Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Assalamu’alaikum Ust.
Ada seorang suami (punya pekerjaan) dan istri (ibu rumah tangga/tidak punya pekerjaan) memiliki seorang anak. Setelah keduanya bercerai, hak pengasuhan anak berada di pihak ibu sang anak. Pertanyaannya, siapakah yang menanggung biaya pendidikan dan biaya tempat tinggal anak tersebut (Jika ibu dan anak itu ngontrak berdua apakah biaya kontrakan dibagi dua antara ibu dengan ayahnya ataukah hanya ibu saja yang menanggung biayanya)?
NB: Ibu sang anak setelah bercerai belum punya pekerjaan (masih dibiayai orang tuanya), tidak memiliki rumah dan masih ngontrak berdua bersama anak dalam satu wilayah jarak qoshor. (Fulanah)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Biaya makan dan pakaian anak jelas tanggungan ayah.
Biaya pendidikan juga termasuk tanggungan ayah.
Jika wanita ditalak dalam keadaan hamil, maka mantan suami wajib menafkahi mantan istrinya sampai melahirkan berdasarkan ayat ini,
{ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 6]
“Jika mereka (wanita-wanita yang dicerai itu) dalam keadaan hamil, maka nafkahilah (wahai para suami) mereka hingga mereka melahirkan kandungannya” (Ath-Tholaq; 6)
Jika anak masih menyusu, maka mantan istri berhak minta upah menyusui kepada mantan suaminya,
“Jika mereka (wanita-wanita yang dicerai itu) menyusui (anakmu) untukmu, maka berilah upah untuk mereka” (Ath-Tholaq; 6)
Adapun tempat tinggal, fatwa Ibnu ‘Abidin sebagai berikut.
Jika mantan istri sudah punya tempat tinggal, maka tidak wajib mantan suami memikirkan biaya tempat tinggal. Tetapi jika mantan istri tidak punya tempat tinggal (masih ngontrak misalnya), maka wajib mantan suami menyediakan nafkah tempat tinggal untuk anak. Ibnu ‘Abidin berkata,
والحاصل أن الأوجه لزومه لما قلنا لكن هذا إنما يظهر لو لم يكن لها مسكن أما لو كان لها مسكن يمكنها أن تحضن فيه الولد ويسكن تبعا لها فلا لعدم احتياجه إليه فينبغي أن يكون ذلك توفيقا بين القولين ويشير إليه قول أبي حفص وليس لها مسكن ولا يخفى أن هذا هو الأرفق للمجانبين فليكن عليه العمل (حاشية ابن عابدين (3/ 562)
“Ringkasnya, pendapat yang terkuat adalah wajibnya (menyediakan tempat tinggal) bagi ayah berdasarkan argumentasi yang telah kami jelaskan. Hanya saja , ketentuan ini berlaku dalam kondisi mantan istri tidak punya tempat tinggal. Adapun jika mantan istri punya tempat tinggal yang memungkinkannya mengasuh sang anak di rumah tersebut dan anak bisa tinggal di sana mengikuti sang ibu, maka tidak wajib (suami menyediakan tempat tinggal) karena anak tidak butuh tempat tinggal (baru). Seyogyanya penjelasan ini bisa menjadi kompromi dari dua pendapat (terkait apakah wajib mantan suami menyediakan tempat tinggal untuk anak).
Pendapat seperti ini diisyaratkan oleh pernyataan Abu Hafsh : “dia (mantan istri) tidak berhak tempat tinggal”. Tidak ada kesamaran, pendapat ini adalah yang lebih memperhatikan kebutuhan duabelah pihak. Jadi, laksanakanlah sesuai hukum tersebut” (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz 3 hlm 562)
Tapi harus diperhatikan kemampuan finansial ayah. Kalau hartanya banyak, maka dia memberi nafkah sesuai dengan kekayaannya. Kalau rezekinya sempit maka dia memberi nafkah semampunya berdasarkan ayat ini,
{لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا} [الطلاق: 7]
“Hendaklah suami yang kaya memberi nafkah sesuai dengan kekayaannya. Barangsiapa disempitkan rezekinya oleh Allah, maka hendaklah memberi nafkah sesuai yang diberikan Allah saja kepadanya. Allah tidak membebani kecuali sesuai pemberian-Nya” (Ath-Tholaq; 7)
Wallahua’lam