Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R Rozikin)
Assalamu’alaikum pak ustadz.. Saya pernah berdebat dengan teman saya karena dia tidak suka sama saya yang sering mengikuti kajian di internet. Seperti halnya mengikuti atau membaca tulisan² ustadz, baik di FB maupun di WA. Kata dia, jangan menjadikan media sosial untuk tholab ilmu, karena tidak akan menimbulkan barokah dan tidak bersanad, katanya. Padahal saya selain aktif mengikuti kajian di media sosial, saya pun alhamdulillah sering hadir di majlis ta’lim. Pertanyaan saya, apakah benar ilmu yang kita dapat dari media sosial itu tidak akan barokah dan sanad keilmuannya pun tidak ada? (Ahmad Mufassir)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Internet, Google, Youtube, FB, Whatsapp, Instagram, LINE dan semisalnya hanyalah salah satu sarana belajar saja. Tidak ada celaan memanfaatkan sarana itu, yang penting selektif memilih sumber ilmu. Berkah itu bukan dari sarana, tapi dari keikhlasan guru dan murid.
Meski di pengajian offline, tapi kalau belajar dan ngajarnya untuk tujuan duniawi maka ilmunya tidak akan berkah. Meski kajian online, jika guru dan muridnya ikhlas insya Allah berkah ilmunya. Sudah ada berapa banyak orang keluar dari aliran sesat karena dakwah lewat internet. Sudah berapa banyak orang masuk Islam karena dakwah via internet.
Tidak usah memusuhi sarana dan teknologi. Itu hanya sarana. Semua sarana duniawi itu hukum asalnya mubah selama tidak melanggar syariat.
Memusuhi sarana dan teknologi membuat umat Islam jadi jumud, bahkan bisa tergerus dan disapu bersih oleh propaganda kemaksiatan yang jauh lebih intesif, membanjir dan massif.
Prinsip penting memanfaatkan teknologi internet yang tidak bisa ditawar adalah “Selektiflah dalam memilih sumber ilmu”. Selama selektif, insya Allah selamat. Jika asal comot, maka tidak bisa dijamin keselamatannya.
Sungguh aneh jika kita tahu internet penuh dengan propaganda kemaksiatan lalu mereka yang dakwah via internet dimusuhi, disuruh berhenti dan tidak boleh dimanfaatkan ilmunya. Zaman milenial sekarang orang lebih banyak interaksi dengan internet daripada ngaji di dunia nyata. Orang lebih suka bertanya via WA dan inbox FB dan semisalnya daripada datang ke ponpes untuk bertemu dengan kyai. Orang berpikir, belajar via internet lebih praktis, murah, cepat, dan solutif. Orang merasa beragama menjadi lebih mudah. Bertakwa tidak harus sengsara dan keluar banyak biaya. Ibu-ibu di rumah juga sangat terbantu. Setelah masak dan mengantar anak ke sekolah, mereka bisa membuka HP dan mendapatkan ilmu. Ini sangat memudahkan karena tidak harus berpayah-payah keluar rumah.
Menuntut ilmu di dunia nyata tetap penting, tidak boleh diremehkan. Akan tetapi menuntut ilmu lewat medsos juga jangan dimusuhi, karena ada orang-orang yang merasa memerlukannya karena merasa sulit menyediakan waktu untuk “ngaji” di dunia nyata.
Sinergi jauh lebih indah daripada kapling-kaplingan jama’ah, kubu-kubuan dan bentur-benturan.
Ada banyak akun, FP dan Web sampah,tetapi ada juga sejumlah Web, FB,dan channel Youtube bermutu yang bisa dimanfaatkan ilmunya.
Sanad itu adalah cara untuk memastikan validitas informasi. Ketika ilmu sudah mutawatir, maka sanad tidak lagi diperlukan.
Contohnya soal riwayat hadis.
Sebelum masa Al-Bukhori, setiap orang yang meriwayatkan hadis harus menyebut sanad agar bisa diteliti validitas riwayatnya. Setelah Al-Bukhari menulis kitabnya dan juga ahli hadis yang lain, kemudian kitab-kitab tersebut tersebar luas di dunia Islam dan menjadi mutawatir maka hari ini sudah tidak menjadi keharusan untuk mencari sanad yang bersambung ke Al-Bukhari.
“Ngotot” mencari sanad sampai ke Al-Bukhori dengan alasan memastikan validitas riwayat dan memandang tidak sah keilmuan jika tidak memiliki sanad ke Al-Bukhari itu jatuhnya menjadi seperti aliran-aliran yang disesatkan MUI seperti JOKAM itu.
