Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ringkasnya, istilah “wahi” bermakna “lemah sekali” sementara “dho’if” bermakna lemah biasa.
Secara bahasa, istilah “wahi” sebenarnya tidak jauh beda dengan istilah “dhoif”. Al-Jauhari menggunakan kedua istilah tersebut dengan makna yang berdekatan. Al-Jauhari berkata,
“Waha al-ha-ith, bermakna (dinding tersebut) dho’ufa (lemah) dan hendak runtuh” (Ash-Shihah di Al-Lughoh, juz 2 hlm 297)
Hanya saja, dalam dunia tahrir mazhab, An-Nawawi menggunakan dua kata tersebut dengan konotasi yang sedikit berbeda. An-Nawawi menggunakan kata “wahi” untuk makna “lemah sekali” sementara kata “dhoif” digunakan untuk makna lemah biasa. Contohnya saat An-Nawawi membandingkan pendapat-pendapat Abu Tsaur dengan sejumlah pendapat Ash-habul wujuh. Dalam Al-Majmu’ An-Nawawi menulis,
“…Kadang-kadang pendapat mereka lemah, bahkan sangat lemah…” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 72)
Oleh karena itulah, saat An-Nawawi mengenalkan istilah “shohih” dan “showab” dalam kitab At-Tahqiq, beliau memakai istilah “wahi” dan “dho’if” untuk membedakan keduanya.
Istilah “shohih” dipakai An-Nawawi untuk menunjukkan hasil tarjih terhadap variasi ikhtilaf ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin yang tergolong “ash-habul wujuh” yang mana ikhtilafnya adalah ikhtilaf “dhoif”” sementara Istilah “showab” dipakai An-Nawawi untuk menunjukkan hasil tarjih terhadap variasi ikhtilaf ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin yang tergolong “ash-habul wujuh” yang mana ikhtilafnya adalah ikhtilaf “wahi”.
Dengan demikian istilah “shohih” menunjukkan ikhtilafnya lemah “biasa” sementara istilah “showab” menunjukkan ikhtilafnya sangat lemah. An-Nawawi berkata,
“Kalau ikhtilafnya “dhoif” (agak) kokoh, maka saya mengatakan “Shohih”. Kalau ikhtilafnya “wahi” (lemah sekali), maka saya mengatakan “showab” (At-tahqiq, hlm 30)
Contoh penggunaan istilah showab dalam kitab At-Tahqiq adalah seperti yang ditulis An-Nawawi pada saat membahas hukum menyentuh sampul mushaf. An-Nawawi menulis,
“Jika berhadas, maka haram semua (macam) salat, sujud, thowaf, membawa mushaf, dan menyentuh kertasnya, demikian pula menyentuh kulit (sampul)nya ‘ala ash-showab” (At-Tahqiq hlm 81)
Dalam pernyataan di atas, ketika An-Nawawi mengatakan bahwa menyentuh sampul kulit mushaf itu hukumnya haram bagi orang yang berhadas, beliau memberi keterangan “ala ash-showab”. Artinya, dikalangan “ash-habul wujuh” ada ikhtilaf apakah hukumnya haram ataukah tidak haram. Hanya saja ikhtilaf ini sangat lemah, dan pendapat mu’tamad yang lebih sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fikih Asy-Syafi’i adalah mengharamkan menyentuh sampul mushaf sebagaimana haramnya menyentuh kertasnya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين