PERTANYAAN
Assalamualaikum..Bagaimana hukum air yang kurang dari qullah (dalam ember) kejatuhan najis yang tak di ma’fu namun diatasnya terus mengalir air kran?? saya pernah mendapat penjelasan bahwa dalam mazhab syafi’i tidak melihat kondisi air yg mengalir atau yang diam, hanya berdasar pada air banyak atau sedikit, sehingga apabila contoh kasus tersebut diatas, tetap menjadikan airnya mutanajis dalam pandangan mazhab syafi’i…benarkah ini ustadz??? terima kasih (+62 853-7880-3XXX)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Betul, airnya tetap najis. Asy-Syirozi menulis,
“…Jika airnya mengalir dan di dalamnya ada najis yang ‘berjalan’ misalnya bangkai dan gelombang air yang (sudah) berubah (sifatnya), maka air yang berada sebelum najis itu (dihukumi) suci, karena air tersebut belum sampai pada najis itu sehingga statusnya seperti air yang dituangkan dari teko pada suatu najis. Air yang ada sesudah najis itu juga (dihukumi) suci karena najis belum sampai padanya. Adapun air yang mengelilingi najis itu dari atas, bawah, kanan dan kiri, maka jika airnya sebanyak dua qullah dan tidak berubah maka status airnya suci. Jika kurang dari dua qullah, maka status airnya najis seperti air yang diam” (Al-Muhadzdzab, juz 1 hlm 22 )
An-Nawawi mengafirmasi pernyataan di atas dengan berkata,
“Pendapat terkuat dalam mazhab Asy-Syafi’i dan menjadi pendapat jumhur adalah tidak ada bedanya antara air mengalir dengan air yang diam (dalam hal hukum kenajisan). Demikian dinukil Ar-Rofi’i dari jumhur” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 144)
Al-Haitami juga berkata,
“(Air yang mengalir) yaitu air yang bergerak baik pada permukaan yang menurun atau permukaan yang rata, jika di depan aliran air tersebut dibatasi oleh dinding, maka ia air dalam area permukaan tersebut dihitung sama seperti air yang tenang, hal ini dikarenakan aliran air tersebut tertahan/melambat dengan keberadaan dinding di depannya. (Ia sama seperti air yang tenang) dalam masalah rincian hukum bahwa jika kumpulan air dalam area yang tertahan dinding itu tidak sampai dua qullah maka ia akan menjadi najis jika ada najis jatuh kedalamnya, sedangkan jika kumpulan air dalam area yang tertahan dinding itu mencapai dua qullah maka ia baru menjadi najis jika ada najis jatuh kedalamnya yang dapat mengubah sifat air tersebut.
(Air dalam kasus seperti diatas, tidak akan menjadi najis meskipun dalam satu area yang tertahan itu tidak sampai dua qullah kecuali jika najis yang jatuh membuat sifat air berubah. Ini menurut pendapat qadim imam Syafi’i). (Adapun menurut pendapat Jadid, air mengalir seperti kasus diatas meskipun terhubung secara inderawi namun secara hukum ia dihitung sebagai kumpulan air yang terpisah satu sama lain. Setiap Aliran air tersebut dianggap sebagai satu genangan diantara bibir dinding pembatas saluran, ketika ia mengalir maka ia akan meluap, bergerak ke depan.
Jika air yang berada dalam area yang tertahan tersebut jika dihitung volume (panjang, lebar dan tingginya) tidak sampai dua qullah, maka ia menjadi najis dengan semata-mata ada najis yang jatuh kedalamnya, jika sampai dua qullah maka ia baru menjadi najis jika najis yang jatuh membuat sifat air berubah. Kemudian area yang terkena najis yang terbawa oleh satu aliran air akan menjadi suci dengan sebab aliran air di belakangnya. Karena jika tidak demikian maka seluruh area yang dialiri air akan menjadi najis sampai aliran tersebut berhenti. Dari sini ada teka-teki yang berbunyi, “kami punya air (yang kuantitasnya) di atas seribu qullah, tetapi statusnya najis meskipun sifatnya tidak berubah”. (Tuhfatu Al-Muhtaj)
Wallahua’lam