Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
“Nukat” itu sangat mirip dengan “hasyiyah”. Tidak heran jika ada ulama yang mensinonimkan antara “hasyiyah” dengan “nukat”. Jadi, siapapun yang telah memahami dengan baik perbedaan antara syarah dengan “hasyiyah”, maka insya Allah dia telah memahami secara umum perbedaan antara syarah dengan “nukat”. Silakan dibaca catatan saya sebelumnya yang berjudul “Apa Bedanya “Syarah” dengan “Hasyiyah”?”.
Hanya saja memang ada sedikit karakteristik khas “nukat” yang perlu diperinci yang akan membedakannya dengan hasyiyah dan syarah. Berikut ini penjelasannya.
“Nukat” (النكت) adalah jamak dari “nuktah” (النكتة). Di antara makna “nuktah” adalah “al-mas-alah ad-daqiqoh” (persoalan halus/pelik). Lalu, dari makna ini kemudian dipakai untuk makna istilah dalam dunia karya tulis orang-orang Arab sehingga bermakna, “Pemikiran-pemikiran halus dan pelik yang dituliskan setelah melalui proses kajian yang mendalam, renungan yang serius dan penelitian yang teliti”. Aktivitas menulis “nukat” disebut “tankit” (التنكيت). Al-Jurjani berkata,
“Nuktah adalah pemikiran pelik yang dimunculkan melalui proses berfikir yang jeli/teliti dan serius. Kata “nuktah” berasal dari kalimat “nakata rumhahu bi ardhin” (dia mencocok-cocokkan tombaknya pada tanah) dengan makna “dia membuat jejak pada tanah”. Pemikiran yang halus/teliti dinamakan “nuktah” karena ada pengaruh lintasan fikiran pada saat menyimpulkannya” (At-Ta’rifat hlm 316)
Contoh karya yang tergolong “nukat” adalah kitab An-Nawawi yang bernama “An-Nukat ‘Ala At-Tanbih”. Kitab ini termasuk di antara rujukan primer untuk mengetahui pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i. Hanya saja, meskipun kitab ini adalah rujukan primer akan tetapi dari sisi kekuatan, informasi yang disajikan di dalamnya menduduki posisi terakhir, yakni urutan ke-sembilan. Urutan yang pertama adalah kitab “At-Tahqiq”, disusul “Al-Majmu’, lalu “At-Tanqih”, kemudian “Roudhotu Ath-Tholibin”, lalu “Minhaj Ath-Tholibin”, lalu “Al-Masa-il Al-Mantsuroh”, kemudian “Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim”, lalu “Tash-hih At-Tanbih” dan yang terakhir “An-Nukat ‘Ala At-Tanbih”. Pembahasan soal urutan kekuatan kitab-kitab An-Nawawi yang dipakai untuk mengetahui pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i bisa dibaca pada catatan saya yang berjudul “Urutan “Kekuatan” Kitab-Kitab An-Nawawi”
Contoh lain adalah kitab-kitab “nukat” untuk “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Ada sejumlah ulama yang membuatkan “nukat” khusus untuk kitab ini. Di antaranya “Nukat Ibnu Al-Firkah (w. 729 H) yang bernama Ba’dhu/Bayanu Ghorodhi Al-Muhtaj, “Nukat Ibnu An-Naqib (w. 769 H), “Nukat Jalaluddin Abdurrahman Al-Bulqini (w. 824 H), “Nukat Muhammad Ash-Shiddiqi (w. 891 H), “Nukat Izzuddin Ibnu Jama’ah (w. 819 H) dan lain-lain. Khusus untuk “Nukat Izzuddin Ibnu Jama’ah ini, ada tiga “nukat” yang tercatat beliau tulis yaitu, “Zadu Al-Muhtaj fi/Ila nukati Al-Minhaj”, “Manhaju Al-Muhtaj fi nukati Al-Minhaj”, dan “Bughyatu Al-Muhtaj Ila nukati Al-Minhaj”.
Proses munculnya “nukat” tentu saja melewati proses berpikir yang unik dari pengarangnya. Saya katakan unik karena “nukat” itu adalah pemikiran orosinil dari seorang ulama yang terinspirasi ketika sedang mengkaji kitab tertentu, memuroja’ahi kitab tertentu, atau mengajarkan kitab tertentu. Oleh karena itu, pemikiran yang digolongkan “nukat” ini biasanya disifati dengan ungkapan “ghorib” (unik), “nadir” (langka karena tidak pernah ditemukan generasi sebelumnya), “‘Ajib” (menakjubkan/ajaib), “ma tafarroqo minal fawa-id” (informasi-informasi baru yang terserak-serak), “maa laaha minsy syawaarid” (lintasan-lintasan fikiran yang tak terhimpun di satu tempat) dan lain-lain .
Dalam bentuk awalnya, “nukat” ini biasanya ditulis di pinggiran kitab sehingga bentuknya seperti “hasyiyah”. Oleh karena itu, dalam batas tertentu “nukat” ini bisa disamakan dengan “hasyiyah” sebenarnya, sehingga wajar jika ada sebagian ulama yang mensinonimkan “nukat” dengan “hasyiyah”. Titik perbedaan utama antara “nukat” dengan “hasyiyah” adalah jika “hasyiyah” itu adalah penjelas dan komentar dari beberapa hal dalam syarah, maka “nukat” ini sifatnya lebih luas karena bisa merupakan komentar dari sebuah “mukhtashor”, kitab “mutawasith” maupun kitab “muthowwal”. Perbedaan yang lain, “hasyiyah” itu tidak selalu pemikiran unik dan informasi baru yang disajikan. Bisa jadi informasi yang ditulis dalam “hasyiyah” itu adalah informasi yang banyak diketahui, hanya saja mungkin sering dilengahkan oleh pelajar tingkat lanjut. Berbeda dengan “nukat” yang biasanya hanya mencatat pemikiran-pemikiran baru, hasil renungan mendalam, ide-ide brilian yang terlintas dan gagasan-gagasan yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama sebelumnya.
Beberapa penulis bibliografi kitab Arab seperti Haji Kholifah dalam “Kasyfu Azh-Zhunun”, jika beliau bertemu dengan kitab yang terkategori “nukat”, biasanya beliau menyebutkan kitab-kitab jenis ini sebagai rincian dari resensi kitab utama. Maksudnya, jika Haji Kholifah sedang meresensi sebuah kitab, kemudian menemukan kitab cabang yang lahir dari kitab tersebut, sementara kitab cabang itu tergolong “nukat”, maka beliau akan menyebutkannya sebagai konteks kitab cabang sebagaimana beliau memperlakukan kitab-kitab semua kitab cabang yang lain seperti syarah, hasyiyah, ta’liqot dan sebagianya.
“Nukat-nukat” itu bisa saja menguatkan apa yang ditulis oleh penulis kitab yang dibuatkan “nukat”nya dan bisa saja sifatnya malah bertentangan/mengkritik atau mengoreksi. “Nukat” yang sifatnya menyanggah ini biasanya disebut “i’tirodh”. Sanggahan yang dinamakan “i’tirodh” ini bisa kuat hujjahnya dan bisa juga lemah.
Lebih detail lagi bisa dikatakan begini, isi “nukat” bisa berupa “ta’liqot” (komentar-komentar), “fawa-id” (informasi-informasi baru), pembelaan terhadap pengarang, mendebat pengarang, “i’tirodh” (sanggahan terhadap pengarang), penjelasan aspek kebahasaan, penjelasan aspek istilah, “idhofat” (tambahan-tambahan), “istithrodat” (kesimpulan-keismpulan) dan lain-lain.
Karya tulis berupa “nukat” itu dalam cara penyajian bisa disertakan dalam satu kitab tertentu seakan-akan “hasyiyah”nya, bisa juga dikarang sebagai sebuah karya tersendiri untuk satu topik tertentu. Contoh “nukat” yang dikarang sebagai karya tersendiri adalah kitab “An-Nukat” fi ‘Ilmi Al-Jadal” karya Asy-Syirozi (w. 476 H).
“Nukat” bisa mengomentari teks-teks tertentu, bisa juga mengomentari kumpulan teks seperti pada kitab “An-Nukat ‘Ala Al-Alfiyyah”, Al-Kafiyah wa Asy-Syafiyah”, “Nuzhatu Ath-Thorof”, “Syudzuru Adz-Dzahab”. Semua “nukat” ini adalah karya As-Suyuthi dalam bidang ilmu nahwu.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين