikut ini,
“Janganlah kalian mengatakan terkait apa yang disebut-sebut oleh lisan kalian secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.. [an-Nahl/16 : 116]
Dalam ayat di atas, Allah melarang keras menisbatkan suatu hukum halal atau haram yang sifatnya “kadzib”/dusta dan “iftiro’/mengada-ada. Agar terbebas dari sifat dusta dan mengada-ada maka harus terealisasi sifat ‘ilm (pengetahuan) yang bersifat “qoth’i”/pasti bahwa hukum sesuatu itu memang halal atau haram sisi Allah. Oleh karena itu, ayat ini menjadi dalil tidak bolehnya menisbatkan suatu hukum kepada Allah kecuali pada perkara-perkara yang sifatnya “qoth’i”/pasti.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
“Apabila kamu mengepung suatu benteng lalu mereka ingin agar engkau menerapkan hukum Allah kepada mereka, maka janganlah engkau (mengatakan) menerapkan hukum Allah kepada mereka. Tetapi, terapkanlah kepada mereka hukum dari (pemahaman) kamu sendiri; karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar telah menerapkan hukum Allah kepada mereka atau belum” (H.R. Muslim)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ melarang salah seorang shahabatnya yang bernama Buraidah untuk mengklaim keputusan hukumnya dengan sebutan “ini hukum Allah” karena sifatnya ijtihad. Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam hadis di atas, bahwa semua kesimpulan hukum yang tidak mencapai keyakinan bahwa kesimpulan hukum tersebut benar-benar sesuai dengan hukum Allah ataukah tidak, maka tidak boleh menisbatkan langsung kepada Allah, tetapi hendaknya dinisbatkan pada orang yang menyimpulkan hukum tersebut. Jadi, hadis ini adalah dalil yang jelas bahwa menyebut “ini hukum Allah” hanya boleh pada perkara-perkara “qoth’i”, dan tidak boleh pada perkara-perkara ijtihadi.
Ibnu Al-‘Utsaimin berkata,
“Tidak seyogyanya bertanya dengan redaksi “Apa hukum Islam terkait hal ini?” atau “Apa pendapat Islam terkait hal ini?” karena ia bisa salah sehingga apa yang ia katakan itu bukan hukum Islam. Tetapi jika hukum (yang ditanyakan) adalah nash shorih/lugas maka tidak mengapa. Misalnya bertanya, “Apa hukum Islam terkait makan bangkai?” Kemudian kita menjawab, “hukum Islam terkait makan bangkai adalah haram” (Fatawa Arkan Al-Islam, hlm 197)
Al-Itsyubi juga menegaskan bahwa ijtihad para mujtahid itu, dilarang dan tidak boleh disebut langsung dengan istilah hukum Allah. Al-Itsyubi berkata,
“Perhatikan bagaimana beliau (Rasulullah ﷺ) membedakan antara hukum Allah dengan hukum seorang pemimpin mujtahid. Beliau melarang hukum (yang disimpulkan) para mujtahid disebut sebagai hukum Allah” (Dzakhirotu Al-‘Uqba, juz 1 hlm 550)
Patut dicatat, larangan menyebut “ini hukum Allah” pada perkara-perkara ijtihadi itu tidak dimaksudkan bahwa ijtihad para mujtahid itu bukan hukum syara’ atau bukan pendapat islami. Bukan demikian. Larangan menyebut hukum Allah pada perkara-perkara ijtihadi itu adalah bentuk kehati-hatian dan cerminan sifat wara’ karena ijtihad itu bisa benar bisa salah. Jika benar maka ia sesuai dengan hukum Allah dan jika salah maka itu bukan hukum Allah. Hukum Allah itu pasti benar dan tidak mungkin salah, karenanya hukum Allah pastilah satu dan tidak mungkin berbilang. Selama sebuah hukum ijtihadi masih belum bisa dipastikan sebagai pendapat yang sesuai dengan hukum Allah, maka tidak boleh menyebutnya sebagai hukum Allah.
Ibnu Al-‘Utsaimin berkata,
“Hukum Allah itu (pasti) benar, tanpa ada keraguan sementara hukum (yang disimpulkan ulama) itu bisa benar dan bisa salah” (Al-Qoul Al-Mufid, juz 2 hlm 495)
Kehati-hatian seperti inlah yang menjadi sifat generasi salih semenjak dulu kala.
Umar melarang ijtihadnya dinisbatkan langsung kepada Allah. Saat sekretarisnya menisbatkan ijtihad Umar langsung kepada Allah, beliau mengoreksinya dan memerintahkan agar ijtihad tersebut dinisbatkan langsung kepada Umar.
Utsman tidak berani mengatakan haram secara tegas terkait hukum mempoligami dua wanita bersaudara yang statusnya sebagai budak. Beliau hanya berani mengatakan “falaa uhibbu an ashna’a dzalik”. Ahmad juga hanya berani mengatakan “akrohuhu”. Pada kasus lain, ketika Ahmad kuatir hukumnya sudah tergolong haram beliau hanya mengatakan “yunha ‘anhu”.
Dalam kitab “Al-Umm” Asy-Syafi’i juga sering menggunakan lafaz-lafaz yang penuh kehati-hatian seperti “akrohu”, “uhibbu”, “lam uhibba”, “laa ba’sa”, “la khoiro fihi”, dan lain-lain.
Demikianlah. Jika kita mengkaji kitab-kitab fikih yang ditulis dan difatwakan generasi salih pada generasi-generasi awal umat Islam, akan kita dapati ungkapan-ungkapan halus yang mencerminkan sifat hati-hati, wara’ dan taqwa. Mereka tidak berani mengatakan “Allah mengharamkan ini” atau “Allah menghalalakan itu” pada perkara-perkara zhonni nan ijtihadiyyah, tapi hanya berani mengatakan,
نرى هذا حسنا
أكره هذا
لا أحبُّه
كَانُوا يَكْرَهُونَ
كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ
إِيَّاكُمْ كَذَا وَكَذَا،
إِنِّي أَكْرَهُ كَذَا
وَلَمْ أَكُنْ لِأَصْنَعَ هَذَا
Dan semisalnya.
Atas dasar ini, tidak boleh mengatakan “ini hukum Allah” pada perkara-perkara “zhonni” dan ijtihadi yang memungkinkan adanya ikhtilaf dan perbedaan pendapat. Termasuk juga ungkapan-ungkapan lain yang semakna dengan itu seperti “ini syariat Allah”, “ini hukum Islam”, “ini pendapat Islam”, “ini yang diajarkan Islam”, “inilah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Ungkapan yang lebih hati-hati dan menunjukkan sifat wara’ adalah mengatakan “ini ijtihad fulan”, “ini pendapat fulan”, “ ini hukum syara’ yang dipahami fulan”, “ini yang saya duga sebagai hukum Allah untuk saya” atau kalimat-kalimat yang semakna. Semangat seperti inilah yang dipakai oleh para fuqoha’ sepanjang zaman dari berbagai mazhab sehingga ketika mereka menyebut sebuah ijtihad ulama, mereka hanya berani mengatakan sebagai “ro’yu” (الرأي), “qoul” (القول), “wajh” (الوجه), “mazhab” (المذهب) dan ungkapan-ungkapan lain yang semakna.
Jadi orang yang sering mengatakan dengan percaya diri “inilah hukum Allah”, “inilah hukum Islam”, “inilah pendapat Islam , “inilah syariat Islam” “dan semakna dengannya pada perkara-perkara “zhonni” dan ijtihadi sesungguhnya justru adalah orang yang semberono (jari’), jauh dari sikap wara’, dan jauh dari sikap ketakwaan. Jika orang seperti itu belum tahu, maka dia harus diberitahu. Jika sudah diberitahu akan tetapi tidak berhenti dari perbuatannya, maka sebaiknya tidak dijadikan rujukan karena kuatir tertular sifat sembrononya. Wallahua’lam