Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dahulu ketika masih belum mengenal berbagai macam manusia, dengan lugunya saya menyangka bahwa setiap orang yang zhohirnya cerdas pasti akan mudah memahami setiap penjelasan. Logika saya sederhana, bagaimana bisa orang yang cerdas, berpendidikan tinggi, lulusan lembaga pendidikan berkualitas atau mungkin ditokohkan di komunitasnya kemudian sampai tidak bisa memahami sebuah penjelasan?
Tapi ternyata, seiring dengan berjalannya waktu, saya jadi tahu bahwa untuk memahami sesuatu, ternyata ada faktor lain yang kadang menghalangi seseorang untuk paham. Faktor itu adalah faktor hawa nafsu.
Hawa nafsu ini bisa macam-macam penyebabnya. Ia bisa berupa ashobiyyah, bisa kebencian, bisa emosi, bisa dendam kesumat, bisa kedengkian, bisa kesombongan, bisa pertentangan dengan kepentingannya, bisa potensi merugikan kemauannya, bisa ambisi, bisa persaingan, bisa kecuekan, bisa peremehan, bisa kemalasan, bisa pengabaian, bisa karena memang tidak mau tahu, dan lain-lain.
Abu Jahal contohnya. Orang ini di masa jahiliyyah disebut Abu Al-Hakam (si Bijaksana). Tidak mungkin ada orang digelari demikian jika bukan orang yang sangat cerdas, penuh ide brilian dan sanggup memahami sesuatu dengan cepat. Tapi sejarah menunjukkan orang ini “gagal” memahami kebenaran argumentasi kenabian Rasulullah ﷺ sehingga tidak mau beriman kepada beliau. Penyebabnya “gagal pahamnya” adalah hawa nafsu, yakni karena dorongan “tak mau kalah” dalam bersaing kebanggaan dengan kabilah Nabi Muhammad. Akhirnya kaum muslimin menggelarinya Abu Jahal (si Tolol), karena kecerdasannya tertutupi oleh hawa nafsunya sehingga tidak sanggup melihat kebenaran.
Ajaibnya, ternyata sifat seperti ini disebutkan dalam Al-Qur’an. Saya jadi yakin, jika yang seperti ini sampai disebutkan dalam Al-Qur’an, maka hal itu menunjukkan problem demikian akan terus berulang dalam bentuk yang lain. Entah problem itu muncul dari kalangan kafir yang didakwahi Islam atau dari kalangan orang Islam sendiri yang diajak berhenti dari kemungkarannya/kebatilannya/kesesatannya. Allah berfirman,
“Mengapa orang-orang ini hampir-hampir tidak sanggup memahami perkataan?” (An-Nisa; 78)
Contoh hawa nafsu yang paling sering membuat orang menjadi bodoh di berbagai masa adalah sikap ta’asshub/fanatik golongan. Kata Al-Ghozzali, orang yang sudah fanatik akut, maka percuma 1000 argumentasi dikemukakan. Al-Ghozzali berkata,
“(argumentasi-argumentasi tentang ilmu akidah) itu tidak bermanfaat kecuali untuk orang-orang awam sebelum fanatisme/ashobiyyahnya menghebat. Adapun ahlul bid’ah yang sudah mengetahui ilmu debat meski sedikit, maka jarang sekali ada perkataan yang bermanfaat. Karena, kalaupun Anda berhasil mematahkan argumentasinya, dia tetap tidak akan meninggalkan pendapatnya” (Ihya’ Ulumiddin, juz hlm 40)
Dalam kitab “Al-Iqtishod fi Al-I’tiqod” Al-Ghozzali juga berkata,
“Mayoritas kebodohan-kebodohan yang mengendap pada hati para awam itu diakibatkan oleh fanatisme/ashobiyyah sekelompok juhala’ ahlul haqq yang menampakkan kebenaran dalam konteks pencarian dan memandang lawan yang lemah dengan mata penghinaan. Akibatnya bergolaklah dalam batin mereka kecenderungan membantah dan menentang, dan mengendaplah pada jiwa mereka keyakinan-keyakinan batil, dan sulit bagi ulama yang lembut untuk menghilangkannya padahal sangat jelas kerusakannya” (Al-Iqtishod fi Al-I’tiqod, hlm 15)
Jadi, tidak usah heran jika ada orang yang lahirnya seperti berpendidikan, tapi dalam memahami sesuatu tampak demikian tolol dan bodohnya. Bukan akalnya yang rusak, tapi hawa nasfunya-lah yang membuatnya susah berfikir jernih dan inshof.
Tidak usah heran, orang-orang seperti itu bisa muncul di afiliasi siapapun. Tapi yang terpenting untuk kaum muslimin yang hendak belajar Islam atau ingin mencari berita yang benar adalah “Jauhi orang seperti itu sebelum dia bertaubat, karena sesungguhnya dia salah satu penyesat yang memakai baju “tukang memberi nasihat”.
Maha benar pula Allah dalam firmannya bahwa mereka yang selamat dari bisikan syetan semacam itu hanyalah mereka yang ikhlash menyembah hanya kepada Allah saja. Orang yang ikhlash akan terbebas dari hawa nafsu yang buruk, sehingga tidak ada peluang syetan menyesatkannya dengan “pseudo argumentasi”.
Semoga Allah senantiasa menjadikan kita sebagai orang-orang ikhlas, menjauhkan kita dari keburukan hawa nafsu, dan mengilhami kita untuk senantiasa berada dalam petunjuk sampai ajal datang menjemput.
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه
وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه