Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Arti “majbub” (المجبوب) adalah pria yang dibabat kemaluannya sampai habis ke pangkal.
Kalau Khoshiy (الخصي) bermakna pria yang dikebiri, yakni dipotong dua pelirnya tetapi masih punya kemaluan
Adapun ‘Innin (العنين) maknanya adalah pria yang lengkap alat vitalnya, tetapi impoten alias “laa yaquumu (qodhibuhu) walaa yantashibu”.
Ini adalah tiga aib para pria yang cukup sering dibahas dalam kitab-kitab fikih. Dalam fikih nikah, tiga aib di atas adalah alasan syar’i yang membuat seorang istri boleh mengajukan fasakh.
Dalam fikih hudud, tiga istilah di atas juga disinggung pada pembahasan liwath (homoseksual).
Saat ketemu istilah “majbub”, saya sempat tercenung memikirkan: “Untuk apa ya kaum muslimin yang pria membabat alat vitalnya sampai habis ke pangkalnya? Apa alasan syar’inya?” Kalau pengkebirian, masih logis karena bisa jadi yang masuk Islam adalah bekas-bekas rahib Nasrani yang sudah kadung mengkebiri diri. Impoten saya kira juga sangat logis, karena itu penyakit yang bisa menyerang siapa saja termasuk kaum muslimin.
Tapi majbub, untuk apa? Dengan jalan apa mereka ada?
Akhirnya saya mencari-cari sumber yang bisa menjawab persoalan itu, dan saya menemukan fenomena budaya yang mendekati istilah majbub adalah sekelompok orang yang dinamakan ORANG KASIM (Eunuch).
Apa itu orang Kasim?
Orang Kasim adalah pria yang dipotong kemaluannya dengan berbagai alasan. Ada yang karena hukuman, ada yang karena itu syarat kerja masuk Istana kerajaan dan lain-lain. ketika mendapatkan informasi bahwa pembabatan kelamin pria sebagai syarat bekerja di istana, saya jadi geleng-geleng kepala. Ternyata ada kerja “PNS” ala kuno yang syaratnya sangat berat karena harus mengorbankan kejantanan dan siap untuk tidak merasakan kelezatan persetubuhan selamanya.
Di Cina banyak sekali orang Kasim di zaman dinasti-dinasti. Mereka diperlukan untuk menjaga para selir dan istri pejabat. Ketika para wanita bangsawan ini dijaga orang-orang Kasim ini, tentu saja suami-suami mereka akan merasa tenang. Para suami itu tidak akan takut istrinya berselingkuh dengan penjaganya mengingat orang Kasim itu tak berkemaluan. Beberapa bukti fisik foto tentang orang Kasim ini masih bisa ditemui di berbagai tempat yang menggambarkan bagaimana seorang anak laki-laki selesai dipotong alat vitalnya kemudian dipotret.
Jadi yang paling logis, orang-orang “majbub” itu bukan lahir dari masyarakat kaum muslimin, tapi dari budaya lain. Ketika kaum muslimin menaklukkan daerah mereka, kelompok masyarakat seperti ini sudah ada. Para fuqoha’ hanya menyelesaikan problem yang mereka temui di lapangan.
Contoh lelaki “majbub” di zaman Nabi adalah pria dari Mesir yang merupakan sepupu Mariah Al-Qibthiyyah, budak wanita Rasulullah ﷺ . Orang Kasim dari Mesir ini sempat dituduh serong dengan Mariyah sehingga hampir-hampir dibunuh Ali, tapi tidak jadi karena didapati majbub sehingga mustahil berzina dengan siapapun. Muslim meriwayatkan,
“Dari Anas bahwasanya ada seorang laki laki yang dituduh berzina dengan Ummu Walad Rasulullah ﷺ (yakni Mariah Al-Qibthiyyah). maka Rasulullah ﷺ berkata kepada Ali: Pergilah, dan penggallah lehernya . Lalu Ali mendatanginya yang ternyata ia sedang mandi dalam sebuah sumur kecil, Ali berkata padanya: Keluarlah! kemudian Ali menarik tangannya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang “majbub”, tidak punya penis, Maka Ali pun tidak membunuhnya. Lalu Ali datang kepada Rasulullah ﷺ Seraya berkata; Ya Rasulullah sesungguhnya dia adalah laki laki yang yang “majbub”, tidak punya penis”. (H.R. Muslim)
Pembahasan tentang fenomena “majbub” dalam fikih Islam menunjukkan bagaimana hukum Islam itu menjadi solusi bagi problematika manusia dan juga menunjukkan bagaimana seriusnya perhatian fuqoha dalam upaya memberikan jawaban-jawaban Islam terhadap masalah-masalah kehidupan. Artinya, seorang ahli fikih bukan hanya orang yang mempelajari dalil dan istidlal saja tetapi juga mempelajari masyarakat, fakta-faktanya, tradisi-tradisinya, budaya-budayanya, dan problem-problemnya.
Wallahua’lam