Belajar membaca Al-Qur’an juga demikian, tidak menjadi keharusan mencari guru-guru TPQ yang bersanad sampai Ibnu Al Jazari sampai ke Rasulullah ﷺ.
Bisa dipastikan jika setiap guru TPQ disyaratkan bersanad, bisa hancur semua TPQ yang ada di Indonesia. Putra-putri kaum muslimin akhirnya tenggelam dalam kebodohan, lalu mereka disantap oleh ateisme, hedonisme, kapitalisme, sekularisme, tiktok dan game-game pembodoh.
Para asatidz yang bersanad tetap wajib dihormati. Tradisi sanad tetap dilanjutkan untuk mendapatkan berkah. Mereka adalah kualitas tertinggi dalam mengajarkan Al-Qur’an. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit, tidak mungkin bisa menuntaskan fardhu kifayah mengelola puluhan ribu TPQ di seluruh Indonesia.
Termasuk juga sanad dalam meriwayatkan manuskrip kitab.
Sekarang sudah zaman percetakan, jadi kevalidan sebuah cetakan dari sisi penisbatannya ke pengarang semakna dengan mutawatir.
Mungkin ada beberapa ilmu yang masih perlu sanad, yang jelas sanad bukan cara untuk mengontrol validitas pemahaman.
Jadi, kurang tepat membombastiskan sanad untuk mengontrol pemahaman karena dalam sejarah keilmuan Islam sanad memang tidak pernah dipakai untuk mengontrol validitas pemahaman. Mengontrol validitas pemahaman dilakukan dengan cara ujian/tes dan persaksian ahli yang setara atau di atasnya. Karena itulah, kredibilitas para ulama di zaman dulu itu selalu dibuktikan dengan pujian para ulama yang setara keilmuan atau di atasnya, bukan dengan cara menampilkan sanad riwayatnya. Alangkah banyaknya ulama zaman dulu yang memiliki ribuan sanad, tetapi dihukumi, dho’if, munkar, muttaham, sampai ahlul bid’ah karena rusaknya pemahaman yang dimiliki.
Pada zaman Ibnu Jama’ah saja (w. 733 H), beliau menegaskan bahwa sanad di zaman itu sudah tidak diperlukan untuk validitas informasi/itsbat riwayat, padahal zaman itu teknologi belum secanggih sekarang.
Apalagi zaman sekarang yang mana sudah sangat maju, sudah ada percetakan dan sebuah ilmu menyebar secara mutawatir tak terbendung. Jadi sanad untuk mengontrol validitas informasi itu sudah tidak relevan.
Ibnu Jamaah berkata dalam “Al Manhal Ar-Rowiyy”,
“Sanad di masa kita tidak dimaksudkan untuk mengontrol validitas hadis yang diriwayatkan dan memeriksa kesahihannya. Alasannya, tidak ada dalam hadis-hadis tersebut sanad (yang “terlantar”) yang tidak memiliki perawi yang menghafalkannya dan menuliskannya yang (kemudian) tidak bisa dijadikan sebagai tumpuan. Tetapi (sanad pada zaman sekarang) dimaksudkan juntuk melestarikan mata rantai sanad yang menjadi ciri khas umat ini (umat islam) sejauh yang kami tahu. Generasi salat telah mewakili kita mengurusi hal tersebut (menjaga sanad). Ketersambungan induk yang sahih dengan sanad sahih sampai pengarangya sudah cukup meskipun tidak ditemukan kesempurnaan (penukilan) pada keseluruhannya maupun sebagiannya (Al Manhal Ar-Rowiyy, hlm 34)
Penyebutan sanad di masa sesudah “tadwin” (kodifikasi) riwayat kalau dalam konteks hadis nabi ﷺ itu lebih menonjol tujuan “tabarruk” (mencari berkah) dan menjaga tradisi istimewa umat islam yang melestarikan sanad. Bukan mengontrol “tsubut riwayah”. Pada zaman sekarang, memburu sanad insyaAllah masih bermanfaat. Tidak perlu dihilangkan. Ada banyak manfaat dan tujuan memburu sanad saat riwayat sudah mutawatir. Yang paling menonjol di antara sekian banyak manfaat dan tujuan memburu sanad adalah dua hal seperti yang saya sebutkan yaitu “tabarruk” (mencari berkah) dan menjaga tradisi istimewa umat Islam dalam melestarikan sanad untuk mengontrol validitas informasi.
Wallahua’lam